Rabu, 07 November 2012

Jumlah Parpol dan Kesejahteraan


Jumlah Parpol dan Kesejahteraan
Sumaryoto ;  Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 06 November 2012



"Patut mempertimbangkan untuk mengangkat semua perangkat desa  menjadi pegawai negeri sipil (PNS)"

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 16 partai politik lolos verifikasi administrasi sebagai peserta Pemilu 2014; 9 di antaranya parpol pemilik kursi di DPR, dan 18 partai lainnya tak lolos. Saat ini penyelenggara pemilu tersebut sedang memverifikasi secara faktual, dan bila ada partai tidak lolos maka peserta Pemilu 2014 kurang dari 16 parpol.

Pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol yang dimenangi PDI Perjuangan, Pemilu 2004 diikuti 24 parpol dimenangi Partai Golkar, dan Pemilu 2009 diikuti 38 parpol dimenangi Partai Demokrat. Berapa sebenarnya jumlah ideal parpol peserta pemilu di Indonesia?

Lembaga mana pun tak ada yang berani menyebut jumlah ideal parpol peserta pemilu di negara kita. Hanya bila kita berkaca dari negara-negara maju yang mempunyai sistem demokrasi mapan, jumlah ideal parpol peserta pemilu adalah dua; satu the ruling party atau partai pemerintah, satunya lagi oposisi.

Di Indonesia yang sistem demokrasinya sedang mencari bentuk, meskipun konstitusi tidak mengenal istilah oposisi, ada parpol memosisikan diri sebagai oposisi, yakni PDI Perjuangan, dan mungkin juga Gerindra dan Hanura. Ada pula parpol yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan Parpol Pendukung Pemerintah, yakni Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB.

Kendati memosisikan diri sebagai pendukung pemerintah, parpol-parpol itu kerap berseberangan dengan Partai Demokrat dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Inilah salah satu anomali sistem demokrasi di negara kita.

Anomali yang lain adalah dominasi daya tarik figur ketimbang parpol. Sebut saja misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meskipun pada Pemilu 2004 Partai Demokrat bukan pemenang, dalam Pilpres 2004 SBY terpilih menjadi Presiden. 

Begitu pun dalam sejumlah pilkada, termasuk Pilkada DKI Jakarta yang dimenangi Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang diusung PDI Perjuangan dan Gerindra. Dua parpol ini bukan pemilik mayoritas kursi di DPRD DKI Jakarta hasil Pemilu 2009.
Entah kebetulan atau tidak, hasil verifikasi administrasi KPU sejalan dengan keinginan publik, yakni penyederhanaan jumlah parpol. Maklum, berdasarkan hasil survei berbagai lembaga, publik sudah mulai jenuh, bahkan jengah, terhadap keberadaan parpol-parpol, khususnya partai yang kadernya banyak terjerat kasus korupsi.

Perangkat Desa

Banyak kader parpol, termasuk kader muda, yang terjerat korupsi, mengindikasikan bahwa parpol tersebut telah gagal melakukan perekrutan. Implikasinya, publik bisa menganggap partai itu gagal melakukan kaderisasi. Sistem demokrasi yang cenderung liberal dan meniscayakan kehadiran modal finansial menjadikan parpol-parpol mencari kader comotan, yang penting bisa mengisi pundi-pundi partai untuk menghadapi pemilu.

Sejengah apa pun publik, parpol akan tetap ada karena merupakan salah satu instrumen demokrasi. Parpol menjadi sarana melahirkan pemimpin, baik di legislatif maupun eksekutif.

Berapa pun jumlah parpol peserta pemilu, bermuara pada kelahiran pemimpin amanah yang dapat menyejahterakan rakyat. Berapa pun jumlah parpol, yang penting rakyat sejahtera.

Kita juga tak bisa setback. Kita harus mengendalikan sistem demokrasi yang cenderung liberal, yang meniscayakan kehadiran modal finansial. Perlu mengembalikan sistem demokrasi ke khitah sebagaimana cita-cita gerakan reformasi. Artinya, kita harus mengenyahkan praktik politik uang sehingga bisa meminimalisasi high cost politics dalam pileg, pilpres, dan pilgub/pilbup/ pilwalkot. Untuk itu, sangat diperlukan, bahkan strategis, peran perangkat desa sebagai ujung tombak gerakan anti-money politics.

Mengapa strategis? Pertama; karena perangkat desa independen, tidak terafiliasi ke parpol mana pun. Kedua; perangkat desa adalah SDM dengan kemampuan cukup lumayan, yang dapat berada di garda terdepan membimbing rakyat untuk memilih pemimpin yang amanah, baik di legislatif maupun eksekutif, sesuai tingkatan, dengan mengenyahkan praktik politik uang.

Dalam konteks ini, dan demi menjamin kenetralitasan maka patut mempertimbangkan supaya mengangkat semua perangkat desa  menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagaimana pemerintah melakukan terhadap sekretaris desa atau sekdes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar