|
SUARA
KARYA, 22 Juni 2013
Macet dan banjir - seperti halnya
Gubernur Jokowi - sudah menjadi media darling di Jakarta. Kedua isu ini sangat
seksi untuk jadi bahan obrolan sehari-hari karena dampaknya langsung terasa.
Namun, kalau digali lebih dalam, masalah hutan mangrove dan permasalahan yang
terkait dengannya, tidak kalah "seksi" untuk jadi isu menarik di
Jakarta, karena dampaknya juga bisa dirasakan langsung. Kenapa?
Pertama, karena Jakarta adalah ibu
kota negeri yang mempunyai hutan mangrove terbesar di dunia. Sekitar 75 persen
hutan mangrove yang ada di dunia berada di Indonesia. Dengan demikian, Jakarta
mestinya bisa menjadi "etalase" keberadaan mangrove di dunia. Sebagai
negeri bahari tropis dengan panjang pantai terbesar ketiga di dunia, mestinya
Jakarta bisa menjadikan mangrove sebagai icon Jakarta.
Di Indonesia, mangrove tumbuh di
mana-mana, mulai dari pantai sampai menjorok ke daratan sekitar pantai yang
jauhnya ratusan meter bahkan ribuan meter dari pantai. Nama Warakas di Utara
Jakarta dan Bintaro di Selatan Jakarta yang kini telah menjadi daerah pemukiman
padat, sebetulnya merupakan salah satu nama spesies mangrove.
Kedua, Jakarta yang pantainya
sangat tercemar karena limbah industri dan rumah tangga, sangat membutuhkan
hutan mangrove. Saat ini akibat banyaknya limbah yang masuk ke Teluk Jakarta
melalui sungai, selokan, dan lain-lain (sengaja membuang limbah ke laut dengan
berbagai cara), tingkat pencemaran di pantai Jakarta sudah sangat tinggi.
Polutan logam berat, pestisida, dan bahan beracun lain di Jakarta, kondisinya
sudah sangat memprihatinkan.
Kadar logam berat, khususnya
merkuri yang amat berbahaya dan pestisida jenis organoklor, bahan obat nyamuk
semprot yang mengakibatkan kerusakan saraf, metabolisme, dan kanker di Jakarta
sudah sangat tinggi, masing-masing sekitar 9 dan 13 ppb (part perbillion).
Padahal, berdasarkan ketentuan Kemenkes dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), kedua
bahan polutan berbahaya ini batas yang bisa ditolerir hanya 0,5 ppb. Ini
artinya, kadar kedua polutan berbahaya ini sudah 18-26 kali dari batas
toleransinya sehingga polusi air laut di Jakarta sudah amat parah. Semua
kondisi itu, akan bisa dikurangi bila hutan mangrove di pantai utara Jakarta
tumbuh dengan baik di mana-mana - bukan sekadar di Muara Angke dan beberapa
titik di pantai utara yang jumlah luasannya tidak signifikan.
Keberadaan hutan mangrove yang khas,
akan bisa mengurangi pencemaran pantai Jakarta yang berakibat pula terhadap
kurangnya kandungan logam berat dan pestisida pada ikan, kerang, dan udang asal
Teluk Jakarta. Dengan demikian, bila hutan mangrove di pantai utara diperbaiki
dan diperluas, maka penduduk Jakarta tidak perlu ragu-ragu lagi menyantap ikan,
udang, dan kerang yang berasal dari nelayan Cilincing dan Muara Karang.
Ketiga, hutan mangove mencegah
intrusi air laut ke daratan DKI. Saat ini, intrusi air laut ini sudah mencapai
puluhan kilometer ke daratan Jakata. Wilayah sekitar Jalan Thamrin dan Jalan
Sudirman, misalnya, kini sudah terintrusi air laut. Intrusi air laut ini tidak
hanya menyebabkan air tanah menjadi asin sehingga tidak layak minum, tapi juga
merusak fondasi bangunan pencakar langit yang mempunyai tiang pancang sangat
dalam (puluhan meter dari permukaan tanah). Air laut tersebut bisa merusak
besi-besi beton tiang pancang yang selanjutnya menjadikan tiang pancang kropos
dan membuat bangunan ambruk. Untuk mengatasi hal itu, Gubernur DKI harus
melakukan mangrovisasi secara serius guna mengatasi intrusi air laut tersebut.
Keempat, pohon mangrove mampu
menyerap karbon dioksida (gas asam arang, yang selanjutnya disebut karbon) dan
menghasilkan gas oksigen (gas asam) dua kali lipat dibandingkan pohon lain. Ini
artinya, bila suatu daerah mempunyai hutan mangrove yang luas, maka suhu udara
makin sejuk dan udara makin sehat. Dalam kondisi suhu yang terus memanas di
Jakarta akibat makin banyaknya kendaraan bermotor yang mengeluarkan karbon,
keberadaan hutan mangrove bisa menjadi solusi yang murah dan indah. Kenapa?
Hutan mangrove yang hijau akan
menyebarkan semilir angin yang sejuk karena mampu mengeluarkan gas oksigen yang
besar, yang amat dibutuhkan penduduk Jakarta. Dengan memperluas hutan mangrove,
suhu udara kota Jakarta pun akan makin sejuk. Bila hal itu terjadi, maka lokasi
hutan mangrove akan menjadi tempat wisata favorit karena menyehatkan. Joging
dan santai di hutan mangrove di pantai utara, misalnya, jauh lebih sehat
ketimbang joging di hutan taman kota di Menteng atau Tebet.
Dari penelitian di Universitas
Glasgow terhadap 2000 orang di Skotlandia yang joging dan olahraga di sekitar
hutan menunjukkan, mereka lebih rileks dan berkurang depresinya. Menurut
Profesor Richard Mitchell yang meneliti kasus di atas, santai dan olahraga di
sekitar hutan tidak hanya menyehatkan paru-paru, tapi juga sangat efektif
mengurangi stres dan depresi. Apalagi, santai dan olahraga di sekitar hutan
mangrove, niscaya hasilnya lebih baik lagi untuk kesehatan. Profesor Mitchel
berkata: "Ini menjadi pesan bagi dokter, perencana, dan pembuat kebijakan
bahwa sangat penting menjaga, membangun, dan mempromosikan lingkungan hutan
yang alami untuk menyehatkan warga kota."
Nah, tampaknya Gubernur Jokowi
perlu memperhatikan keberadaan dan sekaligus merestorasi hutan mangrove di
pantai utara DKI yang kini kondisinya jauh dari harapan. Dari sisi nilai
ekonomi yang berkaitan dengan pengobatan stres, kesehatan paru-paru, kerusakan
kulit akibat sengatan panas, keselamatan gedung-gedung akibat intrusi air laut,
dan keindahan kota maka program mangrovisasi pantai utara Jakarta merupakan
keniscayaan. Jika terlaksana, niscaya Jakarta akan menjadi kota mangrove. Dan,
ini penting untuk etalase yang menggambarkan bahwa Jakarta adalah ibu kota
negeri yang mempunyai hutan mangrove terluas di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar