Momentum
Membangun Kepercayaan
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
SINDO,
03 Oktober 2012
Hari ini diperkirakan lebih dari 1 juta buruh yang
tergabung dalam berbagai serikat pekerja di 15 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia menyerukan mogok nasional. Gelombang unjuk rasa pekerja ini menambah
warna dalam gejolak sosial yang terjadi pada pekan-pekan terakhir di berbagai
belahan dunia mulai dari Yunani, Inggris, India, hingga China.
Dengan
fundamental ekonomi dunia yang belum pulih, juga ketidakpastian situasi politik
di Timur Tengah yang terus bergejolak, makin terasa saja imbas tekanan ekonomi
global pada kaum pekerja. Unjuk rasa yang dilakukan serikat buruh dan pekerja
ini harus dilihat dari tiga hal.Pertama, unjuk rasa ini merupakan salah satu
bentuk koreksi sosial atas kelambanan pemerintah dalam memanfaatkan momentum
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Saat ini pemerintah selalu membanggakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% atau terbesar kedua setelah China, tetapi buruh dan pekerja yang menjadi tulang punggung produksi ekonomi justru belum menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut. Selain standar upah yang rata-rata masih di bawah standar kebutuhan hidup layak, pekerja juga masih terluntalunta akibat ketiadaan kepastian kerja (job security).
Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan mengharamkan perusahaan untuk merekrut pekerja atas dasar kontrak yang berkepanjangan, kenyataannya justru praktik ini umum terjadi. Dalam menyusun strategi pertumbuhan ekonomi, pemerintah terpaku pada peningkatan jumlah lapangan kerja dan belum pada upaya menjaga kualitas kelayakan kerja (decent work).
Upaya melakukan formalisasi tenaga kerja,demi menarik pekerja kontrak ke ranah pekerjaan tetap, juga belum dikerjakan secara serius. Kedua, unjuk rasa ini perlu dimaknai oleh para investor sebagai ruang dialog dalam negara yang demokratis. Isu utama yang diusung buruh adalah: penolakan atas outsourcing (alih daya) dan upah murah, serta desakan agar sistem jaminan sosial nasional segera diterapkan sesuai janji undang-undang, lengkap dengan bantuan iuran bagi pekerja dengan upah di bawah upah minimum.
Alih daya yang ditolak buruh adalah alih daya tenaga kerja, bukan pekerjaannya. Mereka mendesak agar para pekerja yang terpaksa bekerja di perusahaan outsourcing, seperti di perusahaan penyalur tenaga kerja, diperlakukan sebagai pegawai tetap di situ meskipun status mereka di perusahaan penggunanya cuma kontrak. Dengan demikian, ketidakpastian tunjangan dan jenjang upah mereka dapat teratasi.
Secara tidak langsung unjuk rasa ini menyodorkan konteks sosial bagi beragam angka dan analisis statistik yang diajukan lembaga analis asing. Dalam laporan OECD 2012 disebut, perekonomian Indonesia belum efisien, tenaga kerjanya belum produktif, serta pajak dan pungutan bagi dunia usaha memberatkan. Demo buruh mengajak kita semua untuk melihat tidak efisiennya perekonomian sebagaimana digambarkan oleh analis asing amat dirasakan imbasnya oleh pekerja yakni melalui upah murah, tanpa kepastian kerja, ataupun jaminan sosial.
Artinya, saran-saran OECD untuk perbaikan ekonomi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Kritik mereka mirip dengan yang dikatakan oleh lembaga keuangan internasional lain, yang sebagian bahkan sudah diakui oleh pemerintah Indonesia. Indonesia tentu saja perlu “langsing” (tidak keberatan pajak ataupun aturan birokratis yang kaku), lebih efisien (meniadakan biaya-biaya yang memberatkan, baik untuk pekerja, pengusaha, maupun sektor usaha mikro dan kecil), dan lebih gesit (tanggap mengantisipasi perkembangan ekonomi politik dunia).
Namun,yang tak kalah penting dari analisis macam itu adalah aspek kebijakan sosialnya. Prinsip dari kebijakan sosial adalah menjaga keteraturan sosial di masyarakat. Pekerja harus dilihat sebagai manusia; bukan sekadar angka-angka. Soal pekerja, OECD mencatat standar upah minimum di Indonesia relatif terlalu tinggi dibandingkan rata-rata upah minimum di seluruh dunia.
Kabarnya, upah di Indonesia setara dengan 65% rata-rata upah pekerja didunia meskipun situasinya bervariasi lintas provinsi. Hal ini disimpulkan sebagai memberatkan pengusaha dan memperkecil insentif untuk mendorong gerakan formalisasi pekerja, dari pekerja informal (tanpa kontrak tetap, tanpa tunjangan sosial) menjadi pekerja formal (pegawai tetap dengan tunjangan sosial). Analisis tersebut perlu dikritisi.
Pertama, karena di situ upah pekerja Indonesia dibandingkan dengan upah di India, China, Brasil, Meksiko, Korea Selatan,bahkan dengan Inggris, Amerika Serikat, dan kumpulan negara-negara maju OECD. Upah seharusnya dibandingkan dengan standar hidup minimum di dalam negara. Upah minimum adalah ukuran minim bagi seseorang untuk hidup layak dengan punya cukup ruang untuk mengembangkan produktivitas diri dan anggota keluarga yang ditanggungnya. Jadi, kalaupun dibandingkan dengan negara-negara lain, harus ada penghitungan keseimbangan upah di masing-masing negara dengan standar hidup minimum masing-masing.
Kedua, upah pekerja kerap dikaitkan dengan produktivitas, padahal pendorong produktivitas terdiri atas banyak variabel. Produktivitas seseorang bergantung upah pekerja, tingkat inflasi (yang memengaruhi harga bahan-bahan kebutuhan pokok), ongkos transpor ke tempat kerja setiap hari, biaya pendidikan lanjutan, kualitas transportasi umum, bahkan insentif dari tempatnya bekerja (misalnya janji kenaikan jenjang kepangkatan, disekolahkan lagi, dan lainlain). Artinya, produktivitas yang rendah tidak bisa hanya dikaitkan ke upah.Tidak etis bila upah diutak-atik atas nama perbaikan produktivitas bila faktor-faktor lain penentu produktivitas tidak diperbaiki.
Ketiga, insentif bagi pengusaha untuk melakukan formalisasi hubungan dengan pekerjanya tidak hanya ditentukan oleh faktor upah pekerja. OECD pun mengakui pengusaha perlu diberi kemudahan prosedur dalam pembayaran pajak, kepastian hukum untuk menindak perusahaan yang menggelapkan pajak, tingkat pajak yang masuk akal dan tanpa biaya siluman, ketersediaan infrastruktur sehingga mereka tak perlu secara swadaya mengeluarkan dana untuk sarana dan prasarana yang akhirnya dipakai oleh publik juga dan sebagainya.
Artinya, formalisasi hubungan pekerja sebenarnya harus dikembalikan lagi pada hubungan yang profesional dan efisien antara pengusaha dan pemerintah. Kalau pemerintah meminta ihwal itu diurus oleh pekerja dan pengusaha saja, risiko gagal dalam melakukan usaha di Indonesia yang tetap justru akan tinggi. Makanya aneh juga, mengapa bukan faktor “risiko gagal” dalam melakukan investasi di Indonesia atau di negara lain yang dihitung oleh para ekonom OECD, melainkan malah upah pekerja.
Kembali ke demo pekerja. Andaikan mekanisme tripartit nasional––alias duduk bersama antara perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah–– berjalan, tak perlu ada pengorbanan pekerja untuk turun ke jalan atau pengusaha kehilangan waktu berproduksi. Bisa dicek, rata-rata kebijakan publik saat ini cenderung bertele-tele pembahasannya di tataran lembaga eksekutif, bahkan terjadi saling lempar tanggung jawab antarkementerian, juga menguras energi dan dana ketika dibahas di DPR, dan buntutnya pekerja dan publik hanya mendapat ruang “sosialisasi”.
Para pekerja menolak “ketinggalan kereta” seperti itu. Demonstrasi pekerja sebenarnya perlu dimaknai positif oleh para pengusaha karena pekerja dan pengusaha perlu mengusahakan agar penyelesaian segala sesuatu yang terkait kelayakan hidup pekerja dan kelancaran usaha tidak semata-mata diserahkan kepada mekanisme bipartit (alias diisolasi sebagai problem kecil di tingkat perusahaan saja).
Soal ketidakcukupan infrastruktur misalnya atau ketidakmampuan pekerja mengontrol waktu dan biaya untuk pergi ke tempat kerja ini tak bisa diselesaikan di tingkat perusahaan. Demikian pula biaya pendidikan, kesehatan, pengadaan air bersih yang lebih banyak diswastakan sehingga upah pekerja dan dana pengusaha harus tercecer demi mendanai ini.
Jadi tidak elok bila kemudian pekerja dan pengusaha malah gontok-gontokan karena sebenarnya hal ini karena pemerintah abai terhadap pekerjaan rumahnya. Mari semua pihak agar lebih mawas diri melihat kegigihan para pekerja untuk terus turun ke jalan.
Mereka memberi tanda sistem yang berjalan sekarang tidak bisa dipertahankan karena terus-menerus menekankan solusi di tataran individu pekerja atau perusahaan. Maukah pemerintah memanfaatkan momentum ini demi membangun kepercayaan masyarakat? ●
Saat ini pemerintah selalu membanggakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% atau terbesar kedua setelah China, tetapi buruh dan pekerja yang menjadi tulang punggung produksi ekonomi justru belum menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut. Selain standar upah yang rata-rata masih di bawah standar kebutuhan hidup layak, pekerja juga masih terluntalunta akibat ketiadaan kepastian kerja (job security).
Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan mengharamkan perusahaan untuk merekrut pekerja atas dasar kontrak yang berkepanjangan, kenyataannya justru praktik ini umum terjadi. Dalam menyusun strategi pertumbuhan ekonomi, pemerintah terpaku pada peningkatan jumlah lapangan kerja dan belum pada upaya menjaga kualitas kelayakan kerja (decent work).
Upaya melakukan formalisasi tenaga kerja,demi menarik pekerja kontrak ke ranah pekerjaan tetap, juga belum dikerjakan secara serius. Kedua, unjuk rasa ini perlu dimaknai oleh para investor sebagai ruang dialog dalam negara yang demokratis. Isu utama yang diusung buruh adalah: penolakan atas outsourcing (alih daya) dan upah murah, serta desakan agar sistem jaminan sosial nasional segera diterapkan sesuai janji undang-undang, lengkap dengan bantuan iuran bagi pekerja dengan upah di bawah upah minimum.
Alih daya yang ditolak buruh adalah alih daya tenaga kerja, bukan pekerjaannya. Mereka mendesak agar para pekerja yang terpaksa bekerja di perusahaan outsourcing, seperti di perusahaan penyalur tenaga kerja, diperlakukan sebagai pegawai tetap di situ meskipun status mereka di perusahaan penggunanya cuma kontrak. Dengan demikian, ketidakpastian tunjangan dan jenjang upah mereka dapat teratasi.
Secara tidak langsung unjuk rasa ini menyodorkan konteks sosial bagi beragam angka dan analisis statistik yang diajukan lembaga analis asing. Dalam laporan OECD 2012 disebut, perekonomian Indonesia belum efisien, tenaga kerjanya belum produktif, serta pajak dan pungutan bagi dunia usaha memberatkan. Demo buruh mengajak kita semua untuk melihat tidak efisiennya perekonomian sebagaimana digambarkan oleh analis asing amat dirasakan imbasnya oleh pekerja yakni melalui upah murah, tanpa kepastian kerja, ataupun jaminan sosial.
Artinya, saran-saran OECD untuk perbaikan ekonomi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Kritik mereka mirip dengan yang dikatakan oleh lembaga keuangan internasional lain, yang sebagian bahkan sudah diakui oleh pemerintah Indonesia. Indonesia tentu saja perlu “langsing” (tidak keberatan pajak ataupun aturan birokratis yang kaku), lebih efisien (meniadakan biaya-biaya yang memberatkan, baik untuk pekerja, pengusaha, maupun sektor usaha mikro dan kecil), dan lebih gesit (tanggap mengantisipasi perkembangan ekonomi politik dunia).
Namun,yang tak kalah penting dari analisis macam itu adalah aspek kebijakan sosialnya. Prinsip dari kebijakan sosial adalah menjaga keteraturan sosial di masyarakat. Pekerja harus dilihat sebagai manusia; bukan sekadar angka-angka. Soal pekerja, OECD mencatat standar upah minimum di Indonesia relatif terlalu tinggi dibandingkan rata-rata upah minimum di seluruh dunia.
Kabarnya, upah di Indonesia setara dengan 65% rata-rata upah pekerja didunia meskipun situasinya bervariasi lintas provinsi. Hal ini disimpulkan sebagai memberatkan pengusaha dan memperkecil insentif untuk mendorong gerakan formalisasi pekerja, dari pekerja informal (tanpa kontrak tetap, tanpa tunjangan sosial) menjadi pekerja formal (pegawai tetap dengan tunjangan sosial). Analisis tersebut perlu dikritisi.
Pertama, karena di situ upah pekerja Indonesia dibandingkan dengan upah di India, China, Brasil, Meksiko, Korea Selatan,bahkan dengan Inggris, Amerika Serikat, dan kumpulan negara-negara maju OECD. Upah seharusnya dibandingkan dengan standar hidup minimum di dalam negara. Upah minimum adalah ukuran minim bagi seseorang untuk hidup layak dengan punya cukup ruang untuk mengembangkan produktivitas diri dan anggota keluarga yang ditanggungnya. Jadi, kalaupun dibandingkan dengan negara-negara lain, harus ada penghitungan keseimbangan upah di masing-masing negara dengan standar hidup minimum masing-masing.
Kedua, upah pekerja kerap dikaitkan dengan produktivitas, padahal pendorong produktivitas terdiri atas banyak variabel. Produktivitas seseorang bergantung upah pekerja, tingkat inflasi (yang memengaruhi harga bahan-bahan kebutuhan pokok), ongkos transpor ke tempat kerja setiap hari, biaya pendidikan lanjutan, kualitas transportasi umum, bahkan insentif dari tempatnya bekerja (misalnya janji kenaikan jenjang kepangkatan, disekolahkan lagi, dan lainlain). Artinya, produktivitas yang rendah tidak bisa hanya dikaitkan ke upah.Tidak etis bila upah diutak-atik atas nama perbaikan produktivitas bila faktor-faktor lain penentu produktivitas tidak diperbaiki.
Ketiga, insentif bagi pengusaha untuk melakukan formalisasi hubungan dengan pekerjanya tidak hanya ditentukan oleh faktor upah pekerja. OECD pun mengakui pengusaha perlu diberi kemudahan prosedur dalam pembayaran pajak, kepastian hukum untuk menindak perusahaan yang menggelapkan pajak, tingkat pajak yang masuk akal dan tanpa biaya siluman, ketersediaan infrastruktur sehingga mereka tak perlu secara swadaya mengeluarkan dana untuk sarana dan prasarana yang akhirnya dipakai oleh publik juga dan sebagainya.
Artinya, formalisasi hubungan pekerja sebenarnya harus dikembalikan lagi pada hubungan yang profesional dan efisien antara pengusaha dan pemerintah. Kalau pemerintah meminta ihwal itu diurus oleh pekerja dan pengusaha saja, risiko gagal dalam melakukan usaha di Indonesia yang tetap justru akan tinggi. Makanya aneh juga, mengapa bukan faktor “risiko gagal” dalam melakukan investasi di Indonesia atau di negara lain yang dihitung oleh para ekonom OECD, melainkan malah upah pekerja.
Kembali ke demo pekerja. Andaikan mekanisme tripartit nasional––alias duduk bersama antara perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah–– berjalan, tak perlu ada pengorbanan pekerja untuk turun ke jalan atau pengusaha kehilangan waktu berproduksi. Bisa dicek, rata-rata kebijakan publik saat ini cenderung bertele-tele pembahasannya di tataran lembaga eksekutif, bahkan terjadi saling lempar tanggung jawab antarkementerian, juga menguras energi dan dana ketika dibahas di DPR, dan buntutnya pekerja dan publik hanya mendapat ruang “sosialisasi”.
Para pekerja menolak “ketinggalan kereta” seperti itu. Demonstrasi pekerja sebenarnya perlu dimaknai positif oleh para pengusaha karena pekerja dan pengusaha perlu mengusahakan agar penyelesaian segala sesuatu yang terkait kelayakan hidup pekerja dan kelancaran usaha tidak semata-mata diserahkan kepada mekanisme bipartit (alias diisolasi sebagai problem kecil di tingkat perusahaan saja).
Soal ketidakcukupan infrastruktur misalnya atau ketidakmampuan pekerja mengontrol waktu dan biaya untuk pergi ke tempat kerja ini tak bisa diselesaikan di tingkat perusahaan. Demikian pula biaya pendidikan, kesehatan, pengadaan air bersih yang lebih banyak diswastakan sehingga upah pekerja dan dana pengusaha harus tercecer demi mendanai ini.
Jadi tidak elok bila kemudian pekerja dan pengusaha malah gontok-gontokan karena sebenarnya hal ini karena pemerintah abai terhadap pekerjaan rumahnya. Mari semua pihak agar lebih mawas diri melihat kegigihan para pekerja untuk terus turun ke jalan.
Mereka memberi tanda sistem yang berjalan sekarang tidak bisa dipertahankan karena terus-menerus menekankan solusi di tataran individu pekerja atau perusahaan. Maukah pemerintah memanfaatkan momentum ini demi membangun kepercayaan masyarakat? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar