Menggugah(t)
Kebangsaan
Ali Masykur Musa ; Ketua
Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Oktober 2012
INDONESIA merupakan bangsa yang menda patkan rahmat tak
ter hingga dari Ilahi. Bangsa ini sudah berabad-abad hidup dalam karunia `kebinekaan'.
Perbedaan adat istiadat, bahasa, dan religi merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Dalam kemajemukan, Indonesia sebenarnya punya bahan pelajaran yang melimpah untuk hidup bersama dalam kedamaian.
Dalam masyarakat dan bangsa yang majemuk, peran paham
kebangsaan dan ideologi negara sebagai dasar kehidupan bernegara amat penting
untuk memelihara persatuan dan kesatuan atas dasar kebersamaan dan toleransi.
Ideologi negara memayungi dan melindungi semua kepentingan masyarakat yang
majemuk. Paham kebangsaan ialah tali pengikat yang kuat untuk
terselenggaranya perdamaian budaya.
Perdamaian budaya ialah mozaik indah masyarakat dan budaya Indonesia sebagai
wujud dari kebinekaan dalam persatuan dan kesatuan nasional. Prinsip dan
semangat seperti itulah yang terkandung dalam sumpah pemuda.
Dalam momen Sumpah Pemuda, sebagai anak bangsa, sepatutnya
kita meneladani lelaku para pendahulu kita. Sumpah Pemuda ialah contoh jelas
bahwa konflik kebangsaan bisa dihindari jika seluruh komponen bangsa bersatu
dan sepakat dengan ideologi dan cita-cita bernegara. Kemajemukan bangsa
dengan pemaknaan yang jernih akan mampu menjadi modal bagi pembangunan
karakter bangsa.
Namun, sungguh sayang, jika kita menengok kembali peristiwa
belakangan yang merebak, ternyata bangsa ini sering mengalami konflik. Antarkelompok
anak bangsa sering berkelahi dengan membawa nama agama, partai, suku,
kampung, hingga nama keluarga. Tak jarang, darah tertumpah dan nyawa melayang
sia-sia. Setelah melihat kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
penghayatan kita terhadap makna sejati kebinekaan masih belum penuh.
Tanggal 20 Mei 1908, di ujung permulaan abad ke20, ialah
akar dari suatu kebangkitan. Para pemuda Budi Utomo, yang sejumlah anggotanya
justru berasal dari keluarga priayi Jawa dan sedang mencicipi sekolah tinggi
Barat, dengan semangat bersuara tentang nasib rakyat kecil. Bukan hanya itu,
mereka berbicara tentang `persaudaraan nasional', yaitu sebuah usaha
mempersatukan Hindia Belanda tanpa ada perbedaan ras, jenis kelamin, dan
kepercayaan.
Keberadaan Budi Utomo melahirkan beberapa organisasi
kepemudaan, seperti Tri Koro Darmo (Jong Java), Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa, dan Jong Betawi. Organisasi-organisasi itulah yang menjadi cikal
bakal lahirnya Sumpah Pemuda.
Untuk mewujudkan persatuan organisasi-organisasi tersebut,
mereka melakukan pertemuan dalam rangka mencapai kata mufakat. Pada 15
November 1925, mereka mengadakan kongres pemuda untuk membentuk panitia
pelaksanaan kesepakatan bersama. Kemudian, pada 30 April 1926,
organisasiorganisasi itu berkumpul dan membentuk rapat besar yang dikenal
sebagai Kongres Pemuda I.
Dua tahun setelah itu, pada 26-28 Oktober 1929,
organisasi-organisasi pemuda, mahasiswa, dan partai politik berkumpul kembali
dalam Kongres Pemuda II, dengan agenda utama mempersatukan dan mengobarkan
semangat perjuangan dalam diri tiap peserta. Pada hari ketiga kongres, Sumpah
Pemuda yang ditulis Muhammad Yamin pada selarik kertas dideklarasikan.
Pada hari itu juga, secara resmi Muhammad Yamin
mengusulkan agar bahasa Me layu menjadi bahasa persatuan Indonesia dan di
hari itu pula untuk pertama kalinya WR Supratman memperdengarkan lagu
Indonesia Raya melalui gesekan biola yang diiringi alunan piano Dolly, putri
Haji Dolly, putri Haji Agus Salim. Pijakan dasar tanah air telah
dikumandangkan. Pemuda bersatu; gagasan dan citacita berjalan untuk
diperjuangkan.
Menggugat Kebangsaan
Telah 84 tahun berlalu sejak Sumpah Pemuda untuk pertama
kalinya disuarakan. Zaman telah mengikis begitu ba nyak makna dari ikrar
sakral itu. Sumpah pemersatu bangsa itu kini terasa kehilangan keramatnya. Pada
era mile nium ini, pemuda terkesan tidak lagi mempersoalkan ideologi dalam
tataran makna. Para pemuda era modern ini lebih berkonsentrasi mengejar
prestasi individu ketimbang memikirkan kebersamaan berbangsa. Sepertinya,
pemuda di era milenium ini lebih menikmati untuk membangun menara kebanggaan
di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Lebih dalam, setidaknya ada dua hal mendasar yang bisa
kita gugat karena bisa melunturkan gairah kebangsaan. Yang pertama ialah
semakin parahnya tingkat pragmatisme politik. Euforia re formasi menenggelamkan
semangat demokrasi. Partai politik (parpol) yang tumbuh dan berdiri setelah
reformasi belum diikuti proses kematangan budaya politik. Secara kasatmata,
parpol masih berfungsi sebagai kendaraan untuk mem peroleh kekuasaan politik.
Fungsi parpol sebagai penyalur aspirasi dari rakyat kepada pemerintah
terlihat putus. Kepemimpinan nasional yang lahir dari parpol dalam proses
demokrasi belum seirama dengan kehendak publik.
Kedua, kini nilai kebangsaan Indonesia masih diwarnai
penonjolan sikap primordial antardaerah. Pelaksanaan otonomi daerah juga
tidak sejalan dengan semangat kebangsaan. Bukti politik identitas
primordialis me itu tampak dari semakin merebaknya keinginan daerah untuk
berlomba-lomba mengurus diri sendiri, pemekaran wilayah dari tingkat provinsi
sampai desa. Eksploitasi besar-besaran dilakukan, termasuk menguras kekayaan
rakyat melalui regulasi daerah yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan
pemasukan uang. Tidak perlu heran jika kelak pada suatu saat nanti terjadi
ketimpangan antara daerah yang kaya dan yang miskin karena tipisnya kesadaran
kolektif untuk saling menolong.
Padahal, menurut Ernest Renan, `bangsa adalah suatu nyawa,
suatu akal yang terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus bersama-sama
menjalankan satu riwayat dan rakyat yang kemudian harus mempunyai hasrat dan
kemauan hidup untuk menjadi satu'. Renan menyebut bahwa bangsa lahir dari
`hasrat buat bersatu', tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan
sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti, kecuali mati.
Keutuhan bangsa ialah bagian erat dari kehidupan kita.
Menggugah Kebangsaan
Sejarah Indonesia memberikan kita pelajaran, harapan ialah
sesuatu yang sulit diraih, tapi ia tidak akan pernah sirna. Harapan selalu
ada. Jika kita membuka lagi lembar demi lembar sejarah, kita mengetahui
bangsa Indonesia ini dibangun dari kepingan-kepingan optimisme yang pendek. Meskipun
begitu, ia selalu bisa bangkit dan siap bekerja kembali.
Melalui semangat Sumpah Pemuda ini, kita harus menghayati
laku para pemuda pelopor kebangkitan negeri ini. Mereka rela melepaskan
atribut kedaerahan dan melebur menjadi satu di bawah bendera Indonesia.
Setelah ikrar itu terucap, tidak ada lagi sekat-sekat yang sebelumnya menjadi
tembok besar dalam mempersatukan bangsa yang memang penuh dengan ragam
warna-warni budaya ini.
Kita harus meresapi, apa yang mendorong mereka untuk melebur
diri ke dalam Indonesia. Mungkin bagi mereka, tanah air ialah bagian dari
bumi dan badan. Raga tergerak karena ada bagian dari tubuh mereka yang lekat
dengan bumi: tanah air. Tanah air ialah kenangan yang terpaut dengan raga dan
rumah harapan masa depan.
Sumpah
Pemuda ialah pertanda setiap manusia tidak berdiri sendiri, ada gerak yang
mengubah `kami' menjadi `kita'. Sumpah Pemuda membuat kita sadar bahwa bangsa
sebenarnya bukan hanyalah sebuah asal. Bangsa adalah harapan, dan di dalamnya
terukir cita-cita bersama: kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan. Kita
bekerja bersama untuk mewujudkan cita-cita itu. Sungguh tantangan yang menggugah. Bisakah kita mewujudkannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar