Minggu, 02 Juni 2013

Pancasila dan Jawa

Pancasila dan Jawa
Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
KORAN TEMPO, 01 Juni  2013


Aroma pluralitas masih tampak, meski "kejawaan" perlahan mendominasi pidato dan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di masa Orde Baru.
Sukarno, 1 Juni 1945, menginginkan Indonesia bulat. Indonesia adalah tanah air untuk semua. Indonesia tak cuma Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Maluku. Indonesia adalah milik semua orang di pelbagai pulau. Pesan gamblang Sukarno menjadi latar usulan Pancasila, anutan hidup bersama berbasis pluralitas. Seruan Sukarno pantas diingat untuk menilik Pancasila di atas pijakan pluralitas. Sukarno berpidato dengan lantang, mengucap Pancasila tanpa diskriminasi dan dominasi.
Sukarno menggali Pancasila, mewariskan untuk Indonesia. Kita menerima Pancasila sebagai referensi bersama, tak membedakan suku dan agama. Pancasila milik semua orang, dari ujung Sumatera sampai ujung Papua. Pesan pluralitas menggerakkan Pancasila di kalbu Indonesia. Pancasila bersemangat perbedaan, ditafsirkan dan diamalkan tanpa dominasi kultural. Ikhtiar Sukarno perlahan terabaikan oleh nalar-imajinasi kekuasaan Soeharto merujuk ke kosmologi Jawa.
Polemik tentang hasrat Soeharto menafsirkan Pancasila bergelimang idiom dan semangat Jawa terjadi pada masa 1980-an. Polemik itu mengabarkan bahwa Pancasila hendak "dikejawenkan" (Panji Masyarakat, 1 Februari 1984). Soeharto fasih menuturkan filsafat Jawa dalam praksis kekuasaan, mengamalkan nilai-nilai Jawa dalam arus politik Indonesia. Kebiasaan itu memunculkan anggapan Soeharto bakal "menjawakan" Pancasila, berdalih biografi kekuasaan. Selo Soemardjan menjelaskan: "… Pak Harto sebagai orang Jawa tidak bisa lepas dari filsafat dan pemikiran Jawa." Publik diharapkan memaklumi saat Soeharto melihat Pancasila dari dimensi kejawaan. Selo Soemardjan pun berpesan bahwa tafsiran Pancasila dipengaruhi oleh biografi etnis.
Ingatan lakon kekuasaan di masa Orde Baru dan Pancasila sering mengandung idiom-idiom Jawa: ojo dumeh, tepa selira, mulat sariro hangroso wani. Soeharto beretorika politik dengan rujukan-rujukan Jawa, mengutip "pitutur luhur" dan menafsirkan sastra-sastra Jawa klasik di masa silam. Pembiasaan itu membuat Pancasila cenderung "berlumuran" ajaran Jawa, mengelak dari pluralitas. Pikat Pancasila bergantung pada nalar-imajinasi penguasa. Soeharto (1976) kalem berkata: "Sebagai manusia Pancasila, saya tidak memaksakan pandangan saya mengenai Pancasila…." Soeharto secara halus berpesan agar pandangan tentang Pancasila itu "mendapat perhatian masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan". Sikap kalem dibarengi "perintah halus" agar pandangan-pandangan Soeharto tentang Pancasila "dikukuhkan" melalui MPR (Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, 1976). 
Cita rasa Jawa dalam Pancasila sudah bermula sejak lama, ditafsirkan dan dipropagandakan pada masa Orde Lama. Imam Supardi menulis buku berjudul Pantjasila Kawedar, terbitan Panjebar Semangat, 1954. Buku berbahasa Jawa ini dimaksudkan untuk memberi penerangan bagi publik Jawa mengenai Pancasila, asas hidup bersama di Indonesia. Wongsonegoro memberi keterangan di halaman sambutan: "… kami bergembira dengan keluarnja buku Pantjasila Kawedar dalam bahasa daerah (Djawa ngoko)." Sambutan ini turut mengikutkan keterangan tentang tafsiran Pancasila di dunia kejawaan.
Persoalan penggunaan bahasa Jawa dalam propaganda mendapat tanggapan dari R.P. Sosrokardono: "… migunakake basa Djawa minangka piranti, jaiku piranti kanggo nginsafke marang guna paedahe persatuan lan kamardikaning bangsa." Bahasa Jawa sekadar medium komunikasi, perantaraan untuk menguatkan makna persatuan di alam kemerdekaan. Penjelasan Pancasila berbahasa Jawa diharapkan bisa mengantarkan publik Jawa meresapi dan mengamalkan Pancasila. Pada masa 1950-an, penggunaan bahasa Jawa dalam publikasi buku atau majalah masih menjadi suguhan memikat dan komunikatif di Jawa, dari kelas bawah sampai kelas atas.
Kehadiran buku Pantjasila Kawedar mengandung penjelasan-penjelasan merujuk ke kosmologi Jawa. Imam Supardi sengaja menampilkan referensi-referensi Jawa, siasat mengakrabkan orang Jawa dengan Pancasila. Rintisan di masa Orde Lama berlanjut ke Orde Baru, menggunakan seni tradisional di Jawa demi meresapkan Pancasila. Kita masih ingat kemunculan pesan-pesan Pancasila dalam pertunjukan wayang dan ketoprak. Pancasila dalam bahasa dan idiom Jawa juga muncul di tembang dan sastra. Sebaran nilai-nilai Pancasila berkosmologi Jawa itu representasi menunaikan "perintah halus" dari Soeharto. Pancasila memang tampak "dikejawenkan" meski dianggap kelaziman mengacu ke latar kultural si penguasa.
Tafsir 
Penggunaan idiom Jawa sebagai penerangan Pancasila menguak "kebebasan" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan etnis dan bahasa. Aroma pluralitas masih tampak, meski "kejawaan" perlahan mendominasi pidato dan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di masa Orde Baru. Pemunculan tafsir beragam merujuk pluralitas kultural justru menyebabkan semaian Pancasila bisa berterima ke publik di pelbagai penjuru daerah. Pengharapan itu sering terhambat oleh keterbatasan kebijakan politik-literasi di pelbagai daerah. Industri penerbitan, penafsir, dan komunitas melek-aksara masih berpusat di Jawa. Ketidakmerataan menimbulkan anggapan bahwa Pancasila ada dan bertumbuh di Jawa. 
Kita bisa membaca Pantjasila (1950), risalah berbahasa Indonesia, susunan Ki Hadjar Dewantara menjadi ikhtiar untuk penghindaran dominasi "penjawaan" Pancasila. Ki Hadjar Dewantara sering menggunakan kosmologi Jawa dalam pendidikan-pengajaran di Perguruan Taman Siswa. Kejawaan disajikan, meski tak mutlak, menampilkan identitas-kultural dalam misi pendidikan nasional. Jawa itu pijakan tanpa harus ditampilkan secara lugas dan berlebihan. Tafsiran-tafsiran Ki Hadjar Dewantara mengenai Pancasila justru mengelak dari penggunaan idiom-idiom atau kosmologi Jawa. 
Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh Jawa menerangkan bahwa Pancasila secara hakikat ingin mengajak kita memiliki keluhuran dan kehalusan budi. Penerangan ini tak dilekati dengan referensi-referensi Jawa. Ungkapan "keluhuran" dan "kehalusan budi" bermakna kultural, menjauhi politisasi. Ki Hadjar Dewantara mengembalikan pemaknaan Pancasila ke kalbu kultural tanpa pamer dominasi kejawaan. 

Pancasila masih ada di abad XXI, ditafsirkan dalam pelbagai perspektif. Ingatan atas pluralitas dan kejawaan dalam tafsir Pancasila, sejak Orde Lama sampai Orde Baru, memberi bukti tentang pemaknaan tak selesai. Pancasila untuk Indonesia, berpijak pada pluralitas dan disampaikan melalui beragam bahasa agar meresap ke kalbu kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar