Kamis, 04 Oktober 2012

Inkonsistensi Kebijakan Hortikultura


Inkonsistensi Kebijakan Hortikultura
Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku “Ironi Negeri Beras” 
SINDO, 03 Oktober 2012


Sudah lama muncul keluhan ihwal banjir hortikultura impor. Buah dan sayuran impor dari China, Amerika Serikat, Thailand, India dan negara lain tak hanya masuk ke supermarket besar dan kecil, tapi merangsek ke pasar-pasar becek di daerah terpencil. 

Jika berbelanja di supermarket, serbuan buah impor sangat terasa. Lapak-lapak penuh buah impor, dari jeruk phonkam, pear, apel fuji, hingga apel washington. Buah lokal amat langka. Perjanjian perdagangan bebas yang agresif dituding sebagai biang. Sejak pemberlakuan traktat perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA), 1 Januari 2010, impor buah-buahan dari China terus melonjak. Sepanjang 2010, defisit perdagangan buah-buahan mencapai USD600 juta.

Padahal, tahun 2009 impor buah dari China baru USD390 juta. Defisit subsektor hortikultura sudah terjadi jauh sebelum ACFTA. Namun, sejak 2010 nilai defisit semakin besar. Tahun 2010, defisit subsektor hortikultura baru Rp10,77 triliun (USD1,197 miliar). Namun, tahun 2011 nilainya mencapai Rp17,3 triliun atau naik 60,5%. Narasi ini menjelaskan satu pesan:
sebagai bangsa ketergantungan kita terhadap hortikultura impor sudah demikian besarnya.

Ditopang pasokan pasti, harga miring, dan penampilan menarik membuat hortikultura lokal kian terdesak, sulit ditemukan, dan kalah bersaing di pasar. Tidak ingin pasar domestik disesaki hortikultura impor, pemerintah mengeluarkan kebijakan pengaturan impor. Pertama, menciutkan pintu masuk impor hortikultura. Ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15 Tahun 2012 dan Permentan Nomor 16 Tahun 2012.Beleid ini berlaku sejak 19 Juni lalu.

Jika semula ada delapan pintu masuk, kini tersisa empat saja: Bandar Udara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Belawan Medan, dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pintu utama impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, ditutup. Lalu lintas impor di Tanjung Priok overload. Jika dipaksakan, pengawasan tak efektif. Kedua, jika semula hanya 39 produk, lewat beleid baru cakupan diperlebar mencapai 100 jenis hortikultura.

Ketiga, menetapkan kuota impor 20 komoditas hortikultura lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Produk Impor Hortikultura. Beleid ketiga itu tidak hanya melengkapi, tetapi juga akan membuat dua permentan jauh lebih optimal.

Masalahnya, pemerintah sepertinya tidak siap, bahkan tidak yakin bisa mengimplementasikan ketiga kebijakan itu tepat waktu. Ketika diprotes bertubi- tubi oleh importir, pemberlakuan Permendag Nomor 30 Tahun 2012 diundur: dari 15 Juni 2012 menjadi 28 September 2012. Pengunduran tiga bulan juga terjadi pada Permentan Nomor 15 dan 16 Tahun 2012: dari 19 Maret 2012 menjadi 19 Juni 2012.

Ketidaksiapan ini membuat niat dan komitmen pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan hortikultura lokal layak dipertanyakan. Apalagi, di dalam Permendag Nomor 30 Tahun 2012 terdapat inkonsistensi yang membuat efektivitas pembatasan impor tidak optimal, bahkan bisa terancam lumpuh. Inkonsistensi itu terdapat pada aturan country recognition agreement (CRA).

CRA memberikan pengecualian pembatasan pintu masuk pada produk impor hortikultura dari negara-negara yang telah diakui bebas organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) oleh Kementerian Pertanian. Artinya, negara yang mengantongi CRA tetap bisa memasukan impor lewat delapan pintu masuk, termasuk Pelabuhan Tanjung Priok. Pengecualian ini berpotensi menikam kita sendiri.

Pertama, Indonesia bisa dinilai tidak konsisten dan diskriminatif.Tanda-tandanya sudah muncul. Pada tahap awal, CRA diberikan kepada Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Kini, sejumlah negara, salah satunya Thailand, telah mengajukan hal serupa. Thailand mengajukan CRA untuk produk bawang merah. Pertanyaannya, ketika semua negara-negara eksportir utama hortikultura ke Indonesia mengantongi CRA, apa gunanya kebijakan penciutan pintu masuk? Di manakah letak tujuan membatasi dan melindungi hortikultura lokal?

Kedua, Indonesia berpotensi diadukan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lantaran bersikap diskriminatif dan tidak adil. Jika di kemudian hari WTO mengalahkan Indonesia, sia-sia semua berbagai kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Dalam perdagangan internasional, proteksi melalui pengaturan impor, baik pintu masuk maupun persyaratan merupakan hal lazim.

Dalam teori perdagangan internasional beleid semacam ini dinamai non-tariff barrier, dan tidak dilarang WTO. Di Uni Eropa, misalnya, impor minyak sawit mentah (CPO) hanya bisa melalui satu pintu: Pelabuhan Rotterdam, Belanda. Alasannya, memudahkan pengawasan. Untuk bisa masuk ke pasar Eropa,AS dan negara-negara maju, komoditas ekspor dari negara berkembang, termasuk dari Indonesia, sering terhalang non-tariff barrier berupa persyaratan kesehatan, lingkungan,dan yang lain.

Itu lumrah.Yang paling penting aturan itu tak diskriminatif. Pelaku subsektor hortikultura rata-rata petani kecil. Mereka amat rentan fluktuasi harga. Karena itu, sudah semestinya kita membenahi sektor hortikultura domestik secara simultan dan komprehensif. Kebijakan proteksi berupa penciutan pintu masuk harus dikembalikan kepada semangat awal: membatasi serbuan impor produk hortikultura, terutama yang sampah.

Caranya dengan cara meniadakan CRA, dan mengefektifkan pengawasan dan karantina di empat pintu masuk. Dengan cara itu, konsumen dan produsen diuntungkan. Produsen untung karena ada jaminan produk hortikultura impor sehat dikonsumsi. Selama ini, karena pengawasan longgar, hortikultura tidak sehat melenggang masuk ke Indonesia. Menurut data Kementerian Perdagangan, dalam 1,5 tahun terakhir tercatat 19 mikroorganisme berbahaya masuk bersama hortikultura impor.

Pengawasan ketat akan menjamin konsumen terhindar dari produk “hortikultura sampah”. Produsen untung karena banjir hortikultura impor bakal tertekan. Bagi produsen, beleid ini memungkinkan proteksi tepat sasaran. Contohnya kentang. Semula, kode HS kentang impor hanya satu. Padahal, ada macam-macam jenis kentang di pasar.Tidak semua jenis kentang itu dibutuhkan Indonesia.

Karena hanya ada satu kode HS, hampir semua jenis kentang itu masuk ke Indonesia. Akibatnya, kentang produksi petani domestik terdesak. Demikian pula bawang merah dan hortikultura lain. Sudah pasti, pengaturan ini membuat importir dan negara-negara pemasok hortikultura ke Indonesia meradang.

Bahkan AS sempat mengancam mengadukan Indonesia ke WTO. Saya tak berani berspekulasi bahwa pemberian CRA Indonesia kepada AS lantaran ancaman itu.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar