Rabu, 21 November 2012

Demokrasi Tanpa Tanggung Jawab


Demokrasi Tanpa Tanggung Jawab
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 20 November 2012

Bung Hatta mengingatkan, ”Demokrasi tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab adalah dua serangkai yang tidak dapat dipisah-pisah. Sebagaimana hak dan kewajiban adalah dua segi daripada keutuhan yang satu, demikian pula pemerintahan demokrasi dan tanggung jawab adalah dua segi timbal balik daripada tuntutan moral.”

Namun, demokrasi kita hari ini dirayakan oleh kegaduhan pencitraan di satu ujung dan ketiadaan responsibilitas di ujung yang lain. Di tengah-tengahnya kita legalisasikan penjarahan kekayaan nasional, kita sucikan kebatilan korupsi, dan kita maafkan pengkhianatan. Nurani yang terpojok cuma bisa menggemakan jeritan Julius Caesar, ”O, what a fall was there, my countrymen! Then, I, and you, and all of us fell down, whilst bloody treason flourished over us.”

Dalam merebaknya pengkhianatan, negara terjerembap ke dalam genggaman adu kepentingan para sindikat. Akhir-akhir ini publik terenyak oleh baku-bongkar kejahatan antarlembaga negara, yang secara telanjang memperlihatkan cengkeraman jejaring kejahatan di segala lini bersamaan dengan robohnya rasa tanggung jawab penyelenggara negara pada kebajikan publik.

Hulu dari segala kejahatan adalah kejahatan kebijakan. Peraturan semestinya disusun secara berdaulat demi kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Namun, dalam kealpaan tanggung jawab legislator, banyak undang-undang disusun untuk melegalisasikan penjarahan dan pemiskinan rakyat. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, setidaknya pada pasal-pasal yang menyangkut kewenangan BP Migas, suatu contoh legalisasi penjarahan kekayaan nasional oleh modal asing. 

Ironisnya, substansi Perpres No 95/2012 sebagai pengganti undang- undang tersebut dinilai oleh para pemohon uji materi masih mempertahankan pola pengelolaan migas dalam kerangka business to government yang melemahkan kedaulatan negara. Bisa dipahami jika hal itu memunculkan dugaan bahwa perpres tersebut merupakan ”Payung Istana untuk Lindungi Mafia Migas” (RMOL, 16/11/2012).

Sementara itu, dari laporan Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, terkuak praktik persekongkolan penjarahan keuangan negara yang melibatkan anggota partai politik di DPR dan yang menjadi pejabat di kementerian. Yang paling mengenaskan, praktik megakorupsi politik ini tak kenal warna asas kepartaian. Bahkan, kementerian yang dikuasai partai bercorak keagamaan pun terindikasi melakukan kejahatan serupa, dengan konsekuensi melakukan sakralisasi tindakan korupsi.

Dalam demokrasi surplus pengkhianatan, kejahatan besar begitu sulit dihukum, tetapi begitu mudah dimaafkan. Kasus megaskandal Bank Century dan Hambalang terus digantung, sedangkan gembong narkoba kelas kakap begitu mudah diberikan grasi.

Akhirnya, harus disebutkan tentang godaan terakhir sebagai suatu pengkhianatan, yakni melakukan tindakan yang benar untuk tujuan yang salah. Saling bongkar kejahatan antarpejabat negara memang membantu publik mengenali modus korupsi dan pengkhianatan. Namun, motif tersembunyi di balik tindakan itu acap kali menghentikan langkah-langkah pembongkaran kejahatan itu sebatas pencitraan, dengan posisi berdiri yang mudah bergeser. Selebihnya, publik hanya menyaksikan biduk republik yang retak, dengan para awaknya yang bertikai, tanpa kekompakan di bawah garis kepemimpinan sang kapten.

Di setiap penggal sejarah Indonesia selalu ada pengkhianat. Namun, belum pernah nalar dan nurani publik begitu terpuruk seperti saat ini. Krisis demokrasi kita terjadi persis karena nilai-nilai keadaban publik tidak memiliki sarana yang efektif untuk memengaruhi kebijakan politik. Merebaknya tendensi privatisasi dalam ekonomi dan politik menempatkan kepentingan pribadi di atas nilai-nilai kebajikan publik. Timbullah gejala civic schizophrenia yang cenderung meminggirkan segala yang civic dan public.

Dalam situasi seperti itu, meminjam ungkapan Winston Churchill, ”Akan menjadi suatu reformasi besar dalam politik sekiranya kearifan bisa tersebar secepat kedunguan.” Namun, perembesan kearifan dalam kehidupan politik perlu mendudukkan demokrasi di bawah imperatif etis: cita kerakyatan, permusyawaratan, dan hikmat-kebijaksanaan.

Dalam imperatif etis ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka musyawarah-mufakat. Dalam prinsip itu, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha (minorokrasi), tetapi dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga negara tanpa pandang bulu.

Di bawah orientasi etis hikmat-kebijaksanaan, demokrasi direalisasikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab serta nilai-nilai persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial. Orientasi etis ”hikmat-kebijaksanaan” juga mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam dengan jangkauan jauh ke depan serta kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan the virtue of civility, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Jika politik memang diabadikan bagi kebaikan hidup bersama, harus ada usaha penataan ulang institusi demokrasi, yang memudahkan orang-orang arif bijaksana mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik dari para pengkhianat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar