Rabu, 07 November 2012

Iman, Toleransi, dan Pispot


Iman, Toleransi, dan Pispot
AP Edi Atmaja ;  Peminat kajian agama di LPM Gema Keadilan, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
JARINGNEWS.COM, 06 November 2012



Bukan tanpa sebab saya memberikan judul esai ini secara agak 'fiktif'. Apa kaitan iman dan toleransi dengan pispot? Aneh betul.

Adalah Hamsad Rangkuti yang menginspirasi saya lewat judul kumpulan cerita pendeknya, Bibir dalam Pispot (Penerbit Buku Kompas, 2003). Kendati tiada satu pun cerpen berjudul 'Bibir dalam Pispot' dalam kumpulan itu, agaknya penjudulan buku dinisbahkan kepada cerpen kedua, 'Pispot'.

'Pispot' bercerita tentang seorang penjambret kalung yang tertangkap. Dia lalu diinterogasi di kantor polisi. Karena menyangkal terus, ia dipaksa menelan obat pencahar agar mengeluarkan seluruh isi perutnya, tempat ia diduga menyembunyikan kalung curiannya. Sebuah pispot disodorkan polisi buat menampung seluruh kotorannya. Di akhir kisah, ia dibebaskan karena pispot penampung kotorannya--setelah berkali-kali diperiksa--bebas dari benda apa pun, kecuali makanan yang ia santap di pagi hari.

Seperti biasa, Hamsad mengejutkan pembaca ketika tiba di akhir cerpen. Ternyata, orang itu benar-benar menjambret kalung. Ia menyembunyikan benda itu dengan menelannya. Ia mengaku kepada si Aku:

“Bapak orang baik. Saya harus mengatakannya! Anakku sedang sakit keras. Kami perlu biaya. Istriku telah putus asa di rumah. Dokter meminta banyak. ... Saya bukanlah penjambret. Tetapi saya telah melakukannya. Tiga kali kalung itu keluar ke dalam pispot. Begitu keluar aku langsung menelannya.” (hal. 21)

Cerpen itu memang mengkritik banyak hal: sikap militeristik penegak hukum kita, biaya kesehatan yang mahal, kemiskinan yang kian menerbitkan iba, dan seterusnya. Sejak dulu Hamsad memang masyhur sebagai cerpenis yang mengangkat persoalan rakyat kecil dalam setiap cerpennya. Namun, bukan persis itu alasan saya mesti bertolak sebelum memulai esai ini. Sekali lagi, persoalannya pispot.

Pispot didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III sebagai “panci bertutup dan bertangkai untuk tempat air kencing atau kotoran (biasanya untuk orang sakit)”. Atas definisi semacam itu pulalah, rupanya, Hamsad memaksudkan 'pispot' dalam cerpennya. Namun, dalam esai ini, saya hendak memaknai pispot dalam pengertian yang lebih luas: “kamar atau bilik untuk membuang hajat”--yang barangkali sesungguhnya lebih dekat dengan makna kakus atawa kloset. Pispot, kakus, atau kloset, semua sama saja: penampung kotoran yang dilirik sebelah mata. Berguna tapi dianggap tak berharga.

Jadi, ada apa dengan pispot?

Presiden Ahmad Wahib
Selepas peristiwa pembubaran diskusi buku Irshad Manji, Allah, Liberty, and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan (2012), di pelbagai tempat di Indonesia, masyarakat geger. Banyak pihak menyayangkan pembubaran itu karena dinilai sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berpikir dan berpendapat. Beberapa lainnya mendukung sikap anarkistis itu, dengan argumen bahwa Irshad adalah seorang lesbian liberal yang telah miring otaknya, dan pemikirannya dikhawatirkan akan merusak moral bangsa.

Irshad kali pertama diundang di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Suasana diskusi yang semula kondusif dan tenang dikacaukan oleh kedatangan serombongan orang yang mengaku dari Front Pembela Islam (FPI). Massa meminta diskusi dibubarkan dan peserta dikusi diminta pulang. Irshad yang mereka teriaki dengan kasar akhirnya dievakuasi kepolisian.

Rencana diskusi hari berikutnya di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dibatalkan rektor. Banyak pihak menyesalkan keputusan rektor ini. Ranah akademis yang mestinya bebas dari pengaruh mana pun seakan dengan mudah dikangkangi kepentingan kelompok tertentu.

Selanjutnya, diskusi diadakan di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Bantul, Yogyakarta. Seperti di Salihara, awalnya diskusi berjalan baik. Sekelompok orang yang lalu diketahui berasal dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mendadak datang dengan merusak pagar. Mereka berteriak-teriak menuntut pembubaran diskusi.

Dengan penuh amarah, mereka menumpahkan makanan yang digelar di lantai. Tak puas, mereka melempari kaca jendela perpustakaan, merobek buku-buku, dan memukuli peserta diskusi. Akibatnya, lima perempuan dan dua laki-laki terluka. Dua orang di antaranya harus dijahit karena mengalami luka sobek di bagian kepala dan pelipis mata (Kompas.com, 10/5/2012).

Kasus Irshad Manji sesungguhnya merupakan preseden buruk dari mata-rantai persinggungan agama (Islam) dengan negara. Konflik tidak akan terjadi kalau pemerintah bersikap tegas, lebih berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan ketimbang pandangan sempit soal agama. Kasus-kasus serupa yang pernah terjadi di masa silam seperti perusakan monumen patung wayang di Purwakarta; pembantaian penganut Islam Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten; penyerangan massa FPI atas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di silangan Monumen Nasional, Jakarta; dan seterusnya adalah bukti konkret kemandulan negara dalam menjamin keamanan bagi setiap warganya.

Menghadapi kasus-kasus intoleransi di ruang publik semacam itu, pemerintah bergeming dan bersikap seolah peristiwa demi peristiwa pemberangusan hak asasi warga bukan sesuatu yang penting. Seakan tak punya kuasa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mampu 'menyesalkan' peristiwa itu. Sementara tentara, kepolisian, dan intelijen berada di bawah kekuasaannya.

Okelah, lebih baik bayangkan ini: Bagaimana kalau seorang Ahmad Wahib menjadi Presiden Indonesia? Ya, Ahmad Wahib, yang pemikiran-pemikirannya tentang toleransi, pluralisme, hak asasi manusia, dan kebebasan masih dan akan terus relevan sampai sekarang dan di masa mendatang.

Untuk itu, kita mesti membongkar beberapa teks yang ditulisnya dalam Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES, 1981), catatan harian yang selalu abadi kendati penulisnya telah lama mati. Dalam catatan tertanggal 6 Juni 1969, misalnya, Wahib menulis:

“Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?”

Terasa betul di mana Wahib berpihak jika kita membaca tulisannya itu. Kondisi yang digambarkannya bahkan hingga kini tidak banyak berubah. Rakyat kecil seperti tukang becak dan tukang cukur masih berkasta Sudra dalam strata perekonomian negara. Alih-alih memerhatikan mereka, pemerintah selalu memprioritaskan investor, pengusaha besar, dan cukong-cukong kelas kakap yang sesungguhnya tidak banyak membayar negara, menunggak pajak dan berkongkalikong dengan pejabat. Rakyat kecil selalu dibebani kewajiban yang mencekik dan dipersulit oleh sistem birokrasi yang bertele-tele. Sungguh tidak adil.

Andai Ahmad Wahib menjadi presiden, agaknya semua borok pemerintah (dan pemerintahan) masa kini itu akan diberantas dalam waktu singkat. Wahib yang saya baca memiliki sikap dan prinsip yang tegas--kalau tak mau dikatakan radikal--sehingga kebijakannya sebagai presiden pun bakal mengandung karakter yang semacam itu.

Ruang Publik Habermas
Betapa rawan ruang publik Indonesia dewasa ini. Ruang yang semestinya dimiliki bersama itu jadi gampang dikooptasi, dikuasai, dan didaku segelintir manusia, kepentingan, dan nafsu.

Kebersamaan meniscayakan perbedaan. Ketika perbedaan coba dihilangkan, diseragamkan, saat itulah kebersamaan ternafikan. Ketika kebersamaan tiada, mustahil akan terbentuk ruang publik. Dan publik, masyarakat, warga, akhirnya akan tinggal ilusi semata.

Ruang publik kita semakin mencekam dengan kehadiran organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) dengan pandangan keagamaan dangkal semacam FPI dan MMI. Ormas-ormas itu seolah-olah memiliki keabsahan untuk memberangus segala kegiatan di ruang publik dengan dalih agama.

Dalam bukunya, Strukturwandel der Öffentlichkeit: Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft (Transformasi Struktural Ruang Publik: Penyelidikan dalam Kategori Masyarakat Borjuis), Jüergen Habermas, filsuf dan sosiolog Jerman, membikin sketsa model yang disebutnya 'ruang publik'. Ruang publik, yang mengemuka pada abad ke-18 di Inggris dan Prancis menurut tafsiran Habermas, berfungsi untuk mengatasi kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan kepentingan-kepentingan bersama dan mencapai konsensus yang bersifat sosial. Di ruang publik, warga privat (private people) berkumpul untuk membentuk suatu (opini) publik. Nalar yang tercipta (nalar publik) akan bekerja sebagai pengawas kekuasaan negara.

Ruang publik diandaikan Habermas sebagai ruang bertegur-sapanya setiap orang beserta ide dan pemikirannya. Ruang publik adalah warung kopi, salon, taman, jalan raya, jembatan, alun-alun, dan seterusnya, di mana orang-orang dapat berdiskusi dengan sangat cair kendati di benak mereka tersimpan beragam pendapat yang saling berlainan dan acapkali berbenturan. Mereka, orang-orang itu, merdeka dalam membenturkan pendapat dan pemikiran mereka satu sama lain tanpa rasa takut, segan, ataupun sungkan, selama kunci utama untuk membentengi perbenturan yang (akan) terjadi selalu lestari. Apa kunci itu? Ya, toleransi.

Habermas mengakui, ruang publik yang ia bayangkan ideal itu kini tinggal utopia. Terlalu kuatnya peran negara--bahkan di negara liberal sekalipun--dalam rangka mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State), membuat inisiatif dan pertukaran-pertukaran gagasan individu menjadi mandul. Jikapun ada, pertukaran yang timbul lebih disebabkan dan sengaja diagendakan oleh elite penguasa yang berkomplot dengan pengusaha. Sebagai permisalan, media massa, wujud ruang publik di era modern, cenderung menyaring wacana dari masyarakat sesuai dengan kebijakan pemilik media yang bersangkutan. Hasilnya, wacana-wacana lain selain wacana arus utama (mainstream) terpinggirkan.

Di Indonesia, upaya pemberangusan ruang publik secara masif justru bukan dilakukan negara, melainkan oleh elemen sentral ruang publik: masyarakat sipil. Kian bertumbuhnya demokrasi di Indonesia sejak keruntuhan rezim otoritarian Orde Baru rupanya tak cuma dimaknai sebagai sarana buat mendewasakan masyarakat demi meraih cita-cita bersama: keadilan dan kesejahteraan sosial. Masyarakat memang semakin merdeka pasca-dilakukannya reformasi di segala lini. Amandemen konstitusi hingga empat kali memunculkan semakin banyak hak yang dijamin negara untuk rakyat. Tak dapat disangkal, pasca-reformasi, masyarakat sipil menguat.

Namun, justru dari situlah perilaku-perilaku intoleran terjadi dan berawal-mula. Menguatnya masyarakat sipil tidak hanya dalam rupa-rupa yang positif, melainkan juga negatif. Sejumlah orang bahkan menjadikan demokrasi sebagai tameng agar mereka leluasa melakukan tindakan-tindakan nondemokratis (sic!). Demokrasi Indonesia tidak berhasil menciptakan ruang publik yang toleran. Sebaliknya, dari, dengan, dan berkat demokrasilah ormas-ormas anarkistis semacam FPI dan MMI lahir dan memaksakan kebenaran (baca: iman) yang mereka yakini pada yang-lain (the others): golongan(-golongan) yang memiliki pandangan berbeda dalam hal keyakinan.

Inilah yang oleh Nirwan Dewanto (Kompas, 3/6/2012) katakan sebagai ruang kebebasan sosial yang dihakimi secara sepihak. Ruang publik milik publik ditelikung sebagai hak milik. Hak milik yang mencari pendasaran pada fundamentalisme, baik fundamentalisme suku, golongan, maupun agama. Dengan fundamentalisme, orang merasa berhak membantai suku yang berbeda. Dengan fundamentalisme, 'kita' merasa berhak menumpas 'mereka'. Dengan fundamentalisme, pemeluk agama merasa berhak merajam penganut iman yang berbeda.

Hal semacam itulah sebenarnya yang sudah lama menjadi keprihatinan (concern) Ahmad Wahib. Dalam catatannya tertanggal 16 Agustus 1969, misalnya, ia menulis:

“Bagi kita, teis dan ateis bisa berkumpul. Muslim dan Kristiani bisa bercanda. Artis dan elit bisa bergurau. Kafirin dan muttaqin bisa bermesraan. Tapi, pluralisme dan antipluralisme tak bisa bertemu.”

Beriman dalam Pispot
Barangkali, akan tiba suatu masa di mana agama hanya ada satu belaka. Masa satu-agama barangkali tidak akan terwujud dengan gemilang tanpa melalui pertumpahan darah. Sebelum pertumpahan darah, barangkali akan didahului dengan sikap-sikap intoleran sebagaimana dilakukan FPI dan MMI. Namun, saya rasa, mengharapkan semua orang memeluk hanya satu agama sama muskilnya dengan memimpikan setiap orang beramai-ramai meninggalkan agamanya.

Penyeragaman sejatinya bertentangan dengan kodrat manusia yang selalu ingin beda. Setiap manusia pasti memiliki keunikannya masing-masing. Perbedaan, keanekaragaman, dan ketidaksamaan sesungguhnya karunia Tuhan. Oleh sebab itu, saya kira, penyeragaman iman tidak akan mungkin, tak seharusnya, dan tak ada gunanya dilakukan.

Ikhtiar untuk memberangus kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan demikian, akan menemui kebuntuan dengan sendirinya. Karena, bukan kebebasan semata yang sebenarnya ia (atau mereka) lawan, melainkan lebih dalam dan jauh ketimbang itu: kemanusiaan. Ya, merawat kebebasan beragama dan berkeyakinan berarti menjaga kemanusiaan. Apa gunanya iman tanpa kemanusiaan--tanpa manusia yang menghayati iman itu? Wahib, dalam catatannya tertanggal 9 Oktober 1969, bilang:

“Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.”

Sikap-sikap intoleran di ruang publik mesti segera diakhiri. Pemerintah dan rakyat mesti bahu-membahu menyukseskan program ini. Intoleransi menunjukkan kedangkalan iman pelakunya. Intoleransi dalam wujud kekerasan di ruang publik harus dilawan pemeluk agama manapun.

Bisakah setiap orang merayakan iman dan keberimanannya tanpa pasungan? Dapatkah setiap orang dapat dengan merdeka menampakkan iman yang berkobar dalam dada? Mampukah ruang publik menjadi milik publik seutuhnya, kaum beriman yang memandang perbedaan sebagai anugerah, dan bebas dari sikap-sikap intoleran? Sanggupkah toleransi dijadikan resep ampuh guna melawan sikap-sikap intoleran di ruang publik? Pertanyaan-pertanyaan ini mesti segera dijawab oleh kita semua, kaum beragama yang berketuhanan.

Sebab, kalau ruang publik tetap saja dipakai golongan tertentu untuk menekan golongan lain, pemeluk agama tertentu kepada pemeluk agama lain, dikooptasi oleh segelintir manusia untuk menindas manusia lain yang mempunyai iman yang berbeda, tinggallah ia tanpa makna. Ruang publik tak lagi milik publik. Ruang publik mengalami kemerosotan, seperti yang dikhawatirkan Habermas: beralih jadi sebatas ruang yang kuyup kepentingan.

Maka, kembali ke ilustrasi saya di awal esai ini, hanya ada satu ruang yang tersisa bagi kaum beriman buat mempertahankan keimanan dan keberimanannya. Ya, pispot: ruang 'kotor' yang kini jadi harapan satu-satunya kaum beriman yang terasing dan tercerabut dari ruang publiknya.

Pispot adalah risiko yang harus diambil ketika kita bersiteguh akan prinsip-prinsip, keyakinan, agama, dan Tuhan kita--semua yang kita percaya dan imani dengan sepenuh hati. Beriman dalam pispot berarti terus-menerus bergulat dengan situasi yang penuh ketidaknyamanan sekaligus merawankan, bukannya dalam kebenaran yang mapan. Beriman dalam pispot berarti mengulang terus pertanyaan Wahib (9 Juni 1969):

“Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? ... Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas? ... Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.”

Ketika seluruh ruang menutup diri dari pertanyaan-pertanyaan yang pasti memerlukan jawaban, memperlakukan iman sebagai hal-ihwal yang tak bisa lagi digugat, dipertanyakan senantiasa, dalam wujudnya yang kaku nan baku--berimanlah dalam pispot.

Tapi, apakah masa itu benar-benar akan tiba? Akankah kita beriman dalam pispot?

2 komentar:

  1. Bapak Budi Santoso yth.

    Tampilnya tulisan saya yang pertama kali disiarkan di Jaringnews.com ini, di blog yang Anda kelola, menunjukkan apresiasi Anda terhadap tulisan itu. Karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih.

    Namun, dalam penulisan status saya, Anda telah melakukan kekeliruan. Saya bukan "Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan", tapi "Peminat kajian agama di LPM Gema Keadilan, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro", sebagaimana tertulis di http://jaringnews.com/politik-peristiwa/opini/26901/a-p-edi-atmaja-iman-toleransi-dan-pispot.

    Oleh sebab itu, melalui komentar ini, saya berharap Anda meralat posting ini. Terimakasih, dan tetap semangat.

    Salam,

    AP EDI ATMAJA

    BalasHapus