Rabu, 21 November 2012

Meraih Kembali Keutuhan ASEAN


Meraih Kembali Keutuhan ASEAN
Makarim Wibisono ;  Ekonom Senior di CIDES dan the Habibie Center
KOMPAS, 20 November 2012


Ibu kota Kamboja, Phnom Penh, kembali menerima para tamu agung peserta KTT ASEAN bersama negara mitra dialognya. Di samping pemimpin negara-negara ASEAN, akan hadir pula Presiden AS Barack Obama, PM China Wen Jiabao dan PM Jepang Yoshihiko Noda. Persiapan perhelatan begitu serius meski bangsa Kamboja tengah berkabung dengan wafatnya mantan Raja Norodom Sihanouk.

PM Hun Sen sebagai Ketua ASEAN berupaya agar KTT ASEAN kali ini berlangsung sukses guna memperbaiki citra Phnom Penh akibat kegagalan dalam hal komunike bersama tentang Laut China Selatan, Juli lalu. Targetnya, dicanangkannya tiga inisiatif, yang telah dimatangkan sebelum KTT ASEAN dimulai 18 November 2012.

Kemitraan Ekonomi

Pertama, diresmikannya perundingan untuk menyepakati The Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Dalam KTT ini, para pemimpin ASEAN akan meresmikan mekanisme RCEP yang melibatkan ASEAN dengan enam negara mitra. Secara operasional, mereka akan memulai perundingan awal tahun depan guna mencapai kesepakatan kemitraan ekonomi dengan skala terbesar dunia. Proses melibatkan 10 negara ASEAN bersama mitranya, seperti Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.

Gagasan RCEP sebenarnya telah disetujui di KTT Bali 2011. Kali ini fokusnya adalah operasionalisasi RCEP yang bertujuan mengonsolidasi Free Trade Agreements (FTA) yang telah ditandatangani ASEAN dengan mitra dialognya agar dapat menyederhanakan prosedur perdagangan dan mendorong arus dagang dan investasi ke wilayah ASEAN. Ini untuk mendorong kelahiran FTA tunggal ASEAN dengan mitra dialognya. Pasar tunggal secara matematis akan melibatkan tiga miliar penduduk dunia dengan produk domestik bruto keseluruhan 17 triliun dollar AS. Dalam konteks ini, para pemimpin ASEAN diharapkan dapat menyepakati batas akhir dari pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 sehingga proses berjalan seiring dengan upaya menuju pasar tunggal Asia Pasifik.

Deklarasi HAM

Kedua, para pemimpin ASEAN akan menandatangani pernyataan bersama untuk meluncurkan Deklarasi HAM ASEAN (The ASEAN Human Rights Declaration). Pernyataan berisi janji menghormati dan melindungi HAM sejalan dengan pengembangan demokrasi, tertib hukum, dan tata kelola yang baik.

Deklarasi HAM ASEAN juga menegaskan, komisioner ASEAN Intergovernmental Commission for Human Rights akan berjuang mewujudkan secara penuh rasa harga diri dan mencapai kualitas hidup penduduk ASEAN secara lebih baik. Deklarasi ini dianggap capaian istimewa (milestone) karena dapat mendorong proses demokratisasi anggota ASEAN seperti di Myanmar. 

Duta Besar Rosario Manalo dari Filipina menyatakan, negara-negara Indochina dan Myanmar ikut serta dalam konsensus ini sehingga keputusan ASEAN mengenai HAM jadi bulat dan dengan sendirinya mengikat secara moral.
Meski demikian, aktivis dan LSM HAM di Indonesia, ASEAN, ataupun internasional mengkritik deklarasi HAM ASEAN ini. Phil Robertson dari Human Rights Watch menyatakan, secara tertulis deklarasi masih di bawah standar internasional dan bisa dimanfaatkan pemerintah ASEAN guna membenarkan tindak kekerasan kepada warganya.

Navi Pillay, komisioner HAM PBB asal Afrika Selatan, mengungkapkan kegalauannya melihat proses perumusan deklarasi tanpa melalui konsultasi publik secara memadai. Pokok kekhawatirannya terutama pada kata- kata bahwa HAM dan kebebasan fundamental dapat dibatasi untuk memenuhi keperluan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan rakyat, keamanan publik, dan moralitas umum. Pengertian ini kian dilunturkan dengan rumusan kalimat bahwa penghormatan dan perlindungan HAM harus memperhitungkan konteks nasional dan regional seraya mempertimbangkan latar belakang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah, dan agama yang berbeda. Pillay mengimbau Ketua ASEAN dan pemimpin ASEAN lain menunda adopsi Deklarasi HAM ASEAN.

Rekonsiliasi

Ketiga, pengumuman kelahiran The ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR). Pasal 22, 23, dan 24 dari Piagam ASEAN yang diadopsi pada 2007 telah meminta agar negara-negara ASEAN mencari mekanisme penyelesaian sengketa antaranggota ASEAN secara damai dan dapat diterima semua pihak di ASEAN. Memang benar bahwa Treaty of Amity and Cooperation (TAC) telah memiliki high council yang dirancang sebagai forum penyelesaian sengketa antarnegara ASEAN secara damai. Namun, pada kenyataannya, sengketa antarnegara ASEAN pada masa lalu diselesaikan melalui forum Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Dewan Keamanan PBB. Berarti, high council belum berfungsi sesuai harapan.

Maka, KTT Phnom Penh akan meresmikan kelahiran AIPR yang berkedudukan di Indonesia. AIPR diharapkan dapat melakukan studi mengenai akar permasalahan yang mendorong lahirnya konflik di ASEAN. Dengan pengetahuan ini diharapkan AIPR dapat membuat langkah pencegahan konflik, menjadi penengah konflik, menjadi pemantau proses perdamaian, ataupun terlibat dalam pembangunan wilayah konflik agar perdamaian dapat berkelanjutan (post-conflict peace building).

Meski demikian, perhatian delegasi ataupun pengamat akan tertuju pada bagaimana Kamboja menangani masalah Laut China Selatan yang telah menggagalkan kesepakatan dalam Pertemuan ARF, Juli lalu. Para menteri dalam konferensi tingkat menteri Juli lalu gagal mencapai kesepakatan untuk pertama kalinya sejak kelahiran ASEAN 45 tahun lalu mengenai sengketa Laut China Selatan. Tumpang tindih klaim antara China, Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam di samping Taiwan telah mendorong macetnya pembahasan mengenai rumus komunike bersama soal tersebut. Kamboja dikritik berbagai pihak terlalu mengakomodasi kepentingan China sehingga membahayakan keutuhan ASEAN. Sebagai Ketua ASEAN, Kamboja diharapkan melakukan manuver lebih asertif untuk memelihara solidaritas dan keutuhan ASEAN sambil mencari kesepakatan politik bersama.

Patut dicatat, telah beredar rancangan kode perilaku (code of conduct) di Laut China Selatan sebagai perkembangan baru. Dalam rancangan itu dimasukkan elemen mengenai pencegahan konflik dan pengelolaan sengketa wilayah maritim. Dalam konteks ini diperlukan kelincahan ASEAN agar China bersedia duduk bareng membahas rancangan sebagai buah nyata pelaksanaan The Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea yang ditandatangani pada 2002. ASEAN sebagai wilayah yang berkembang pesat telah menarik perhatian negara-negara besar dunia seperti AS dan China yang ingin mengembangkan pengaruh di kawasan ini. Selama empat dekade, ASEAN berkembang menjadi negara-negara Asia Tenggara yang bersatu secara kohesif. Dengan demikian, dalam tiap kesempatan penting, seperti ASEAN+1, ASEAN+3, dan KTT Asia Timur, ASEAN selalu mengadvokasi sentralitas ASEAN.

Hal itu melahirkan platform ASEAN yang nyaman, imparsial, dan jauh dari cara-cara kekerasan, misalnya dalam bentuk TAC, ZOPFAN, dan SEANWFZ. Indonesia sebagai negara dengan wilayah terbesar, penduduk terbanyak, dan PDB tertinggi di ASEAN perlu berusaha habis-habisan meraih kembali keutuhan ASEAN yang sangat penting maknanya bagi tegaknya Komunitas ASEAN pada 2015. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar