Jumat, 14 Juni 2013

Aplikasi UNCAC ke Sistem Hukum Pidana Nasional

Aplikasi UNCAC ke Sistem Hukum Pidana Nasional
Romli Atmasasmita ;   Guru Besar Emeritus Hukum Internasional
KORAN SINDO, 14 Juni 2013



UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi (2003) telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia masih diperlukan UU Pemberlakuannya baik bersifat perubahan terhadap UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, maupun UU baru yang menggantikan seluruh ketentuan dalam UU tersebut. 

UU pemberlakuan tersebut diperlukan karena ketentuan Pasal 11 UUD 1945 hanya bersifat pengesahan atas UNCAC bukan bersifat pemberlakuan ketentuan suatu tindak pidana. Selain itu, juga karena sistem hukum pidana Indonesia mengakui asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan perundang- undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. 

Artinya sistem hukum pidana Indonesia mengakui asas non-retroaktif sepanjang mengenai perbuatan yang dapat dipidana (hukum pidana materiil) menurut Undang-Undang Pidana. Kekuatan perundangundangan pidana (Indonesia) yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, adalah UU sebagaimana disebutkan di atas. 

Konvensi PBB Antikorupsi merupakan “nonself executing treaty” sekalipun memuat ketentuan seperti, “illicit enrichment” , “trading in influence”, ”bribery in the private sector”, dan “abuse of function” sehingga masih memerlukan UU Pemberlakuannya, yaitu perubahan terhadap UU Tipikor yang telah berlaku. 

Atas dasar uraian di atas, jelas bahwa adalah keliru jika ada pendapat ahli hukum pidana yang mengemukakan bahwa, UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi 2003 serta-merta berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat diterapkan dalam perkara korupsi di Indonesia dengan alasan telah diratifikasi. Kita harus membedakan antara UU Pengesahan dan UU Pemberlakuan dalam konteks kekuatan mengikat suatu undang-undang terhadap perkara korupsi. 

Selain alasan tersebut, patut juga diperhatikan kebiasaan dan praktik hukum pidana di Indonesia dalam melaksanakan konvensi internasional yang telah diratifikasi sejak sebelum perubahan dan setelah perubahan UUD 1945. Hampir seluruh implementasi konvensi tentang kejahatan transnasional tersebut telah ditetapkan UU pemberlakuannya sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat baik bagi penyidik, penuntut, maupun hakim majelis yang memeriksa perkara pidana termasuk korupsi. 

Misalnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, yang merupakan implementasi Protokol UNTOC mengenai Larangan Perdagangan Orang khusus perempuan dan anak tahun 2000. Dari sisi teknis penerapan hukum pidana, ketentuan tindak pidana dalam UNCAC tidak menyebutkan secara konkret sanksi pidana dan sanksi administrasi sehingga tidak mungkin dapat dijadikan alas hukum untuk penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 

Memahami Konvensi-Konvensi tentang Kejahatan Transnasional seperti UNCAC, UNTOC, Terorisme, dan Pencucian Uang, perlu diperhatikan sungguh-sungguh keberadaan ketentuan tentang prinsip perlindungan kedaulatan negara (protection of state sovereignty) selalu melekat dan ditempatkan pada bagian awal materi muatan konvensi; Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Statute of ICC, 1998). 

Dengan keberadaan prinsip kedaulatan negara dan juga dilengkapi penegasan ketentuan yang bersifat mandatory dan non-mandatory obligation dalam konvensi tersebut termasuk UNCAC, menjadi kewajiban setiap negara pihak untuk mengkaji setiap ketentuan konvensi disesuaikan dengan prinsip hukum domestiknya sejalan dengan ketentuan konvensi. 

Dalam konvensi internasional dicantumkan kalimat “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system..”, seperti pada ketentuan tentang “illicit enrichment”, dan pada ketentuan mengenai “reversal of burden of proof” (pembuktian terbalik) dalam UNCAC dan UNTOC. Merujuk pada prinsip tersebut, sekalipun prinsip “in good faith” (pacta sunt servanda) menjadi prinsip utama dalam setiap perjanjian internasional, tetap saja pemerintah harus memperhatikan teks ketentuan konvensi dan sistem hukum serta asas-asas hukum pidana yang masih berlaku di Indonesia. 

Dengan begitu, undang-undang yang akan ditetapkan kemudian sebagai implementasi UNCAC tidak bertentangan dengan sistem dan asas-asas hukum pidana yang telah ada. Hal ini sangat penting diperhatikan karena ketentuan Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (1969) telah mewanti-wanti bahwa setiap negara pihak tidak dapat menolak pemberlakuan suatu konvensi dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya (pasal 46). 

Pembacaan suatu perjanjian internasional termasuk UNCAC memang seharusnya digunakan penafsiran tekstual dan integratif (Fitzmaurice), sehingga suatu perjanjian tidak hanya tergantung pada teks semata-mata akan tetapi juga harus memperhatikan objek dan tujuannya. 

Tujuan utama UNCAC adalah meningkatkan dan memperkuat pencegahan dan penindakan korupsi agar lebih efektif dan efisien; meningkatkan dan mendorong kerja sama internasional dan bantuan teknis untuk penegahan dan penindakan korupsi; dan meningkatkan integritas, akuntabilitas dan manajemen pemerintahan (pasal 1). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar