ARAH BARU
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Waktunya
Arah Baru Pembangunan
Laporan Diskusi Panel
Ekonomi KOMPAS
KOMPAS,
10 Juli 2012
Pengantar Redaksi
Ekonomi Indonesia tahun 2011
tumbuh tinggi meskipun ada krisis keuangan di Eropa dan ekonomi Amerika Serikat
belum pulih. Di sisi lain, muncul pertanyaan tentang kualitas pertumbuhan
ekonomi tersebut karena ada kecenderungan kesenjangan kesejahteraan yang
melebar. Harian ”Kompas” akhir Juni lalu kembali mengadakan diskusi panel
ekonomi, kali ini bertema ”Arah Baru Pembangunan Ekonomi Indonesia”.
Panelis
adalah Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef; Arianto Patunru, peneliti
di LPEM Universitas Indonesia (UI); Benny Soetrisno, pengusaha dan Staf Khusus
Menteri Perindustrian; Hendri Saparini, anggota pendiri Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia; Shubham Chaudhuri, ekonom utama Bank Dunia di Jakarta; J
Soedradjad Djiwandono, peneliti di S Rajaratnam School of International
Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dan profesor (emeritus)
ekonomi UI; Thee Kian Wie, Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI; dan
moderator Faisal Basri. Laporan dirangkum oleh Andreas Maryoto, Hamzirwan,
Maria Hartiningsih, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Pieter P Gero, disajikan
berikut ini serta di halaman 6 dan 7.
Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat mematok target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2013
sebesar 6,8-7,2 persen dalam rapat yang membahas RUU APBN 2013. Optimisme itu
dibangun setelah tahun 2011 ekonomi Indonesia tumbuh 6,5 persen di tengah
resesi ekonomi di zona euro dan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat.
Meskipun lemahnya
pertumbuhan di dua pusat kegiatan ekonomi dunia tersebut memengaruhi kinerja
ekspor Indonesia yang membuat neraca perdagangan minus pada Aril dan Mei lalu,
ada banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menteri
Keuangan mengatakan, sumber pertumbuhan dari investasi yang tumbuh di atas 10
persen, konsumsi domestik, ekspor, dan peningkatan kualitas belanja pemerintah.
Dalam diskusi panel Kompas
ada nada optimistis, ekonomi Indonesia dapat tumbuh bahkan di atas 8 persen
asalkan sejumlah persyaratan dipenuhi. Namun, lebih dari sekadar pertumbuhan,
pertanyaan terbesar yang harus dijawab pemerintah dan DPR adalah pertumbuhan
seperti apa yang dikejar dan untuk tujuan apa.
Secara makro dan di mata
internasional, Indonesia mencatat prestasi pembangunan meyakinkan. Indonesia
menjadi negara demokrasi dan memberi otonomi daerah lebih luas, memiliki
kekayaan alam berlimpah, ekonomi tumbuh di atas 6 persen di tengah melemahnya perekonomian
global, dan menjadi anggota kelompok 20 negara dengan produk domestik bruto
terbesar (G-20). Dari sisi pengelolaan fiskal, Indonesia sangat hati-hati
menerapkan defisit anggaran dengan tidak melebihi 3 persen produk domestik
bruto (PDB).
Bila melihat lebih dalam,
muncul kecenderungan-kecenderungan yang menuntut perhatian. Jumlah orang miskin
turun menjadi 12 persen pada posisi Maret 2012 dan beralih masuk kategori
”kelas menengah”. Namun, hampir 40 persen kelas menengah tersebut konsumsinya
di bawah 1,5 kali garis kemiskinan yang besarnya Rp 248.707 per kapita per
bulan sejak Maret 2012.
Meskipun pembangunan juga
melahirkan orang kaya, kesenjangan antara kaya dan miskin melebar dengan
koefisien gini tertinggi sejak Indonesia merdeka, yaitu 0,41 (nilai nol
menunjukkan pemerataan pendapatan sempurna dan nilai 1 terburuk). Posisi
kelompok kelas menengah yang hampir miskin sangat rentan. Ada 55 persen rumah
tangga miskin pada 2010 yang tidak masuk kategori miskin pada 2009. Satu dari
empat orang Indonesia setidaknya pernah masuk kelompok miskin pada 2008-2010.
Keadaan itu menyiratkan, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup, tetapi harus
berkualitas.
Perlu Kualitas
Kualitas pembangunan menjadi
semakin penting demi menjawab penciptaan lapangan kerja, penurunan kemiskinan,
dan masalah lingkungan. Dalam penciptaan lapangan kerja, meskipun angka
pengangguran menurun, jumlah yang bekerja di sektor informal tetap tinggi,
yaitu 62-65 persen. Di sisi lain, menurut Kementerian Koperasi dan UKM, saat
ini ada 493.000 sarjana menganggur. Hal ini menunjukkan belum ada arah jelas
pembangunan dengan akibat sektor pendidikan dan industri tidak saling terkait.
Ekspor sebagai salah satu
penyumbang pertumbuhan ekonomi masih didominasi komoditas mineral, batubara,
dan migas. Ditambah hasil pertanian, terutama minyak sawit mentah, ekspor
komoditas mencapai lebih 63 persen dari total nilai ekspor. Sementara ekspor
produk manufaktur hanya 36,6 persen pada 2010. Dibandingkan dengan negara
tetangga, ekspor barang manufaktur Malaysia 68,7 persen, Thailand 88,3 persen,
dan Vietnam 50,3 persen.
Padahal, saat ini dan ke
depan harga komoditas akan terus bergejolak. Ekspor komoditas akan tidak
menguntungkan dari sisi nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja, selain
menimbulkan biaya lingkungan yang seharusnya dimasukkan dalam biaya
pembangunan.
Ke depan, pembangunan
berwawasan lingkungan menjadi keharusan. Bukan hanya untuk mewariskan kekayaan
Indonesia kepada generasi mendatang, melainkan juga memecahkan masalah
kemiskinan, penyediaan pangan dan energi. Daripada dipakai menyubsidi bahan
bakar, misalnya, dana APBN lebih baik digunakan untuk membangun infrastruktur.
Perlu Arah Baru
Indonesia memiliki pilihan-
pilihan untuk menjawab ketimpangan distribusi hasil pembangunan, keberlanjutan
pembangunan, dan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Setelah tahun 1998,
Indonesia mengalami perubahan luar biasa dalam kelembagaan ekonomi melalui
liberalisasi dan desentralisasi. Namun, perubahan itu tidak didukung reformasi
birokrasi, sistem hukum, dan kelembagaan politik. Hal itu memunculkan pemburu
rente yang berkelindan dengan partai politik dan kekuasaan. APBN dan APBD jadi
rebutan dan sumber korupsi. Akibatnya, biaya izin usaha di Indonesia, misalnya,
lebih mahal daripada Timor Leste.
Dengan cara mengelola
pembangunan seperti sekarang dan pertumbuhan ekonomi 6 persen, Bank Dunia
memprediksi pada 2030, saat bonus demografi Indonesia berakhir, PDB Indonesia
hanya 3.583 dollar AS per kapita. Bila ekonomi tumbuh 10 persen pun, PDB per
kapita hanya 7.243 dollar AS. Artinya, penduduk Indonesia akan menjadi tua
sebelum sempat mentransformasi diri menjadi negara kaya dan Indonesia
kehilangan peluang emas bonus demografi.
Merevitalisasi industri
merupakan pilihan untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja formal.
Industri manufaktur padat karya menyediakan pendapatan pasti, mempersempit
kesenjangan jender karena menyerap banyak tenaga kerja perempuan, serta
menyediakan pertumbuhan tinggi dan stabil karena keterkaitan hulu-hilir.
Revitalisasi itu menuntut
sejumlah syarat. Pemerintah perlu memperjelas strategi industri yang mengaitkan
hulu dan hilir, industri besar dan kecil, industri substitusi impor, serta
insentif ekspor dengan instrumen lebih canggih.
Strategi industrialisasi
harus mengaitkan dengan pendidikan dan pasar tenaga kerja yang sebagian besar
berpendidikan SMP. Kepemilikan industri juga menjadi isu. Industri pangan,
perkebunan sawit, dan perbankan, misalnya, sebagian besar dimiliki asing
sehingga nilai tambah tidak tercipta di Indonesia.
Untuk mendukung
industrialisasi, bank sentral tidak cukup hanya menjaga stabilitas moneter.
Independensi bank sentral perlu didefinisi ulang agar juga dapat berperan
sebagai agen pembangunan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar