Jumat, 02 November 2012

Karakter dan Sindroma Eristik


Karakter dan Sindroma Eristik
Imam Munadjat ;  Ketua Harian Sjafruddin Prawiranegara Centre for Islamic Finance Studies Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang 
SUARA MERDEKA, 02 November 2012


KETIKA menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam acara bertajuk ’’Dialog Kebangsaan’’ di Lasem Rembang beberapa waktu lalu, Jenderal (Purn) Riyamizard Ryacudu menyitir istilah eristik, yang dipopulerkan Plato. Dalam diskusi yang diselenggarakan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) itu ia menjelaskan bahwa eristik (eristikos) adalah diskusi atau perdebatan yang semata-mata demi kenikmatan berdebat itu sendiri, bukan mencari solusi. 
Penyitiran pemikiran filsuf dari Yunani itu untuk menggambarkan kegemaran anak bangsa ini dalam berdebat, dan menjadikannya sebagai ajang saling bantah, lepas dari kebiasaan bertindak, serta tak ada kaitan antara materi debat dan perilaku keseharian. Dalam konteks dialektika Plato, eristik menjadi sangat berbeda karena dialektika lebih bertujuan mencapai kebenaran.

Debat menjadi sarana memukul dan saling pukul, serta menjatuhkan dan saling menjatuhkan lawan debat atau kelompok lawan yang menjadi sasaran debat. Semua itu jauh dari kearifan mencari solusi masalah yang diperdebatkan. Debat kadang menjadi arena mengumpat, mencaci-maki tindakan atau kebijakan yang diambil pejabat. 
Hampir mirip teriakan penonton bola yang memaki, bahkan tak jarang membodoh-bodohkan pemain bola. Padahal yang memaki-maki itu bukanlah pemain atau pelatih sepak bola. Seandainya kita memintanya bermain pun belum tentu sebaik (untuk tidak mengatakan lebih baik dari) pemain bola beneran. 

Simak juga acara debat di televisi terkait perseteruan Polri versus KPK. Siapa pun boleh dan bisa berbicara atau berkomentar apa pun. Kompetensi terhadap materi pembicaraan bisa menjadi nomor sekian. 
Forum untuk membedah konflik Polri versus KPK hanyalah satu contoh debat. Ketika terjadi perbedaan persepsi atau apa pun namanya, terkait kewenangan dua lembaga itu dalam penanganan kasus simulator SIM, sejumlah pihak berharap Presiden turun tangan. Namun setelah SBY melangkah, masih ada pihak mencela, maido. Kita teramat sering melihat komedia eristika, sesuai dengan tema dan topik yang terjadi di negeri ini. 

Karakter Negara

Tentang Indonesia, rasanya menarik untuk memperbincangkan kememudaran identitas (karakter) bangsa. Sayang, publik lebih sering mengonotasikan kondisi itu dengan kememudaran semangat berbangsa dan bernegara, yang tercermin dalam semakin rendah semangat berkorban rakyat demi kepentingan bangsa dan negara. 
Realitas itu mendorong upaya menggelorakan kembali semangat hidup masyarakat, melalui pendidikan karakter dan sejenisnya. Ujung-ujungnya, muncul tuntutan supaya rakyat memiliki karakter dan identitas jelas, yang bisa menjadi ciri khas bangsa.

Para founding father membangun NKRI dengan tujuan jelas, bukan asal berdiri, asal ada negara yang kemudian disepakati bernama Indonesia. Kejelasan tujuan yang juga menjadi cita-cita kemerdekaan, sebagaimana amanat Preambul UUD 1945, adalah melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah. Selain itu, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Dalam konstruksi pemikiran Preambul UUD 1945; Pancasila adalah dasar negara, kaidah fundamental negara, dan norma tertinggi dalam hierarki sistem norma dan hukum negara kita. Pancasila adalah pemersatu kebhinnekaan suku yang multikultural, dan mengarahkan pada ketunggalikaan bangsa.  

Ada keinginan dan rasa bersama yang tertuang dalam Pancasila, yang menyatukan bangsa ini. Nilai-nilai dasar negara diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara oleh seluruh warga tanpa membedakan ’’kasta’’ (rakyat atau penyelenggara kekuasaan negara). 

Perwujudan Nilai

Membangun bangsa hanya bisa terlaksana dengan baik bila negara memiliki karakter. Adapun karakter negara, sebagaimana individu, tercermin dalam perilaku sebagai perwujudan moral yang terbangun dari sistem nilai yang mereka yakini kebenarannya. Nilai kebenaran itulah yang mendasari perilaku, menjadi tolok ukur tindakan benar-salah, baik-buruk, dan seterusnya. 

Memperdebatkan tentang karakter bangsa ini akan berakhir pada kesepakatan bila kita kembali pada kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Revitalisasi Pancasila dengan nilai-nilai yang bulat dan utuh, sebagai karakter negara, dimulai dari reformasi konstitusi sebagai aturan penegakan hukum bagi seluruh warga. Mereformasi konstitusi berarti ada kemauan kuat dari penyelenggara kekuasaan negara untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik keseharian.  

Mereformasi konstitusi merupakan wujud nyata perilaku penyelenggara kekuasaan negara yang berkarakter. Reformasi konstitusi menjadi salah satu jawaban dari kemerosotan  penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila, yang bisa ditengarai oleh kemerebakan konflik sosial, konflik horizontal, pelanggaran HAM, serta angka pengangguran dan kemiskinan yang makin tinggi.

Apabila kita menyepakati pengamalan Pancasila, sebagaimana gagasan Notonegoro, menjadi karakter negara, hal ini bisa menjadi acuan kesepakatan bersama antara rakyat/ bangsa dan negara. Artinya, tindakan apa pun untuk mengisi kemerdekaan dan mengisi negara yang merdeka, harus bertitik tolak dari Pancasila, dengan nilai-nilai yang utuh dan bulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar