Sabtu, 07 Juli 2012

Menunggu Kesatria Politik


Menunggu Kesatria Politik
Budhi Santoso ; Badan Penasihat Perhimpunan Purnawirawan AU 2004-sekarang
KOMPAS, 07 Juli 2012


Politik adalah gatra sentral. Buruk perpolitikan, rusaklah seluruh sendi kehidupan. Dapat menjurus ke negara gagal, seperti yang sedang kita alami sekarang ini.

Pada beberapa kesempatan, saya mencatat ulasan politik menarik dari beberapa tokoh di republik ini di sejumlah media televisi. Di antaranya, ”... saya baru tahu bahwa politik itu boleh bohong. Bahkan, teman saya Menlu Yaman mengatakan, politik itu bukan boleh bohong, tetapi harus bohong...” (mantan Menlu, Metro TV 2009).

Yang lain lagi, ”... saya ternyata tidak bisa menjadi politikus karena di dunia politik semua orang pakai topeng...” (siaran ulang dai kesohor, TV One, 2010).

Atau yang ini ”... jam terbang saya sebagai politisi masih minim. Saya sebelumnya adalah profesional, yang lebih mengacu pada transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas...” (tokoh DPR, TV One, 2011).

Ucapan-ucapan tersebut pasti tersiar luas ke seluruh Tanah Air dan secara tidak langsung bisa menjadi bagian dari pembelajaran politik. Salah atau benar ucapan itu, mereka lebih tepat disebut sebagai potret keadaan perpolitikan buruk dewasa ini.

Reformasi 1998 memang telah mengubah sistem politik menuju alam bebas demokrasi, yang melegakan kita semua ketika itu. Namun, harapan pencerahan terhadap peri kehidupan masa lalu ternyata malah berlanjut dengan kekarut-marutan tak berujung.

Krisis Multidimensi

Para pakar menyebutnya: krisis multidimensi, transaksional, kleptokrasi, negara otopilot, dan lain sebagainya. Stigma pun beredar di masyarakat luas bahwa politik itu kotor. Apa akar masalahnya, belum satu pun pihak yang mengulas tajam. Padahal, tidaklah mungkin menyembuhkan penyakit tanpa diagnosis yang tepat. Namun, perpolitikan terus bergulir. Ada 19.446 kursi kekuasaan diperebutkan: presiden dan wakil, DPR, DPD, DPRD, gubernur dan wakil, bupati-wali kota dan wakil.

Dalam 5 tahun ada 533 pemilu atau 107 pemilu setiap tahun, 9 pemilu tiap bulan, atau lebih dari 2 pemilu setiap minggu. Jika 65.260 pemilihan kepala desa dihitung, akan ada 36 pemilu setiap hari. Maka, seseorang bisa 10-11 kali mencoblos dalam 5 tahun.

Ratusan ribu caleg dan calon eksekutif, jutaan partisan, dan massa terlibat hiruk-pikuk, serta miliaran atau triliunan rupiah terhamburkan. Demam merebut dan mempertahankan kekuasaan semakin akut dan anarkistis.

Di tingkat elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif, akal-akalan dan mafia-mafiaan kian masif. Mana korban mana pemain, tak jelas. Ketika menjabat pun, entah menteri, anggota DPR, hakim, jaksa, jenderal, kepala daerah, banyak yang menjadi benalu.

Semakin jelas, akal-akalan pada tingkat elite yang lebih bersumber pada pola pikir politik bertopeng atau politik kotor menular ke masyarakat luas. Pemberitaannya yang sangat intens menimbulkan psikologi kejengkelan sosial. Rakyat yang tak berdaya menjadi membangkang dan sangat mudah meledak.

Sudah banyak korban jiwa aparat, massa, mahasiswa, dan pelajar akibat bentrok hampir setiap hari. Berbagai kebijakan yang mengandung kebohongan justru menjadi pedoman tata kehidupan kenegaraan kita.

Politik bersifat sentral, buruk politik, rusaklah semua sendi kehidupan. Alhasil, masyarakat hidup di alam kenegaraan yang bergelimang permasalahan. Pola pikir politik kotorlah yang menjadi biang keladi persoalan keindonesiaan kita sekarang.

Kekeliruan-kekeliruan pembelajaran politik pasca proklamasi kemerdekaan hingga saat ini telah mengkristalkan pola pikir politik yang nyasar. Kita semua adalah produk pembelajaran politik salah ini, yang masih berlangsung.

Berpolitik itu Mulia

Seiring modernisasi peradaban, politik terus bermetamorfosis. Samuel P Huntington mengatakan, modernisasi yang berjalan cepat bukan menghasilkan pembangunan politik, melainkan pembusukan politik. Indonesia perlu mewaspadai pendapat profesor politik Harvard ini karena kita memang sedang mengalami percepatan modernisasi berkat globalisasi. Mari kita bertahan pada keaslian berpolitik: ketulusan, kegagahberanian, kecerdasan, dan kerelaan berkorban. Berpolitik harus serba total dan mulia, seperti Soekarno-Hatta, Sudirman, dan kawan-kawan. Merekalah kesatria-kesatria politik.

Perjuangan politik para pendiri negara tersebut telah mengukir sejarah gemilang: mendirikan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (Pembukaan UUD 1945).

Berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah berkonstitusi, tak ada yang lain dari itu. Dalil politik ini telah dibuktikan oleh para pejuang politik terdahulu. Mulialah politik karena ia menyejahterakan manusia.

Kita harus, sekarang juga, kembali kepada kemuliaan berpolitik dan mencetak politisi-politisi sejati. Yang kita butuhkan adalah politisi-politisi profesional yang berkeluhuran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar