Senin, 22 Oktober 2012

Demokrasi di Persimpangan Jalan


Demokrasi di Persimpangan Jalan
Asrudin ;  Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
KOMPAS, 22 Oktober 2012

  
Freedom House, lembaga riset dan advokasi di bidang demokrasi dan hak asasi manusia terkemuka di AS, pada 17 September 2012 memublikasikan hasil penelitiannya terkait pembangunan demokrasi di 35 negara, periode 1 April 2009-31 Desember 2011.
Hasil laporan penelitian itu diberi judul ”Countries at the Crossroads 2012”. Bersama negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, Freedom House memasukkan Indonesia dalam daftar negara-negara yang demokrasinya berada di persimpangan jalan.
Penilaian buruk terhadap demokrasi Indonesia ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011, misalnya, juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy). Indonesia di tempatkan pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Cacat ini ditandai, antara lain, oleh pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme (Latif, 2012).
Merujuk laporan Freedom House dan Indeks Demokrasi Global, patut kita bertanya: masih pantaskah negara ini berbangga dengan sebutan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS?
Indikator
Pemerintah boleh saja membela diri dengan menolak hasil penelitian tersebut karena kesuksesan Indonesia dalam menjalankan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara demokratis pada 1999, 2004, dan 2009. Bahkan, pemilu di tingkat kepala daerah pun sudah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pembelaan seperti itu tentu bisa dibenarkan. Namun, juga harus diingat, indikator maju atau tidaknya demokrasi tidak hanya diukur melalui sukses pemilu. Banyak indikator lain yang mesti diperhatikan.
Literatur ilmu politik kontemporer sendiri membagi demokrasi menjadi dua jenis, yaitu negara demokrasi mapan (NDM) dan negara yang sedang menuju demokrasi (NSMD). Ini untuk membedakan takaran maju atau tidaknya negara demokrasi (Snyder, 2000).
NDM adalah negara yang kebijakan pemerintahnya, baik di dalam maupun luar negeri, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang langsung-umum-bebas-rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) serta dilakukan secara berkala. Tindakan-tindakan para pejabat dibatasi berbagai ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil.
Sementara itu, NSDM adalah negara yang belum sepenuhnya memenuhi prasayarat-prasyarat yang terdapat dalam kriteria NDM. Sebagai contoh, Republik Ceko dan Yugoslavia di awal 1990-an adalah jenis NSDM. Meskipun kedua negara ini telah melaksanakan pemilihan umum secara luber dan jurdil, kebebasan sipil dalam berpendapat masih dikekang.
Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), sebuah negara dapat menjadi NDM adalah ketika telah dua kali melakukan pergantian kekuasaan untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi dipandang terkonsolidasi jika kekuasaan telah berpindah tangan sebanyak dua kali melalui proses pemilu yang luber dan jurdil.
Linz dan Stepan juga menjelaskan, demokrasi yang terkonsolidasi adalah ketika dia merupakan the only game in town. Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain dengan memenangi pemilihan umum secara luber dan jurdil.
Jauh lebih luas dari pandangan Linz dan Stepan, organisasi Freedom House menjelaskan, jika ingin berubah menjadi NDM, negara itu harus memiliki kelembagaan dan hukum yang solid, politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi publik yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil; termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.
Demokrasi Indonesia
Secara definitif, meski belum keseluruhan, Indonesia telah memenuhi prasyarat-prasyarat untuk disebut NDM. Sebutlah seperti pemilihan umum yang luber dan jurdil, partisipasi publik luas, kebebasan berbicara mulai tumbuh, media massa tak lagi terkekang, dan konsolidasi demokrasi secara damai telah berpindah tangan lebih dari dua kali. Jika mengacu pada hal itu, tentu wajar bila Indonesia dimasukan sebagai negara demokrasi mapan ketiga setelah India dan AS.
Meski begitu, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh demokrasi. Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, Indonesia dinilai gagal dalam memberi ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB), 2008, tentang Ahmadiyah, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah semakin meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi kegiatan kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.
Tak berhenti di situ, kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini minoritas Syiah yang jadi korbannya. Umat Islam Syiah di kabupaten Sampang, Madura, beberapa waktu lalu mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kelompok yang menilai aliran mereka sesat. Akibatnya, dua pengikut Syiah di Sampang meninggal. Ini jelas pukulan telak bagi kita karena demokrasi Indonesia tak mampu melindungi kelompok minoritas dengan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Begitu pula kasus korupsi. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2011, Indonesia masuk peringkat 100 indeks persepsi korupsi (IPK) dari 183 negara di seluruh dunia. Indonesia menempati skor IPK sebesar 3,0 pada 2011, naik 0,2 dibanding 2010 sebesar 2,8.
Lompatan skor itu bukanlah pencapaian besar karena Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapatkan skor 5,0 dalam IPK 2014. Hasil survei tersebut merupakan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks didasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Itu artinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Data tersebut setidaknya menunjukkan keakuratan hasil penelitian Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia jika dilihat dari kategori hak warga negara (untuk kasus kebebasan beragama bagi minoritas) dan aturan hukum (untuk kasus korupsi).
Jika Indonesia ingin demokrasinya dinilai mapan, pemerintah disarankan bisa melindungi kelompok-kelompok agama minoritas dan pemerintah juga perlu didorong melakukan perbaikan secara menyeluruh pada institusi penegak hukum; dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan. Selain itu, pemerintah juga harus berani menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan politisi, mafia hukum, dan pejabat publik tingkat tinggi.
Apabila hal itu tidak juga dilakukan pemerintah, Indonesia layak dimasukkan Freedom House dalam daftar negara-negara yang sedang berada di persimpangan jalan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar