Demokrasi
Tanpa Tanggung Jawab
Yudi Latif ; Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
20 November 2012
Bung Hatta mengingatkan, ”Demokrasi tidak
akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab. Demokrasi dan
tanggung jawab adalah dua serangkai yang tidak dapat dipisah-pisah.
Sebagaimana hak dan kewajiban adalah dua segi daripada keutuhan yang satu,
demikian pula pemerintahan demokrasi dan tanggung jawab adalah dua segi timbal
balik daripada tuntutan moral.”
Namun, demokrasi kita hari ini dirayakan
oleh kegaduhan pencitraan di satu ujung dan ketiadaan responsibilitas di
ujung yang lain. Di tengah-tengahnya kita legalisasikan penjarahan kekayaan
nasional, kita sucikan kebatilan korupsi, dan kita maafkan pengkhianatan.
Nurani yang terpojok cuma bisa menggemakan jeritan Julius Caesar, ”O, what a fall was there, my countrymen!
Then, I, and you, and all of us fell down, whilst bloody treason flourished
over us.”
Dalam merebaknya pengkhianatan, negara
terjerembap ke dalam genggaman adu kepentingan para sindikat. Akhir-akhir ini
publik terenyak oleh baku-bongkar kejahatan antarlembaga negara, yang secara
telanjang memperlihatkan cengkeraman jejaring kejahatan di segala lini
bersamaan dengan robohnya rasa tanggung jawab penyelenggara negara pada
kebajikan publik.
Hulu dari segala kejahatan adalah kejahatan
kebijakan. Peraturan semestinya disusun secara berdaulat demi kebahagiaan,
keadilan, dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Namun, dalam kealpaan
tanggung jawab legislator, banyak undang-undang disusun untuk melegalisasikan
penjarahan dan pemiskinan rakyat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, setidaknya pada pasal-pasal yang menyangkut kewenangan
BP Migas, suatu contoh legalisasi penjarahan kekayaan nasional oleh modal
asing.
Ironisnya, substansi Perpres No 95/2012 sebagai pengganti undang-
undang tersebut dinilai oleh para pemohon uji materi masih mempertahankan
pola pengelolaan migas dalam kerangka business
to government yang melemahkan kedaulatan negara. Bisa dipahami jika hal
itu memunculkan dugaan bahwa perpres tersebut merupakan ”Payung Istana untuk Lindungi Mafia Migas” (RMOL, 16/11/2012).
Sementara itu, dari laporan Sekretaris
Kabinet Dipo Alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, terkuak praktik
persekongkolan penjarahan keuangan negara yang melibatkan anggota partai
politik di DPR dan yang menjadi pejabat di kementerian. Yang paling
mengenaskan, praktik megakorupsi politik ini tak kenal warna asas kepartaian.
Bahkan, kementerian yang dikuasai partai bercorak keagamaan pun terindikasi
melakukan kejahatan serupa, dengan konsekuensi melakukan sakralisasi tindakan
korupsi.
Dalam demokrasi surplus pengkhianatan,
kejahatan besar begitu sulit dihukum, tetapi begitu mudah dimaafkan. Kasus
megaskandal Bank Century dan Hambalang terus digantung, sedangkan gembong
narkoba kelas kakap begitu mudah diberikan grasi.
Akhirnya, harus disebutkan tentang godaan
terakhir sebagai suatu pengkhianatan, yakni melakukan tindakan yang benar
untuk tujuan yang salah. Saling bongkar kejahatan antarpejabat negara memang
membantu publik mengenali modus korupsi dan pengkhianatan. Namun, motif
tersembunyi di balik tindakan itu acap kali menghentikan langkah-langkah
pembongkaran kejahatan itu sebatas pencitraan, dengan posisi berdiri yang
mudah bergeser. Selebihnya, publik hanya menyaksikan biduk republik yang
retak, dengan para awaknya yang bertikai, tanpa kekompakan di bawah garis
kepemimpinan sang kapten.
Di setiap penggal sejarah Indonesia selalu
ada pengkhianat. Namun, belum pernah nalar dan nurani publik begitu terpuruk
seperti saat ini. Krisis demokrasi kita terjadi persis karena nilai-nilai
keadaban publik tidak memiliki sarana yang efektif untuk memengaruhi
kebijakan politik. Merebaknya tendensi privatisasi dalam ekonomi dan politik
menempatkan kepentingan pribadi di atas nilai-nilai kebajikan publik.
Timbullah gejala civic schizophrenia
yang cenderung meminggirkan segala yang civic
dan public.
Dalam situasi seperti itu, meminjam
ungkapan Winston Churchill, ”Akan
menjadi suatu reformasi besar dalam politik sekiranya kearifan bisa tersebar
secepat kedunguan.” Namun, perembesan kearifan dalam kehidupan politik
perlu mendudukkan demokrasi di bawah imperatif etis: cita kerakyatan, permusyawaratan,
dan hikmat-kebijaksanaan.
Dalam imperatif etis ini, demokrasi
memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan
politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat
persaudaraan dalam kerangka musyawarah-mufakat. Dalam prinsip itu, keputusan
tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas
elite politik dan pengusaha (minorokrasi), tetapi dipimpin oleh
hikmat-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan
kearifan setiap warga negara tanpa pandang bulu.
Di bawah orientasi etis
hikmat-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab serta
nilai-nilai persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial. Orientasi etis
”hikmat-kebijaksanaan” juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang
mendalam dengan jangkauan jauh ke depan serta kearifan untuk dapat menerima
perbedaan secara positif dengan memuliakan the virtue of civility, yakni rasa pertautan dan kemitraan di
antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama,
melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya
secara toleran kepada tertib sipil.
Jika politik memang diabadikan bagi
kebaikan hidup bersama, harus ada usaha penataan ulang institusi demokrasi,
yang memudahkan orang-orang arif bijaksana mengambil tanggung jawab
kepemimpinan politik dari para pengkhianat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar