|
SUARA
KARYA, 22 Juni 2013
Praktik perbudakan buruh masih
menjadi ancaman serius bagi banyak buruh di Tanah Air, termasuk buruh
perempuan. Bahkan, potensi perempuan untuk menjadi korban jauh lebih besar
daripada buruh laki-laki. Tidak hanya karena kondisi fisik mereka yang lebih
lemah, namun juga karena pengusaha umumnya lebih menyukai buruh perempuan
karena dianggap lebih ulet dan jarang protes. Berbagai potensi ini membuat
praktik perbudakan buruh di Indonesia terutama buruh perempuan seperti fenomena
gunung es. Artinya, hanya sedikit kasus yang terungkap. Di luar itu, jauh lebih
banyak kasus yang belum diketahui publik dan bisa jadi jauh lebih kejam.
Terdapat sejumlah faktor yang
menyebabkan perempuan sangat berisiko terjebak dalam perbudakan modern.
Pertama, akses pendidikan perempuan di Indonesia terbilang masih rendah.
Menurut data Kemendikbud RI, hingga 2010 jumlah perempuan Indonesia yang belum
melek huruf mencapai 5 juta lebih. Sementara data BPS 2009 menunjukkan bahwa
sebanyak 75,69% perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP
ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat
SD (30,70%). Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi
pendidikan perempuan semakin rendah, SMA (18,59%), diploma (2,74%), dan
universitas (3,02%). Angka partisipasi sekolah perempuan memang sudah meningkat
dibandingkan persentase angka partisipasi sekolah pria, tetapi itu hanya pada
tingkat pendidikan rendah.
Kedua, daya saing perempuan di
dunia kerja juga rendah. Rendahnya pendidikan dan timpangnya kualitas
pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki menyebabkan
daya saing perempuan di dunia kerja juga rendah. Meski perbandingan jumlah
penduduk antara laki-laki dan perempuan secara nasional hampir sama, namun
dalam dunia kerja, jumlah angkatan kerja laki-laki kurang lebih 1,5 kali lebih
banyak dibandingkan perempuan, di mana pekerja perempuan hanya mengisi sekitar
38,23% dari total pekerja di Indonesia. Artinya, masih banyak perempuan belum
dapat menembus dunia kerja karena lebih sedikit perempuan yang mengenyam
pendidikan formal.
Pendidikan dan daya saing yang
rendah pada akhirnya memengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh perempuan.
Terdapat sekitar 12,44% pekerja perempuan berpenghasilan bersih Rp 200,000 ke
bawah per bulan, sedangkan pekerja laki-laki yang memiliki pendapatan sama
diperkirakan hanya sekitar 4,39%. Sementara mayoritas laki-laki memiliki
pendapatan di atas Rp 600.000 per bulan atau sekitar 69,29%, tetap lebih besar
dibandingkan wanita (50,27%). Data ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih
dihargai dengan adanya perbedaan kisaran upah yang ada. Faktor ketiga yang
membuat risiko perempuan terjebak dalam perbudakan modern di dunia kerja
semakin besar adalah karena sangat besarnya minat perusahaan asing
men-outsource produk mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Indonesia
merupakan salah satu negara primadona perusahaan-perusahaan multinasional untuk
men-outsource produk mereka. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya upah buruh
di Indonesia dengan ketersediaan jumlah tenaga kerja yang sangat berlimpah
terutama pekerja perempuan.
Kemiskinan yang mencekik namun tak
punya banyak pilihan untuk berusaha dan bekerja, membuat banyak perempuan
terpaksa menjadi buruh meski harus bekerja 10-12 jam per hari untuk upah yang
hanya cukup untuk hidup dua minggu. Gaji yang sangat rendah ini berbanding
terbalik dengan harga produk-produk ber-merk yang mereka hasilkan di mana
harganya bisa selangit dan semakin mempertebal kantong pengusaha. Sedangkan
buruh, sebagaimana diungkapkan oleh Rita Tambunan dari Trade Union Rights Center (TURC), semakin terperosok dalam jurang
kemiskinan.
Pemberdayaan
Ancaman perbudakan buruh tidak
hanya mengintai pekerja perempuan yang bekerja di dalam negeri. Mereka yang
terpaksa bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) juga memiliki risiko yang
tak kalah mengkhawatirkan. Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia atau 70% dari
total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja sebagai TKW. Keadaan ekonomi
yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap
permodalan, membuat banyak perempuan Indonesia terpaksa menjadi TKW. Ironisnya,
hanya segelintir dari mereka yang memiliki bekal pendidikan dan keterampilan
memadai sehingga tak punya banyak pilihan selain bekerja di sektor informal
sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Salah satu profesi yang sangat rentan
mengalami perbudakan.
Untuk meminimalisasi risiko
tersebut, perlindungan terhadap buruh perempuan mutlak diperlukan. Namun, cara
ini seringkali tidak menjamin karena dalam praktiknya, perbudakan buruh kadang
terorganisir dengan sangat rapi sehingga tak hanya sulit untuk dipantau namun
juga sulit untuk dilawan manakala buruh perempuan terjebak di dalamnya. Dhus,
ptimalisasi pemberdayaan perempuan memiliki arti yang sangat penting untuk
mencegah praktik perbudakan buruh.
Perempuan harus dibekali
pengetahuan dan keterampilan sebaik mungkin sehingga ketika bekerja, mereka
tidak hanya memiliki peluang dan pilihan yang lebih besar namun juga posisi
tawar yang cukup baik terhadap pengusaha sehingga memungkinkan mereka mendapat
perlakuan yang lebih manusiawi. Akan lebih baik lagi jika perempuan diberi
modal usaha dan bimbingan yang intensif untuk berwirausaha sehingga tidak perlu
mencari kerja namun sebaliknya, membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain
terutama kaumnya.
Cara ini tidak hanya akan menyelamatkan
perempuan dari ancaman praktik perbudakan namun sekaligus memberi ruang lebih
besar bagi perempuan untuk ambil bagian dalam upaya meningkatkan perekonomian
keluarga, masyarakat bahkan negara. Perempuan sangat potensial untuk menjadi
wirausahawan tangguh di banyak bidang. Sayangnya, potensi ini belum tergarap
optimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar