Senin, 16 Juli 2012

Tragedi-Komedi Pemilihan Presiden

Tragedi-Komedi Pemilihan Presiden
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
KOMPAS, 16 Juli 2012


Peran politik klenik kini tak lagi dominan. Inilah era lembaga survei. Untuk bersiap maju dalam pemilihan presiden, tokoh-tokoh elite kekuasaan cukup melihat hasil survei. Tak perlu lagi sibuk dengan pernak-pernik klenik.

Politik klenik—yang kental pada kekuasaan Soeharto—memahami bahwa seorang presiden adalah ”raja”, pengambil alih otoritas Tuhan di bumi. Karena itu, hal ihwal kewahyuan jadi sangat signifikan. Orang perlu nayuh (mencari, mengonfirmasi, dan memastikan) wahyu melalui jalan asketis: puasa, teteki (bertapa), ziarah di makam tokoh-tokoh besar sejarah, dan serangkaian ritus lainnya.

Liberalisme datang, jadi roh baru yang mengguncang jagat politik dan kekuasaan di negeri ini. Demokrasi prosedural dan elektoral menjadikan partai politik sebagai bandulan yang mengayunkan seseorang menjadi presiden. Jabatan presiden tidak lagi ”ditunggu”, tapi diburu. Bakal calon presiden merasa tak perlu lagi nayuh wahyu, tapi cukup berbelanja dukungan di pasar (mal) demokrasi yang menyediakan banyak kendaraan politik dan politikus rental.

Segala ritus yang berhubungan dengan kewahyuan telah digantikan derap mesin partai, uang, dan popularitas ketokohan. Presiden dipahami bukan lagi ”raja” atau wakil Tuhan di bumi, tapi manajer, laiknya dalam sebuah perusahaan. Di situ, rakyat diposisikan sebagai ”konstituen kelas konsumen”.

Lembaga survei hadir menjadi peranti pelengkap demokrasi liberal. Ia berfungsi sebagai radar politik atas kekuatan atau kelemahan elektoral bakal calon presiden. Seorang bakal calon presiden bisa gemetar dan lemas begitu mendapatkan hasil survei elektoralnya yang rendah.

Presiden Ideal

Siapa pun bakal calon presiden tentu tersentak atas hasil survei ini: mayoritas warga (negara) belum memiliki calon yang disukai dan dinilai layak untuk dipilih sebagai presiden (Kompas, 9/7).

Hasil survei itu menunjukkan: popularitas tidak identik dengan favoritisme dan kualitas ketokohan. Kata ”disukai” dan ”dinilai layak” jadi penanda penting premis itu. Gejala ini menunjukkan, sejatinya masyarakat (warga negara) tetap menginginkan munculnya calon presiden ideal.

Ukuran ideal bagi calon presiden selalu berbasis pada integritas, komitmen, dan kapabilitas yang turunannya terjelma ke dalam sosok yang memiliki kapasitas negarawan. Artinya, seorang calon presiden haruslah kesatria moral, kesatria politik (konstitusi), serta kesatria intelektual dan teknis.

Sayangnya, masyarakat belum mendapatkan sosok ideal dalam diri tokoh-tokoh yang bermunculan dan siap berlaga jadi RI 1. Ini antara lain disebabkan tiga hal. Pertama, stok kepemimpinan nasional memang terbatas. Kedua, sistem pemilihan presiden yang hanya memberi peluang kepada orang-orang berkuasa, berduit, dan populer. Ketiga, ideologi politik ”mati”, sementara pragmatisme politik semakin menguat.

Dalam setting buram itu, masyarakat dicekam bayangan buruk. Pemilihan presiden pun berpotensi jadi tragedi politik ketika tokoh yang terpilih nantinya tak mampu memenuhi harapan. Pengalaman ini sudah dirasakan rakyat melalui sistem pemilihan langsung di era reformasi. Rakyat tertipu pencitraan dan bangunan opini yang menjebak.

Dalam ringkusan trauma itu, rakyat kembali ”dipaksa” untuk memilih presiden. Maka, bisa dibayangkan, rakyat pun sekadar menjalankan ritus demokrasi yang rentan dikotori politik uang.

Terlalu Sering ’Blong’

Bangsa kita tak memiliki batas yang rigid atas tragedi dan komedi. Karena itu, bangsa ini punya daya tahan luar biasa dalam penderitaan. Pengalaman yang semula jadi tragedi bisa berubah jadi komedi dalam kearifan sang waktu. Orang hanya menangis sesaat ketika jatuh, beberapa saat kemudian tertawa bahkan mengolok-olok penderitaannya. Lihatlah drama-drama komedi kita. Lihatlah para pelawak kita yang lihai mengolok-olok penderitaan dan keadaan.

Bagi rakyat, pemilihan presiden adalah tragedi yang diubah jadi komedi demi menghibur diri. Tindakan semacam ini oleh Basiyo, pelawak asal Yogyakarta, dirumuskan dalam kalimat sinikal: ”Ya... tinimbang ora ana kegiatan (Ya daripada tak ada kegiatan). Bayangkan sinisme itu: memilih presiden bisa begitu rileks tanpa beban tanggung jawab. Sikap itulah yang kelak diambil ketika rakyat memilih presiden. Rakyat sadar, memilih presiden tak lebih dari membeli lotre yang kemungkinan blongnya lebih besar daripada nembus.

Tragis memang, demokrasi yang semestinya menghasilkan nilai dan realitas yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan secara konstitusional ternyata memberi rakyat hanya spekulasi. Rakyat pun dipaksa berjudi dengan nasib. Di mana peran parpol dan penyelenggara negara?

Jangan salahkan jika rakyat pesimistis karena terlalu sering blong, termasuk dalam mendapatkan presiden sejati. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar