Jumat, 14 Juni 2013

Meredam Gejolak Rupiah

Meredam Gejolak Rupiah
Anwar Nasution ;   Guru Besar FEUI;
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
KOMPAS, 14 Juni 2013


Penurunan nilai tukar rupiah secara drastis sejak 7 Juni 2013 terjadi karena aliran keluar modal jangka pendek dari Indonesia. Nilai tukar rupiah merosot karena pemodal asing mengurangi kepemilikan atas surat-surat berharga yang diperjualbelikan di pasar uang ataupun modal Indonesia yang masih dangkal dan sempit.

Tadinya, pemasukan modal asing jangka pendek ke Indonesia dirangsang besarnya disparitas suku bunga antara Indonesia dan negara maju maupun oleh perubahan kurs devisa. Disparitas suku bunga yang tinggi terjadi karena bank sentral di AS, Eropa, dan Jepang menjalankan quantitative easing (QE) untuk menangani krisis perekonomiannya. Arus balik aliran modal terjadi karena bank sentral AS mengumumkan mengurangi QE karena telah ada tanda-tanda pemulihan ekonominya. Kebijakan ini akan menurunkan harga efek-efek di negara itu dan meningkatkan suku bunga sehingga memberikan balas jasa lebih tinggi pada investasi di pasar uang dan modalnya.

Pasar uang dan modal Indonesia masih dangkal dan sempit. Surat berharga yang diperjualbelikan terbatas jenisnya, terutama berupa SUN, SBI, dan efek yang diperjualbelikan di Bursa Efek Jakarta. SUN yang terbesar di antara ketiga instrumen pasar dan dikeluarkan pada 1998 untuk memenuhi kembali kecukupan modal bank yang kolaps akibat krisis 1997 seraya membersihkan bukunya dari kredit bermasalah. Nilai surat berharga itu pun masih terbatas karena dunia usaha Indonesia masih tetap mengandalkan kredit bank untuk pembelanjaan usahanya dan masih sedikit yang memobilisasi modal melalui penjualan saham atau obligasi.

Teori paritas tingkat suku bunga

Teori sederhana tentang paritas tingkat suku bunga sangat bermanfaat untuk memahami aliran modal jangka pendek antarnegara dan gejolak rupiah. Menurut teori ini, tingkat suku bunga di dalam negeri sama dengan tingkat bunga di pasar dunia ditambah harapan perubahan kurs devisa. Di sini diasumsikan surat-surat berharga yang dikeluarkan di dalam negeri dapat diperjualbelikan di pasar dunia dan tak ada hambatan apa pun pada lalu lintas modal. Pada tingkat kurs devisa tertentu, modal akan mengalir dari negara dengan tingkat bunga rendah ke negara dengan tingkat bunga tinggi. Melalui aliran modal itu, pemilik modal ingin cari keuntungan dari perbedaan tingkat suku bunga. Perbedaan tingkat suku bunga sekaligus mencerminkan harapan akan perubahan kurs devisa. Dengan demikian, pemilik modal juga bisa dapat keuntungan atau kerugian dari perubahan kurs devisa.

Sejak krisis keuangan global 2008-2009, semua negara maju menerapkan QE, yakni kebijakan moneter yang memompakan likuiditas untuk menurunkan tingkat bunga nominal hampir mendekati nol. QE dimulai bank sentral Jepang pada 1990-an, tapi gagal menggerakkan ekonomi karena tak disertai deregulasi di sektor riil untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonominya. AS menggunakannya untuk mengatasi krisis keuangan global 2008-2009, diikuti bank sentral Eropa untuk mengatasi krisis ekonomi Uni Eropa. 

Pemerintahan PM Abe di Jepang, yang kini berkuasa, menjalankan kembali QE seraya melakukan ekspansi fiskal dan reformasi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomiannya. QE memompakan likuiditas melalui pembelian bank sentral atas segala jenis surat berharga baik milik negara maupun lembaga negara serta saham dan surat utang swasta yang memiliki peringkat tinggi. Penurunan bunga diharapkan merangsang kembali kegiatan ekonomi melalui peningkatan investasi dan konsumsi swasta, penghentian proses deflasi, dan pengurangan beban pembayaran utang oleh pemerintah di negara itu.

Rendahnya suku bunga akibat QE di negara maju telah meningkatkan perbedaan tingkat suku bunga mereka dengan negara berkembang seperti Indonesia. Dewasa ini, tingkat suku bunga acuan BI 5,75 persen dibandingkan 0,25 persen di negara-negara maju. Pemodal asing menguasai sekitar sepertiga volume SUN, SBI, dan efek yang diperdagangkan di bursa. Pemasukan modal jangka pendek merupakan sumber likuiditas penting bagi pasar uang dan modal yang sempit. Pemasukan modal asing untuk membeli saham, SUN, serta SBI telah meningkatkan harga surat-surat berharga ini dan menurunkan tingkat suku bunga. Pada gilirannya, kenaikan harga sekuritas meningkatkan modal dan nilai kekayaan pemegangnya, sekaligus menurunkan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan. Sebaliknya, aliran modal ke luar negeri menurunkan harga surat-surat berharga sehingga menyebabkan malapetaka bagi pemegangnya. Kecukupan modal bank dan NPL jadi terganggu oleh penurunan harga efek-efek ini. Kolapsnya industri reksa dana yang terjadi berkali-kali sejak 1980-an berkaitan dengan gejolak harga efek akibat aliran modal asing jangka pendek.

Karena dua hal, Indonesia jadi negara tujuan modal asing yang menarik sejak krisis 1997. Pertama, karena pengendalian ekonomi makro yang baik tetap berperan pada resep IMF: menjalankan kurs devisa mengambang yang ditopang disiplin fiskal yang membatasi rasio defisit APBN maksimum 3 persen dari PDB dan rasio utang negara 60 persen dari PDB. Kedua, ekonomi dan ekspor tumbuh pesat karena boom komoditas primer hasil tambang, pertanian, dan hasil laut. Pada gilirannya, boom ini bermuara pada tingginya laju ekonomi China dan India sebesar 9-10 persen selama 30 tahun lebih terus-menerus bagi China dan sejak 1990-an bagi India. Pertumbuhan pesat ini perlu segala jenis bahan baku. Sementara, rakyatnya yang kian makmur menuntut makanan yang kian berkualitas. Indonesia juga mengekspor tenaga kerja kasar ke seluruh dunia karena terbatasnya pekerjaan di negeri sendiri. Para pekerja ini mengirimkan uang ke kampung halaman.

Besarnya penerimaan devisa dari ekspor komoditas primer, remittances dan pemasukan modal jangka pendek, meningkatkan cadangan luar negeri BI. Berbeda dengan China dan Jepang yang melemahkan mata uangnya, BI justru menggunakan sebagian persediaan devisa untuk memperkuat rupiah. Penguatan kurs rupiah membuat industri manufaktur dan pertanian tak mampu bersaing dengan impor. Persaingan jadi kian berat dengan China karena perjanjian perdagangan bebas (CAFTA) telah meniadakan atau mengurangi tarif bea masuk impor barang dari China. China dengan sengaja melemahkan kurs mata uangnya untuk membuat harga barang ekspornya murah. Barang impor China jadi kian murah lagi karena BI membuat rupiah menguat. Secara regional, petani dan perajin serta produsen industri manufaktur di Jawa jadi korban utama kebijakan kurs dan sistem perdagangan yang kurang adil ini.

Kurs rupiah yang menguat sekaligus memberikan insentif pada produksi non-traded goods and services (NTB), yakni barang dan jasa yang hanya dikonsumsi di pasar lokal di mana ia diproduksi. Karena tak diekspor dan diimpor, komoditas seperti ini menambah inefisiensi perekonomian nasional. Contoh NTB adalah jasa-jasa pemerintahan, konstruksi, dan real estat. Terlihat peningkatan kembali pembangunan perumahan, pusat perbelanjaan (mal), pertokoan, dan lapangan golf di seluruh pelosok Indonesia.

Upaya penyelamatan

Upaya penyelamatan dapat dibagi menurut jangka waktu: pendek, menengah, dan panjang. BI telah melakukan kebijakan standar yang dapat dilakukannya dalam jangka pendek. Pertama, melakukan penjualan devisa untuk menstabilisasi nilai tukar. Namun, kemampuan untuk itu sangat terbatas karena keterbatasan cadangan luar negeri. Kedua, kian memperketat permintaan kredit untuk pembelian mobil, sepeda motor, dan perumahan dengan menambah penyediaan uang muka lebih besar oleh konsumen. 

Ketiga, semakin membatasi kemampuan bank memberikan kredit, terutama untuk pengeluaran yang menambah impor dan devisa. Keempat, penarikan SBI dari peredaran oleh BI merupakan kontraksi jumlah uang beredar. Jika punya celengan, pemerintah bisa membeli kembali SUN itu untuk mencegah kemerosotan harga.

Dalam jangka menengah dan panjang perlu dilakukan tiga hal. Pertama, menghemat pengeluaran agregat (investasi, konsumsi, dan pengeluaran negara) dan mengalihkannya ke penggunaan produksi dalam negeri. Penghematan anggaran negara paling menonjol adalah pemberantasan korupsi di semua tingkat: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, mengubah struktur perekonomian nasional dari ketergantungannya pada sektor primer. Indonesia perlu ikut jaringan produksi dan rantai pasokan global seperti negara ASEAN lain dan China. Berbeda dengan Indonesia, struktur ekonomi dan ekspor negara-negara itu telah berubah dari komoditas primer jadi produsen dan eksportir mesin dan komoditas manufaktur. Ekspor utama Filipina, Singapura, dan Malaysia komponen dan suku cadang barang elektronika. Taiwan dan Thailand kini dijuluki Detroit of Asia karena mengekspor mobil dan sepeda motor serta suku cadang dan komponennya. Kedua negara itu tak punya mobil nasional. Komponen dan suku cadang elektronik dan otomotif ini antara lain diekspor untuk dirakit di China dan kemudian diekspor ke negara tujuan. Semua kegiatan produksi suku cadang, komponen manufaktur, dan perakitannya bersifat padat karya sehingga menciptakan lapangan kerja bagi pekerja kurang terampil dan terdidik.

Peralihan ekonomi dari industri primer ke industri manufaktur perlu penanganan hambatan pembangunan ekonomi yang tak pernah diurus selama ini. Ini yang disebut reformasi atau deregulasi sektor riil untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Termasuk di sini korporatisasi BUMN/BUMD. Di sektor moneter, penanganan bottlenecks itu pengelolaan kurs devisa dan tingkat bunga. Di sektor fiskal, menyangkut pembelanjaan pembangunan berbagai jenis infrastruktur serta insentif perpajakan untuk investasi di MP3EI.

Jika pemerintah tak mampu meningkatkan penerimaan pajak, tak ada salahnya meminjam asalkan hanya digunakan untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi ekonomi, bukan untuk pembangunan smelter hasil tambang atau pembangunan jembatan Selat Sunda, yang selain bersifat padat modal, juga mercusuar. Swasta juga dapat diundang untuk investasi di infrastruktur. Perizinan dan iklim usaha harus diperbaiki dan disederhanakan.

Ketiga, membangun kembali Bank Tabungan Pos (BTP) yang di masa lalu mati suri akibat pergolakan daerah dan inflasi. BTP perlu untuk meningkatkan tabungan nasional guna membiayai infrastruktur dan proyek pembangunan lain. BTP bukanlah bank yang sesungguhnya karena hanya narrow bank yang kegiatannya terbatas pada mobilisasi dana dari masyarakat guna membeli SUN dan surat utang negara untuk membelanjai pembangunan berbagai proyek yang diperlukan. Ongkos pembangunan kembali BTP sangat kecil karena PT Pos Indonesia sudah memiliki kantor hingga ibu kota kecamatan. BTP sekaligus bermanfaat untuk mengimbangi dominasi peranan modal asing yang sudah sedemikian besar dalam bursa efek. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar