Jumat, 16 November 2012

Peta Baru Timur Tengah dan Solusi Krisis Suriah


Peta Baru Timur Tengah dan Solusi Krisis Suriah
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam UIN Sunan Kalijaga, Peserta Postdoctoral Program ARFI Kemenag RI di Maroko
MEDIA INDONESIA, 07 November 2012



DUKUNGAN Rusia baru-baru ini terha dap proposal perda maian Mesir untuk Suriah membawa harapan baru, meskipun sangat kecil, bagi upaya menghentikan krisis kemanusiaan di Suriah akibat konflik berkepanjangan. Proposal Mesir memiliki kekuatan tersendiri sebab lebih realistis dalam memandang peta riil kekuatan Timur Tengah dan cenderung mendorong kemandirian kawasan itu. Dua hal itu absen dalam proposal-proposal sebelumnya baik yang digalang Kofi Annan maupun Al-Akhdar al-Ibrahimi.

Peta Baru

Proses perubahan yang melanda sejumlah negara Arab melahirkan simpul-simpul kekuatan baru dan sedikit pergeseran konstelasi politik di Timur Tengah. Penulis berpendapat simpul utama kekuatan kawasan itu saat ini terdiri dari enam negara, yaitu Qatar, Mesir, Turki, Arab Saudi, Iran, dan Israel. Tiga negara terakhir ialah aktor utama di kawasan sejak beberapa dekade lalu.

Kepemimpinan Mesir menguat kembali pascaproses perubahan selama hampir dua tahun di negeri itu yang membuat kepemimpinan tradisional mereka di kawasan menurun drastis. Kepemimpin an baru Mesir ingin menegaskan negara itu tidak bisa diabaikan dalam proses penyelesaian konflik Suriah. Qatar memanfaatkan situasi perubahan di Mesir dan Dunia Arab itu sehingga sekitar dua tahun terakhir kepemimpinan Arab seolah ada di Doha, Qatar, kendati markas besar Liga Arab secara resmi berada di Kairo, Mesir.

Turki juga merupakan aktor penting. Peranannya dalam pergaulan kawasan begitu menonjol sejak keberhasilan konsolidasi di dalam negeri dan agresivitas mereka yang meningkat di kawasan. Dalam konteks penyelesaian krisis Suriah, negara itu harus diperhitungkan. Negara itu memiliki kendali cukup besar terhadap kekuatan-kekuatan politik oposisi dan pejuang Suriah. Banyak pemimpin oposisi Suriah tinggal dan melakukan aktivitas perlawanan mereka di negeri itu, tentu saja dengan dukungan tidak kecil dari pemerintah Turki.

Disamping itu, negeri tersebut juga menjadi penampungan terbesar bagi para pengungsi Suriah sebab lokasinya yang memiliki perbatasan darat cukup panjang. Sebagian aktivitas perlawanan para pejuang Suriah diyakini juga berbasis di perbatasan negeri itu.

Peranan Qatar dan Arab Saudi di Suriah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kedua negara itu sejak awal menjadi negara terlantang dalam menyerukan penjatuhan Assad baik melalui GCC, Liga Arab, hingga ke PBB. Bashar al-Assad dan jajarannya sudah tak terbilang berapa kali menyebut kekuatan uang dua negara itu berada di balik kekacauan di Suriah. Israel juga disebut-sebut memiliki peranan penting dalam proses perubahan di Suriah. Itu tentu mudah dipahami mengingat Suriah ialah negara yang bermusuhan dengannya.

Sementara itu, Iran sejak semula `pasang badan' bagi rezim Suriah. Dukungan itu amat berarti bagi rezim Assad mengingat pengaruh negeri itu begitu luas. Namun, yang dihadapi Suriah dan Iran saat ini semakin besar. Konstelasi baru kawasan menunjukkan Iran sebagai negara kawasan pembela Suriah sementara lima kekuatan yang lain di atas mendukung oposisi dan tampak sekali mendorong jatuhnya rezim Assad. Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Mesir secara terbuka dan lantang mendukung oposisi Suriah.

Di pihak lain, dukungan Israel ditengarai ada secara rahasia. Israel, kendati berpengaruh di lapangan, meng hadapi situasi dilematis akibat `karakter' mereka yang bersifat anomali di kawasan itu. Dukungannya yang terbuka kepada oposisi justru bisa membuat blunder dan kontraproduktif bagi para pejuang perubahan. Karena itu, peran terbaik negara itu, sebagaimana dalam berbagai persoalan, ialah diam sembari memberikan dukungan secara rahasia.

Basis Kawasan

Keberhasilan dalam masa transisi, setidaknya untuk sementara, membuat Mesir langsung menggebrak di kawasan. Mursi langsung memainkan politik `tinggi' di kawasan, termasuk mengenai solusi krisis Suriah.

Ia mengusulkan membentuk kuartet negara-negara di kawasan untuk mencari solusi terbaik bagi Suriah. Kuartet itu terdiri dari Mesir, Arab Saudi, Turki, dan Iran. Qatar dan tentu saja Israel tidak dilibatkan. Inti gagasan itu berpijak pada basis kawasan, yaitu negara-negara kawasan dipandang paling memahami dan berkepentingan dalam penyelesaian krisis Suriah. Semangat independensi kawasan itu sangat ditekankan Mursi mengingat solusi berbagai persoalan Timur Tengah sejauh ini hampir selalu melibatkan aktor-aktor `asing' yang tentu memiliki agenda dan kepentingan sendiri dan belum tentu lebih baik dalam memahami situasi.

Sejauh ini, Mursi memang telah memiliki modal untuk menggalang kebersamaan kawasan yang diwakili empat negara itu. Mursi jauh-jauh hari sebelum menjadi presiden telah menjalin hubungan yang lekat dengan para pemimpin `islamis' yang memimpin Turki saat ini. Arab Saudi ialah negeri pertama yang dikunjunginya setelah menjadi presiden. Ia juga membangun hubungan baik dengan Iran yang selama rezim Mubarak selalu berseberangan. Ia tidak tanggung-tanggung berkunjung ke negeri itu sekalipun ia juga tidak gugup menunjukkan beberapa perbedaan visi dengan Teheran.

Tidak dilibatkannya Israel dalam poros itu bisa dipahami, tetapi bagaimana dengan Qatar yang selama ini `superaktif' dalam penyelesaian krisis Suriah? Sepertinya, Mesir menginginkan kepemimpinan Arab kembali ke pangkuan mereka. Poros itu secara langsung atau tidak hendak mengurangi peran Qatar yang selama beberapa tahun terakhir dipan dang terlalu agresif. Apalagi, Qatar ialah negara Teluk `kecil' yang mungkin dianggap sudah terwakili oleh negara Teluk lain, yaitu Arab Saudi.

Sejauh ini, pertemuan deputi menteri kuartet itu baru menyepakati prinsip-prinsip sangat umum sebagai landasan kerja kuartet seperti penghentian kekerasan segera, keutuhan bangsa dan negara Suriah, dan penolakan intervensi asing. Akan seperti apakah detail dan spesifik formula baru `kawasan' ini dalam mendorong penyelesaian krisis Suriah memang layak ditunggu. Namun, yang jelas berbagai formulasi politik telah diusulkan, tetapi selalu kandas di tengah jalan.

Sementara itu, korban kemanusiaan akibat situasi tak terkendali terus bertambah. Setelah menyimak berlarutlarutnya penyelesaian krisis kemanusiaan Suriah tanpa solusi yang jelas, penulis kembali teringat komentar `frustrasi' Paus Yohannes II bahwa konflik Timur Tengah dapat diselesaikan dengan dua cara. Pertama melalui solusi negosiasi di meja perundingan, dan itu merupakan mukjizat jika terjadi. Kedua, melalui keterlibatan Tuhan secara langsung di bumi dan memaksa pihak-pihak yang bertikai agar berdamai, itulah jalan yang realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar