Kurban
Lifestyle
Mahmudi Asyari ; Peneliti
dari ICIS Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 19 Oktober 2012
Mau
mengakui atau tidak, saat ini berkurban bukan lagi semata-mata sebuah
antusiasme muslim untuk menunaikan ibadah itu melainkan sudah menjadi bagian
dari tren keberagamaan di sejumlah kalangan masyarakat mampu dan terdidik,
terutama di perkotaan.
Kita bahkan tidak memungkiri indikasi itu menyeret sikap ’’keterpaksaan’’ pada sebagian masyarakat perkotaan dan kalangan terdidik sehingga mereka mengharuskan diri melakukan ’’sesuatu’’ agar simbol itu bisa berlangsung. Maka tidaklah mengherankan bila dalam konteks syiar, arisan kurban mulai terlihat di sejumlah kalangan. Sesungguhnya, melihat antusiasme itu, kita harus bersyukur, terlebih bila mengaitkan dengan syiar dan berkurban memang merupakan salah satu butirnya. Namun bila ibadah yang semestinya sunah itu dan orang-orang yang terkena ’’kecaman’’ Nabi Muhammad saw adalah mereka yang berkelebihan tapi tak mau berkurban maka gambaran itu bisa kita sebut tindakan yang berlebihan pula karena sama saja dengan memaksakan diri (takalluf). Menjadi keterpaksaan --kendati masih bisa diperdebatkan-- mengingat berkurban saat ini sudah tak lagi sebagai bentuk ibadah semata tapi juga menjadi tren bagi sejumlah kalangan mampu dan terdidik. Artinya bila tidak berkurban maka mereka merasa malu terhadap orang lain atau berkurang kadar ketokohannya. Rasa malu itu lebih melihat pada orang. Melihat antusiasme dalam berkurban, berarti kita bisa melihat ada peningkatan kesadaran. Hanya menurut saya, umat Islam tidak boleh berpuas diri atau merasa bangga atas fenomena tersebut. Pasalnya, di sisi lain kita melihat makin banyak orang yang ’’merasa berhak’’ untuk menerima daging kurban. Melihat makin banyak hewan kurban yang disembelih dan melihat makin panjang orang antre mengambil daging, apakah kita menganggapnya sebagai keberhasilan dari ibadah itu? Terlebih bila mengaitkan dengan salah satu tujuan ibadah tersebut, yakni memberdayakan umat? Klaim itu mungkin benar bagi penjual hewan kurban. Tapi bagi mereka yang bukan penjual hewan kurban, gambaran itu malah lebih terlihat sebagai etalase kemiskinan umat. Ironisnya, sebagian dari mereka sebenarnya tak membutuhkan daging itu karena tidak sedikit pula yang segera menjualnya ke pedagang daging, setelah mendapat bagian dari panitia kurban. Lebih celaka lagi ’’pemburu rente’’ itu justru memanfaatkan, yaitu mau menampung daging-daging itu, dengan dalih harganya lebih murah. Kalau terjadi seperti itu, menurut saya, klaim pemberdayaan umat berarti omong kosong. Mungkin lebih tepat seandainya saya mengistilahkan sebagai memberi kesenangan sesaat kepada sesama. Sejumlah pihak mengatakan larangan itu ditujukan bagi si penyembelih hewan kurban. Tidak salah memang. Hanya, sangat tidak tahu diri bila orang yang berkurban itu masih berniat menjual daging tersebut. Menurut saya, larangan itu tidak hanya tertuju kepada pelaku kurban, tapi juga kepada mereka yang menerima daging, yang notabene tidak bisa mensyukuri karena masih berpikir bisnis dari pemberian orang. Diversifikasi Amaliah Karena itu, terkait dengan peningkatan jumlah umat yang makin antusias berkurban, bila memang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah maka perlu memahami bahwa mendekatkan diri kepada-Nya tidak hanya lewat ibadah kurban. Hal ini mengingat sebagaimana ibadah sunah yang lain, berkurban hanyalah pelengkap dari ibadah utama yang bersifat wajib. Saya hanya ingin mengajak muslim untuk mencari ibadah lain yang punya spektrum lebih luas. Terlebih berkurban itu sunah, hanya menyangkut ibadah individu dengan sedikit ’’spread’’ meskipun sesaat. Marilah ramai-ramai berkurban tapi juga dalam wujud amaliah yang lain, semisal menyekolahkan anak yatim, atau anak dari keluarga tidak mampu, bisa juga dengan memberinya beasiswa agar pada suatu saat dengan ilmu yang diperoleh, mereka bisa terberdayakan dan selanjutnya berkurban. Seandainya kita membagi-bagikan daging kurban ke daerah yang sangat minus sekalipun, upaya itu tidak akan mengangkat harkat mereka yang lemah. Bahkan, bukan tidak mungkin malah makin membuat kebergantungan. Terlebih jika mendalihkan mereka sebagai binaan, atau menjadikannya sebagai konstituen politik meskipun si ’’pembina’’ memanipulasi kedudukannya sebagai panitia kurban, dan hewan kurban itu bukan berasal dari uang pribadinya.
Terkait
ibadah kurban, menurut saya yang lebih penting justru bagaimana mengelola
antusiasme itu secara cerdas supaya pada suatu saat, selain berkurban bisa
menjadi tren, peningkatan taraf hidup muslim Indonesia juga menjadi bagian
dari tren tersebut. Artinya muslim Indonesia berlomba menolong sesama
yang membutuhkan, dalam konteks memandirikan mereka sehingga secara otomatis
meningkatkan taraf hidupnya.
Akan menjadi kurang bermakna jika paradoks antara kuantitas pengurban dan jumlah pengantre daging yang saling berlomba. Jika hal itu terjadi maka ibadah kurban tak akan banyak mendatangkan kemaslahatan namun malah meneguhkan sebagian dari mereka sebagai ’’penadah’’ daging kurban. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar