Peta Baru
Timur Tengah dan Solusi Krisis Suriah
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam UIN
Sunan Kalijaga, Peserta Postdoctoral Program ARFI Kemenag RI di Maroko
|
MEDIA
INDONESIA, 07 November 2012
DUKUNGAN Rusia baru-baru ini terha dap
proposal perda maian Mesir untuk Suriah membawa harapan baru, meskipun sangat
kecil, bagi upaya menghentikan krisis kemanusiaan di Suriah akibat konflik
berkepanjangan. Proposal Mesir memiliki kekuatan tersendiri sebab lebih
realistis dalam memandang peta riil kekuatan Timur Tengah dan cenderung
mendorong kemandirian kawasan itu. Dua hal itu absen dalam proposal-proposal
sebelumnya baik yang digalang Kofi Annan maupun Al-Akhdar al-Ibrahimi.
Peta Baru
Proses perubahan yang melanda sejumlah negara
Arab melahirkan simpul-simpul kekuatan baru dan sedikit pergeseran konstelasi
politik di Timur Tengah. Penulis berpendapat simpul utama kekuatan kawasan
itu saat ini terdiri dari enam negara, yaitu Qatar, Mesir, Turki, Arab Saudi,
Iran, dan Israel. Tiga negara terakhir ialah aktor utama di kawasan sejak
beberapa dekade lalu.
Kepemimpinan Mesir menguat kembali pascaproses
perubahan selama hampir dua tahun di negeri itu yang membuat kepemimpinan tradisional
mereka di kawasan menurun drastis. Kepemimpin an baru Mesir ingin menegaskan
negara itu tidak bisa diabaikan dalam proses penyelesaian konflik Suriah.
Qatar memanfaatkan situasi perubahan di Mesir dan Dunia Arab itu sehingga
sekitar dua tahun terakhir kepemimpinan Arab seolah ada di Doha, Qatar,
kendati markas besar Liga Arab secara resmi berada di Kairo, Mesir.
Turki juga merupakan aktor penting. Peranannya
dalam pergaulan kawasan begitu menonjol sejak keberhasilan konsolidasi di
dalam negeri dan agresivitas mereka yang meningkat di kawasan. Dalam konteks
penyelesaian krisis Suriah, negara itu harus diperhitungkan. Negara itu
memiliki kendali cukup besar terhadap kekuatan-kekuatan politik oposisi dan
pejuang Suriah. Banyak pemimpin oposisi Suriah tinggal dan melakukan
aktivitas perlawanan mereka di negeri itu, tentu saja dengan dukungan tidak kecil
dari pemerintah Turki.
Disamping itu, negeri tersebut juga menjadi penampungan terbesar bagi para
pengungsi Suriah sebab lokasinya yang memiliki perbatasan darat cukup
panjang. Sebagian aktivitas perlawanan para pejuang Suriah diyakini juga
berbasis di perbatasan negeri itu.
Peranan Qatar dan Arab Saudi di Suriah tidak
perlu dipertanyakan lagi. Kedua negara itu sejak awal menjadi negara
terlantang dalam menyerukan penjatuhan Assad baik melalui GCC, Liga Arab,
hingga ke PBB. Bashar al-Assad dan jajarannya sudah tak terbilang berapa kali
menyebut kekuatan uang dua negara itu berada di balik kekacauan di Suriah.
Israel juga disebut-sebut memiliki peranan penting dalam proses perubahan di
Suriah. Itu tentu mudah dipahami mengingat Suriah ialah negara yang
bermusuhan dengannya.
Sementara itu, Iran sejak semula `pasang
badan' bagi rezim Suriah. Dukungan itu amat berarti bagi rezim Assad
mengingat pengaruh negeri itu begitu luas. Namun, yang dihadapi Suriah dan
Iran saat ini semakin besar. Konstelasi baru kawasan menunjukkan Iran sebagai
negara kawasan pembela Suriah sementara lima kekuatan yang lain di atas
mendukung oposisi dan tampak sekali mendorong jatuhnya rezim Assad. Arab
Saudi, Qatar, Turki, dan Mesir secara terbuka dan lantang mendukung oposisi
Suriah.
Di pihak lain, dukungan Israel ditengarai ada
secara rahasia. Israel, kendati berpengaruh di lapangan, meng hadapi situasi
dilematis akibat `karakter' mereka yang bersifat anomali di kawasan itu.
Dukungannya yang terbuka kepada oposisi justru bisa membuat blunder dan
kontraproduktif bagi para pejuang perubahan. Karena itu, peran terbaik negara
itu, sebagaimana dalam berbagai persoalan, ialah diam sembari memberikan
dukungan secara rahasia.
Basis Kawasan
Keberhasilan dalam masa transisi, setidaknya
untuk sementara, membuat Mesir langsung menggebrak di kawasan. Mursi langsung
memainkan politik `tinggi' di kawasan, termasuk mengenai solusi krisis
Suriah.
Ia mengusulkan membentuk kuartet negara-negara
di kawasan untuk mencari solusi terbaik bagi Suriah. Kuartet itu terdiri dari
Mesir, Arab Saudi, Turki, dan Iran. Qatar dan tentu saja Israel tidak
dilibatkan. Inti gagasan itu berpijak pada basis kawasan, yaitu negara-negara
kawasan dipandang paling memahami dan berkepentingan dalam penyelesaian
krisis Suriah. Semangat independensi kawasan itu sangat ditekankan Mursi
mengingat solusi berbagai persoalan Timur Tengah sejauh ini hampir selalu
melibatkan aktor-aktor `asing' yang tentu memiliki agenda dan kepentingan
sendiri dan belum tentu lebih baik dalam memahami situasi.
Sejauh ini, Mursi memang telah memiliki modal
untuk menggalang kebersamaan kawasan yang diwakili empat negara itu. Mursi
jauh-jauh hari sebelum menjadi presiden telah menjalin hubungan yang lekat
dengan para pemimpin `islamis' yang memimpin Turki saat ini. Arab Saudi ialah
negeri pertama yang dikunjunginya setelah menjadi presiden. Ia juga membangun
hubungan baik dengan Iran yang selama rezim Mubarak selalu berseberangan. Ia
tidak tanggung-tanggung berkunjung ke negeri itu sekalipun ia juga tidak
gugup menunjukkan beberapa perbedaan visi dengan Teheran.
Tidak dilibatkannya Israel dalam poros itu
bisa dipahami, tetapi bagaimana dengan Qatar yang selama ini `superaktif'
dalam penyelesaian krisis Suriah? Sepertinya, Mesir menginginkan kepemimpinan
Arab kembali ke pangkuan mereka. Poros itu secara langsung atau tidak hendak
mengurangi peran Qatar yang selama beberapa tahun terakhir dipan dang terlalu
agresif. Apalagi, Qatar ialah negara Teluk `kecil' yang mungkin dianggap
sudah terwakili oleh negara Teluk lain, yaitu Arab Saudi.
Sejauh ini, pertemuan deputi menteri kuartet
itu baru menyepakati prinsip-prinsip sangat umum sebagai landasan kerja
kuartet seperti penghentian kekerasan segera, keutuhan bangsa dan negara
Suriah, dan penolakan intervensi asing. Akan seperti apakah detail dan
spesifik formula baru `kawasan' ini dalam mendorong penyelesaian krisis
Suriah memang layak ditunggu. Namun, yang jelas berbagai formulasi politik
telah diusulkan, tetapi selalu kandas di tengah jalan.
Sementara itu, korban
kemanusiaan akibat situasi tak terkendali terus bertambah. Setelah menyimak
berlarutlarutnya penyelesaian krisis kemanusiaan Suriah tanpa solusi yang
jelas, penulis kembali teringat komentar `frustrasi' Paus Yohannes II bahwa
konflik Timur Tengah dapat diselesaikan dengan dua cara. Pertama melalui
solusi negosiasi di meja perundingan, dan itu merupakan mukjizat jika
terjadi. Kedua, melalui keterlibatan Tuhan secara langsung di bumi dan
memaksa pihak-pihak yang bertikai agar berdamai, itulah jalan yang realistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar