Selasa, 10 Juli 2012

Waktunya Arah Baru Pembangunan

ARAH BARU PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Waktunya Arah Baru Pembangunan
Laporan Diskusi Panel Ekonomi KOMPAS
KOMPAS, 10 Juli 2012


Pengantar Redaksi

Ekonomi Indonesia tahun 2011 tumbuh tinggi meskipun ada krisis keuangan di Eropa dan ekonomi Amerika Serikat belum pulih. Di sisi lain, muncul pertanyaan tentang kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut karena ada kecenderungan kesenjangan kesejahteraan yang melebar. Harian ”Kompas” akhir Juni lalu kembali mengadakan diskusi panel ekonomi, kali ini bertema ”Arah Baru Pembangunan Ekonomi Indonesia”. 

Panelis adalah Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef; Arianto Patunru, peneliti di LPEM Universitas Indonesia (UI); Benny Soetrisno, pengusaha dan Staf Khusus Menteri Perindustrian; Hendri Saparini, anggota pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Shubham Chaudhuri, ekonom utama Bank Dunia di Jakarta; J Soedradjad Djiwandono, peneliti di S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dan profesor (emeritus) ekonomi UI; Thee Kian Wie, Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI; dan moderator Faisal Basri. Laporan dirangkum oleh Andreas Maryoto, Hamzirwan, Maria Hartiningsih, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Pieter P Gero, disajikan berikut ini serta di halaman 6 dan 7.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mematok target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2013 sebesar 6,8-7,2 persen dalam rapat yang membahas RUU APBN 2013. Optimisme itu dibangun setelah tahun 2011 ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen di tengah resesi ekonomi di zona euro dan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat.

Meskipun lemahnya pertumbuhan di dua pusat kegiatan ekonomi dunia tersebut memengaruhi kinerja ekspor Indonesia yang membuat neraca perdagangan minus pada Aril dan Mei lalu, ada banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menteri Keuangan mengatakan, sumber pertumbuhan dari investasi yang tumbuh di atas 10 persen, konsumsi domestik, ekspor, dan peningkatan kualitas belanja pemerintah.

Dalam diskusi panel Kompas ada nada optimistis, ekonomi Indonesia dapat tumbuh bahkan di atas 8 persen asalkan sejumlah persyaratan dipenuhi. Namun, lebih dari sekadar pertumbuhan, pertanyaan terbesar yang harus dijawab pemerintah dan DPR adalah pertumbuhan seperti apa yang dikejar dan untuk tujuan apa.

Secara makro dan di mata internasional, Indonesia mencatat prestasi pembangunan meyakinkan. Indonesia menjadi negara demokrasi dan memberi otonomi daerah lebih luas, memiliki kekayaan alam berlimpah, ekonomi tumbuh di atas 6 persen di tengah melemahnya perekonomian global, dan menjadi anggota kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto terbesar (G-20). Dari sisi pengelolaan fiskal, Indonesia sangat hati-hati menerapkan defisit anggaran dengan tidak melebihi 3 persen produk domestik bruto (PDB).

Bila melihat lebih dalam, muncul kecenderungan-kecenderungan yang menuntut perhatian. Jumlah orang miskin turun menjadi 12 persen pada posisi Maret 2012 dan beralih masuk kategori ”kelas menengah”. Namun, hampir 40 persen kelas menengah tersebut konsumsinya di bawah 1,5 kali garis kemiskinan yang besarnya Rp 248.707 per kapita per bulan sejak Maret 2012.

Meskipun pembangunan juga melahirkan orang kaya, kesenjangan antara kaya dan miskin melebar dengan koefisien gini tertinggi sejak Indonesia merdeka, yaitu 0,41 (nilai nol menunjukkan pemerataan pendapatan sempurna dan nilai 1 terburuk). Posisi kelompok kelas menengah yang hampir miskin sangat rentan. Ada 55 persen rumah tangga miskin pada 2010 yang tidak masuk kategori miskin pada 2009. Satu dari empat orang Indonesia setidaknya pernah masuk kelompok miskin pada 2008-2010. Keadaan itu menyiratkan, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tetapi harus berkualitas.

Perlu Kualitas

Kualitas pembangunan menjadi semakin penting demi menjawab penciptaan lapangan kerja, penurunan kemiskinan, dan masalah lingkungan. Dalam penciptaan lapangan kerja, meskipun angka pengangguran menurun, jumlah yang bekerja di sektor informal tetap tinggi, yaitu 62-65 persen. Di sisi lain, menurut Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini ada 493.000 sarjana menganggur. Hal ini menunjukkan belum ada arah jelas pembangunan dengan akibat sektor pendidikan dan industri tidak saling terkait.

Ekspor sebagai salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi masih didominasi komoditas mineral, batubara, dan migas. Ditambah hasil pertanian, terutama minyak sawit mentah, ekspor komoditas mencapai lebih 63 persen dari total nilai ekspor. Sementara ekspor produk manufaktur hanya 36,6 persen pada 2010. Dibandingkan dengan negara tetangga, ekspor barang manufaktur Malaysia 68,7 persen, Thailand 88,3 persen, dan Vietnam 50,3 persen.

Padahal, saat ini dan ke depan harga komoditas akan terus bergejolak. Ekspor komoditas akan tidak menguntungkan dari sisi nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja, selain menimbulkan biaya lingkungan yang seharusnya dimasukkan dalam biaya pembangunan.

Ke depan, pembangunan berwawasan lingkungan menjadi keharusan. Bukan hanya untuk mewariskan kekayaan Indonesia kepada generasi mendatang, melainkan juga memecahkan masalah kemiskinan, penyediaan pangan dan energi. Daripada dipakai menyubsidi bahan bakar, misalnya, dana APBN lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur.

Perlu Arah Baru

Indonesia memiliki pilihan- pilihan untuk menjawab ketimpangan distribusi hasil pembangunan, keberlanjutan pembangunan, dan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Setelah tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan luar biasa dalam kelembagaan ekonomi melalui liberalisasi dan desentralisasi. Namun, perubahan itu tidak didukung reformasi birokrasi, sistem hukum, dan kelembagaan politik. Hal itu memunculkan pemburu rente yang berkelindan dengan partai politik dan kekuasaan. APBN dan APBD jadi rebutan dan sumber korupsi. Akibatnya, biaya izin usaha di Indonesia, misalnya, lebih mahal daripada Timor Leste.

Dengan cara mengelola pembangunan seperti sekarang dan pertumbuhan ekonomi 6 persen, Bank Dunia memprediksi pada 2030, saat bonus demografi Indonesia berakhir, PDB Indonesia hanya 3.583 dollar AS per kapita. Bila ekonomi tumbuh 10 persen pun, PDB per kapita hanya 7.243 dollar AS. Artinya, penduduk Indonesia akan menjadi tua sebelum sempat mentransformasi diri menjadi negara kaya dan Indonesia kehilangan peluang emas bonus demografi.

Merevitalisasi industri merupakan pilihan untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja formal. Industri manufaktur padat karya menyediakan pendapatan pasti, mempersempit kesenjangan jender karena menyerap banyak tenaga kerja perempuan, serta menyediakan pertumbuhan tinggi dan stabil karena keterkaitan hulu-hilir.

Revitalisasi itu menuntut sejumlah syarat. Pemerintah perlu memperjelas strategi industri yang mengaitkan hulu dan hilir, industri besar dan kecil, industri substitusi impor, serta insentif ekspor dengan instrumen lebih canggih.

Strategi industrialisasi harus mengaitkan dengan pendidikan dan pasar tenaga kerja yang sebagian besar berpendidikan SMP. Kepemilikan industri juga menjadi isu. Industri pangan, perkebunan sawit, dan perbankan, misalnya, sebagian besar dimiliki asing sehingga nilai tambah tidak tercipta di Indonesia.

Untuk mendukung industrialisasi, bank sentral tidak cukup hanya menjaga stabilitas moneter. Independensi bank sentral perlu didefinisi ulang agar juga dapat berperan sebagai agen pembangunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar