Revolusi Yatim
di Syria
Hasibullah Satrawi ; Analis politik Timur Tengah dan dunia Islam
|
JAWA
POS, 02 November 2012
ATS-TSAWRAH al-yatimah (revolusi yatim).
Demikian judul laporan investigasi terkini terkait dengan revolusi Syria oleh
harian terkemuka di Mesir, Al-Ahram (27/10). Laporan itu mengungkap fakta-fakta
memilukan di Syria setelah 19 bulan perang saudara, perang berbagai
kepentingan, bahkan termasuk perang atas nama rakyat Syria.
Laporan Al-Ahram mempertanyakan sikap, keberadaan, dan kepedulian dunia terhadap Syria. Sebuah tragedi yang tak lagi peduli kaum perempuan, anak-anak, dan kesucian masjid-masjid. Tapi, apa yang dilakukan dunia, negara-negara Arab-Islam, atau bahkan PBB? Tak ada! Tak lebih dari pernyataan demi pernyataan dan konferensi demi konferensi. Sementara itu, rakyat Syria terus dibantai oleh mereka yang berperang. Rezim Bashar al-Assad melakukan pembentukan opini dalam menghadapi revolusi rakyat sejak Maret 2011. Rezim al-Assad menyebut kaum revolusi adalah teroris dan ekstremis. Klop dengan pernyataan para pejabat tinggi PBB yang menuduh ada ratusan ribu ekstremis dari 11 negara yang memerangi rezim al-Assad. Barat pun merasa harus lebih cermat dalam mempersenjatai relompok revolusi. Pejabat tinggi AS menyatakan tidak mau senjata itu justru jatuh ke tangan ekstremis. Mereka waswas Syria menjadi Afghanistan kedua dan melahirkan Osama-Osama baru. Ibarat main sepak bola, rezim al-Assad juga sukses menahan serangan yang datang dari banyak lini, mulai lini global, lini regional, hingga lini nasional Syria. Dalam konteks global, contohnya, rezim Bashar al-Assad berhasil meyakinkan sekutu-sekutunya (Rusia dan Tiongkok) untuk tetap setia membelanya, khususnya di persidangan PBB. Dalam konteks regional, Syria berhasil meyakinkan Iran untuk terus melindunginya. Adapun dalam konteks nasional, rezim al-Assad berhasil menahan pergerakan dan serangan dari kelompok revolusi (baik yang bersenjata maupun yang tak bersenjata) hingga tetap bertahan sampai sekarang. Inilah politik saling mengunci. Melalui Rusia dan Tiongkok dalam konteks global, Syria berhasil mengunci beberapa upaya intervensi militer melalui PBB yang dipelopori sekutu-sekutu AS. Melalui Iran dalam konteks regional, Syria berhasil mengunci upaya intervensi dari negara-negara Arab lain (seperti Qatar dan Arab Saudi). Bahkan, politik saling mengunci antara pro-al-Assad dan pro-revolusi melebar ke Indonesia. Saya pernah sepanggung dengan salah seorang pemuka agama (dari Syria) yang pro-al-Assad dengan semua kampanye positif rezim itu. Pada kesempatan lain, saya pernah sepanggung dengan pemuka agama (juga dari Syria) yang antirezim al-Assad dengan semua kampanye negatifnya. Musuh v Musuh Sikap Barat (khususnya AS) dalam menghadapi revolusi Syria menyiratkan keganjilan. Sejak kapan AS dan sekutu-sekutunya patuh terhadap keputusan PBB? Mereka mendiamkan rezim Bashar al-Assad lantaran resolusi mereka diveto sampai dua kali oleh Rusia dan Tiongkok. Bukankah tuduhan senjata pembunuh masal yang dituduhkan AS terhadap rezim Saddam Husein di Iraq juga terancam veto? Toh, akhirnya AS dan sekutu-sekutunya tetap menyerang Iraq pada 2003 tanpa mandat dari PBB. Dan tuduhan ke Saddam itu terbukti bohong! Sejak kapan pula AS dan sekutu-sekutunya berhenti menggunakan ''atas nama kemanusiaan'' dalam mengintervensi negara lain? Apakah tragedi kemanusiaan di Syria tidak separah yang terjadi di Libya pada era Kadhafi? Bukankah rezim al-Assad juga menggunakan senjata (termasuk pesawat tempur) untuk membunuh rakyatnya sendiri? Tapi, kenapa AS dan sekutunya tidak mendesak PBB untuk menerapkan zona larangan terbang di atas udara Syria, sebagaimana yang pernah mereka lakukan di Libya dan Iraq? Setidaknya, ada dua hal yang membuat AS dan sekutunya menjadi ''sedemikian baik'' dalam persoalan Syria. Pertama, tidak ada kepentingan darurat yang dirasakan AS dan sekutunya. Syria tidak masuk dalam daftar negara kaya minyak dan al-Assad tidak mempunyai ''masalah pribadi'', seperti yang dialami Kadhafi dengan presiden Prancis saat itu, Nicolas Sarkozy. Karena itu, terhadap Libya, koalisi AS (NATO) tetap beringas di bawah komando Prancis. Kalaupun ada anggota koalisi AS yang berkepentingan langsung segera turun tangan terhadap Syria, anggota tersebut masuk ''koalisi pinggiran'' (dibanding negara-negara Eropa). Dialah Turki. Maka, walaupun sudah sangat geram karena menjadi ''tong sampah'' krisis Syria, bahkan sudah diserang berkali-kali, Turki tetap dipaksa ''koalisi utama'' AS untuk menahan diri. Kedua, AS dan sekutu-sekutunya diuntungkan oleh krisis dan perang berkepanjangan di Syria. Mengingat, perang itu terjadi antara musuh (rezim al-Assad) dan musuh (kelompok ekstremis). Semakin lama mereka berperang, semakin loyo keduanya. Namun, AS dan sekutunya tetap pasang mata tajam. Mengingat, krisis itu terjadi di negara tetangga anak emas koalisi. Dialah Israel.Tak heran, pejabat-pejabat teras koalisi AS turun tangan penuh untuk meredam krisis politik di Lebanon sekarang karena serangan bom yang menewaskan Kepala Biro Informasi Keamanan dalam Negeri Lebanon Wissam Hasan. Serangan itu diduga kuat melibatkan pemerintah Syria. Bila Lebanon terus bergejolak, bukan tidak mungkin gejolak yang ada segera menjalar ke Israel. Apalagi, di Lebanon ada kekuatan Hizbullah yang telah menjadi negara di dalam negara, pro Iran-Syria dan anti-Israel. Singkat kata, dalam kacamata kepentingan AS dan sekutunya, krisis politik di Syria bisa diilustrasikan: silakan krisis politik berlarut di Syria, asalkan jangan sampai menjalar ke Israel. Tidak masalah bila hanya menjalar ke negara sekutu pinggiran, yaitu Turki. Berbeda dari Arab Springs di negara Arab lain, revolusi Syria benar-benar menjadi revolusi yatim (ats-tsawrah al yatimah). Tak ada ''orang tua'' sebagai pembela dan tak ada ''keluarga'' sebagai pelindung. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar