Bila BPK
Lakukan Audit Kinerja
Robby Darmawan ; Kepala Subbagian Urusan Dalam pada Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)
|
JAWA
POS, 02 November 2012
EFISIEN, efektif, dan akuntabel. Tidak boros, mencapai
sasaran, dan dapat dipertanggungjawabkan, itulah arti tiga kata tersebut. Itu
merupakan prinsip dasar dalam pengadaan barang/jasa, khususnya di instansi
pemerintah. Tiga kata kunci tersebut menjadi intisari tanggapan Dahlan Iskan
terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya potensial loss (potensi kerugian) Rp 37 triliun di
PLN 2009-2010. Potensi kerugian itu merupakan akibat kurang tersedianya gas
dalam negeri sehingga PLN terpaksa menggunakan BBM untuk pembangkit listrik.
Pengadaan bahan bakar pembangkit listrik harus efisien. Gas lebih efisien daripada BBM, maka harus pilih gas. Tetapi, apabila tidak ada gas, mau tidak mau, pakai BBM karena harus efektif (mencapai sasaran), yaitu memenuhi kebutuhan listrik Jakarta dan Sumatera. Kebijakan itu dipilih untuk menghindari kerugian yang lebih besar apabila dua wilayah mengalami padam listrik. Penjelasan Dahlan Iskan mengenai hal itu dapat dibaca di beberapa media massa dan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik. Agak mengherankan mengapa Dahlan Iskan harus memberikan tanggapan di media massa. Lazimnya auditee (pihak yang diaudit) diberi kesempatan terlebih dahulu memberikan tanggapan terhadap auditor(pihak yang melakukan audit) atas temuan yang dilengkapi kriteria acuan hukum, penyebab, dan akibat. Setelah mempelajari tanggapan dari auditee, barulah auditor dapat memberikan kesimpulan dan menyampaikan rekomendasi, baik kepada pihak yang meminta dilakukan audit maupun kepada auditee. Nur Pamudji, direktur utama PLN, pada acara workshop di Sentul, Bogor, Selasa malam (30/10) menjelaskan bahwa atas permintaan DPR pada 2010, BPK melakukan audit terhadap delapan pembangkit listrik. Audit tersebut selesai September 2011 dan diserahkan ke DPR. Masih menurut Nur Pamudji, PLN sebagai auditee baru mendapat hasil audit tersebut setahun kemudian dan seminggu lalu diundang DPR untuk membahasnya. Tapi, rapat tidak dilanjutkan karena DPR menginginkan kehadiran Dahlan Iskan, bukan direktur PLN yang sekarang menjabat. Situasi itu memicu kontroversi di tengah gencarnya pemberitaan sinyalemen Dahlan Iskan tentang adanya beberapa BUMN yang dijadikan sapi perah oleh oknum nakal di DPR. Agar kontroversi tersebut tidak berkembang ke arah yang tidak diinginkan, alangkah bijaknya apabila DPR meminta BPK melengkapi hasil auditnya dengan tanggapan dari auditee. Atau, di pihak lain, bisa saja PLN setelah menerima hasil audit tersebut segera membuat tanggapan tertulis auditee yang dikirimkan kepada BPK selaku auditor dan DPR selaku wakil rakyat. Sesuai undang-undang keterbukaan informasi publik, rakyat berhak tahu apakah uang negara digunakan secara hemat (spend less), efisien (spend well), dan bermanfaat secara optimal untuk tujuan bernegara (spend wisely). Seyogianya BPK tidak hanya mengukur aspek efisiensi sebagaimana lazim dilakukan pada audit manajemen. Tetapi, hendaknya digabungkan dengan audit program untuk mengukur efektivitas sehingga terwujudlah audit kinerja secara menyeluruh (performance audit). BPK sudah diberi kewenangan untuk melakukan audit kinerja sejak terbitnya UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Audit PLN 2009-2010 atas permintaan DPR itu, kata anggota BPK Hasan Bisri kepada vivanews, berupa audit kinerja yang tujuannya memperbaiki kinerja PLN. Karena itu, atas temuan inefisiensi, BPK tak memberikan rekomendasi kepada penegak hukum seperti KPK. Rugikan dan Untungkan Negara Apabila audit kinerja itu dilakukan, perlu didalami bagaimana latar belakang dan dasar suatu kebijakan terkait pengeluaran keuangan negara diambil oleh manajemen puncak. Perlu dibuat perbandingan keuntungan dan kerugian dari tindakan ''do with'' (apabila kebijakan diambil), ''do without'' (apabila kebijakan tidak diambil), dengan ''do nothing'' (tidak melakukan apa-apa). BPK perlu mendalami apakah ada alasan yang cukup signifikan untuk mengambil pilihan do with atau adakah dampak negatif yang cukup signifikan apabila diambil pilihan do without atau do nothing. Perlu diukur apakah dengan mengurangi tingkat efisiensi dapat menyelamatkan tingkat efektivitas dan seberapa besar. Keuntungan dan kerugian negara di antara tiga pilihan kebijakan pun tidak elok apabila hanya dilihat dari aspek keuangan jangka pendek. Perlu pula dilihat aspek-aspek lain dan dampaknya dalam jangka panjang. Hal-hal sedetail itu tentu tidak mungkin dikuasai seluruhnya oleh auditor. Karena itu, auditor perlu meminta tanggapan dari auditee. Bisa saja ke depan, BPK membuat format baku tanggapan auditeedalam bentuk tabel yang berisi kolom pilihan tindakan do with, do without, dan do nothing. Tiap-tiap kolom dilengkapi dengan keuntungan dan kerugian masing-masing ditinjau dari aspek keuangan, sosial, lingkungan, termasuk makroekonomi. Dengan format baku itu, diharapkan auditee dapat lebih dimudahkan dalam memberikan tanggapan. Dengan mempertimbangkan tanggapan komprehensif dari auditee, sangat diharapkan BPK dapat memberikan rekomendasi yang jitu dalam rangka perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement). Dalam audit berikutnya, BPK dapat mengambil entry point dari tindak lanjut apa saja yang sudah dilakukan auditee terhadap rekomendasi BPK. Juga dilihat, apa saja kelemahan/kekurangan yang sudah diperbaiki dan apa saja yang masih dapat terus ditingkatkan kinerjanya. Sebagai penutup, efisiensi merupakan syarat perlu, tapi bukan syarat cukup. Selain efisien, harus efektif. Last but not the least, harus akuntabel, dengan kata lain setiap rupiah uang negara harus dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya untuk tujuan bernegara yang ujung-ujungnya adalah terwujudnya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar