Rabu, 04 Juli 2012

Politik Tanpa Perantara


Politik Tanpa Perantara
Budiarto Danujaya ; Pengajar Filsafat Politik dan Diskursus Ideologi FIB UI
KOMPAS, 04 Juli 2012


Politik pertama-tama bukanlah kegiatan menjaga status quo prosedural, laik tertib sehubungan dengan kebijakan distribusi dan legitimasi kuasa. Politik bermakna justru ketika menghadirkan sendatan- sendatan emansipatoris menggugat status quo, yang kerap kali telanjur dianggap wajar, padahal mengidap ketakadilan, kesewenangan, dan ketakpedulian.

Masalahnya, baru lewat sendatan gugatan itulah, perihal keadilan, kepatutan, dan kebersamaan yang terabaikan diupayakan kembali diperhitungkan ke dalam prosedur dan mekanisme kebersamaan. Dengan begitu, mereka yang tercecer, terzalimi, ataupun tercampakkan dapat merebut kembali posisi politis mereka: partisipasi aktif dalam mewujudkan gambaran ideal bersama sebagai bangsa.

Kerangka kerja politik disensual semacam ini lebih memudahkan kita mencerna makna pelbagai gerak pembangkangan publik yang belakangan semakin kerap terjadi. Katakanlah menyangkut, mulai dari berbagai anarki berkekerasan bahkan berdarah melawan aparat, pengajuan petisi, ataupun pengumpulan tanda tangan protes. Tentu saja, termasuk rangkaian solidaritas pengumpulan koin, seperti yang sekarang sedang digalang untuk pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.

Aksi pembangkangan seperti ini kerap luput dimaknai lantaran cenderung dilihat sebelah mata sebagai tindak ”main-main” orang iseng. Padahal, boleh jadi justru inilah contoh par excellence dari penggalangan politik partisipasi aktif publik, yang disebut Jacques Ranciere (1999): demokrasi sebagai politik kesetaraan aktif.

Terwakili atau Terwakilkan

Sesungguhnya, ini bukan kali pertama kita menyaksikan solidaritas pengumpulan tanda tangan atau koin sebagai protes atas kebijakan penguasa yang dinilai mengidap ketakadilan, kesewenangan, atau ketakpedulian. Mengenang sepintas, kita bisa menyebut penggalangan koin untuk Prita dan Darsem, atau tanda tangan untuk Bibit Samad dan Chandra Hamzah.

Betapapun, kiranya baru kali inilah kehebohan tanggap-sikap para politikus Senayan bisa langsung dipanen sesegera gagasan tercetus. Kesan yang segera menyeruak, mereka tak habis pikir politik ”jalanan” semacam ini bisa terjadi antarlembaga negara dan tertuju kepada kebijakan lembaga agung seperti DPR pula.

Ini tampak gamblang lewat wawancara televisi seorang anggota Komisi III DPR. Baginya, gagasan pengumpulan koin ini cuma merupakan ekses ketaksabaran ”gaya LSM” belaka. Maksudnya gamblang, menuding sang pencetus, yakni Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto yang lama malang melintang di LSM bantuan hukum.

Tersirat gamblang klasifikasi di balik pernyataan ini. Di satu sisi, parlemen merupakan tempat orang-orang bertimbang serius sehingga keluarannya layak disebut politik.

Sementara, di sisi lain, LSM adalah sarang orang-orang grusa-grusu—terburu-buru, sembarangan, dan pendek pikir—sehingga tak memadai untuk membicarakan politik adiluhung. Jadi, kategorisasi politik formal dan nonformal juga sekaligus dimaknakan sebagai politik serius versus tidak atau kurang serius alias ”main-main”.

Tampaknya, yang luput ditengarai adalah parlemen pada dasarnya justru perwujudan ”terpaksa” dari representasi politik publik belaka. Dikatakan terpaksa lantaran mekanisme partisipasi politik publik yang lebih ideal adalah presentasi langsung seperti pada demokrasi agora. Partisipasi politik tanpa perantara ini semakin muskil dilaksanakan dalam demokrasi modern, lantaran skala populasi rakyat yang kian membeludak.

Jadi, kalau para anggota Dewan yang mulia itu disebut wakil rakyat, justru karena pada dasarnya hanyalah representasi alias perwakilan dari para pemberi mandatnya, yakni orang banyak yang grusa-grusu itu.

Gejala umum lupa mandat semacam ini semestinya menyadarkan kita bahwa politik sejati memang justru terjadi di seluar politik representasi. Tepatnya, justru pada kembalinya partisipasi aktif dari mereka yang tercecer, terzalimi, dan tersingkirkan sehingga rawan grusa-grusu tersebut. Jadi, justru pada kembalinya partisipasi aktif mereka yang selama ini dianggap terwakili, padahal ternyata cuma terwakilkan.

Politik Gobang

Gamblanglah, peristiwa pembangkangan politik masyarakat, termasuk seperti solidaritas penggalangan koin untuk KPK, perlu kita simak saksama namun lebih dalam kerangka kembalinya politik partisipasi aktif publik semacam ini. Tentu saja tak semua memenuhi kriteria. Betapapun, setidaknya justru lewat momen-momen disensus semacam itulah kita kerap bisa lebih mengenali dinamika aspirasi publik yang sedang menggelora ketimbang lewat politik formal para penguasa.

Dalam konteks itulah, Ranciere berpendapat, politik para penguasa yang menyesaki hampir seluruh hiruk-pikuk keseharian kita itu hanyalah sekadar ”polis”. Dituding ”polis” lantaran kepentingannya terpasung pada tetek-bengek kebijakan (policing), baik dalam arti pembuatan, pengawasan, maupun penjagaan tertib publik. Gamblangnya, seputar pengukuhan legitimasi kuasa dan penertiban distribusinya belaka.

Politik sejati justru berlangsung di seluar ”polis”. Kepentingan politik sejati tertuju pada kesetaraan aktif. Maksudnya, saat-saat tatkala mereka yang tercecer, terzalimi, atau tersingkir merebut kembali posisi partisipasi aktif mereka. Jadi, melampaui penyetaraan, muaranya adalah kesetaraan: sendatan-sendatan delegitimasi terhadap tertib status quo justru dalam rangka redistribusi kuasa.

Berkaca pada wacana ini, kalau belakangan semakin banyak orang gampang tersulut grusa-grusu, bahkan sampai berani melakukan perlawanan berdarah terhadap aparat, jangan-jangan merupakan tanda-tanda betapa kegagalan politik representasi kita sudah mendekati ambang batas kredit permaklumannya.

Politik partisipasi aktif publik senantiasa merupakan penyingkiran berlaras ganda (double-axis displacement): selamat datang politik hati nurani tanpa perantara tapi juga selamat tinggal politik tanpa hati para perantara. Merunut konteks ini, barangkali lebih afdal kalau selanjutnya solidaritas pengumpulan koin semacam ini lebih kita sebut politik penggalangan gobang.

Penalarannya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), gobang bukan hanya bisa berarti koin logam uang, tapi juga pedang. Waspadalah, sejatinya, seperti itulah laras ganda kembalinya politik partisipasi aktif publik. Jangan remehkan, kalau tak bijak-bijak disaksamai, bisa-bisa bertiwikrama menjadi tajam menyayat laiknya pedang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar