Menunggu
Kesatria Politik
Budhi
Santoso ; Badan Penasihat Perhimpunan
Purnawirawan AU 2004-sekarang
KOMPAS, 07 Juli 2012
Politik adalah gatra sentral. Buruk
perpolitikan, rusaklah seluruh sendi kehidupan. Dapat menjurus ke negara gagal,
seperti yang sedang kita alami sekarang ini.
Pada beberapa kesempatan, saya mencatat
ulasan politik menarik dari beberapa tokoh di republik ini di sejumlah media
televisi. Di antaranya, ”... saya baru tahu bahwa politik itu boleh bohong.
Bahkan, teman saya Menlu Yaman mengatakan, politik itu bukan boleh bohong,
tetapi harus bohong...” (mantan Menlu, Metro TV 2009).
Yang lain lagi, ”... saya ternyata tidak bisa
menjadi politikus karena di dunia politik semua orang pakai topeng...” (siaran
ulang dai kesohor, TV One, 2010).
Atau yang ini ”... jam terbang saya sebagai
politisi masih minim. Saya sebelumnya adalah profesional, yang lebih mengacu
pada transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas...” (tokoh DPR, TV One,
2011).
Ucapan-ucapan tersebut pasti tersiar luas ke
seluruh Tanah Air dan secara tidak langsung bisa menjadi bagian dari
pembelajaran politik. Salah atau benar ucapan itu, mereka lebih tepat disebut
sebagai potret keadaan perpolitikan buruk dewasa ini.
Reformasi 1998 memang telah mengubah sistem
politik menuju alam bebas demokrasi, yang melegakan kita semua ketika itu.
Namun, harapan pencerahan terhadap peri kehidupan masa lalu ternyata malah
berlanjut dengan kekarut-marutan tak berujung.
Krisis Multidimensi
Para pakar menyebutnya: krisis multidimensi,
transaksional, kleptokrasi, negara otopilot, dan lain sebagainya. Stigma pun
beredar di masyarakat luas bahwa politik itu kotor. Apa akar masalahnya, belum
satu pun pihak yang mengulas tajam. Padahal, tidaklah mungkin menyembuhkan
penyakit tanpa diagnosis yang tepat. Namun, perpolitikan terus bergulir. Ada
19.446 kursi kekuasaan diperebutkan: presiden dan wakil, DPR, DPD, DPRD,
gubernur dan wakil, bupati-wali kota dan wakil.
Dalam 5 tahun ada 533 pemilu atau 107 pemilu
setiap tahun, 9 pemilu tiap bulan, atau lebih dari 2 pemilu setiap minggu. Jika
65.260 pemilihan kepala desa dihitung, akan ada 36 pemilu setiap hari. Maka,
seseorang bisa 10-11 kali mencoblos dalam 5 tahun.
Ratusan ribu caleg dan calon eksekutif,
jutaan partisan, dan massa terlibat hiruk-pikuk, serta miliaran atau triliunan
rupiah terhamburkan. Demam merebut dan mempertahankan kekuasaan semakin akut
dan anarkistis.
Di tingkat elite eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, akal-akalan dan mafia-mafiaan kian masif. Mana korban mana pemain,
tak jelas. Ketika menjabat pun, entah menteri, anggota DPR, hakim, jaksa,
jenderal, kepala daerah, banyak yang menjadi benalu.
Semakin jelas, akal-akalan pada tingkat elite
yang lebih bersumber pada pola pikir politik bertopeng atau politik kotor
menular ke masyarakat luas. Pemberitaannya yang sangat intens menimbulkan
psikologi kejengkelan sosial. Rakyat yang tak berdaya menjadi membangkang dan
sangat mudah meledak.
Sudah banyak korban jiwa aparat, massa,
mahasiswa, dan pelajar akibat bentrok hampir setiap hari. Berbagai kebijakan
yang mengandung kebohongan justru menjadi pedoman tata kehidupan kenegaraan
kita.
Politik bersifat sentral, buruk politik,
rusaklah semua sendi kehidupan. Alhasil, masyarakat hidup di alam kenegaraan
yang bergelimang permasalahan. Pola pikir politik kotorlah yang menjadi biang
keladi persoalan keindonesiaan kita sekarang.
Kekeliruan-kekeliruan pembelajaran politik
pasca proklamasi kemerdekaan hingga saat ini telah mengkristalkan pola pikir
politik yang nyasar. Kita semua adalah produk pembelajaran politik salah ini,
yang masih berlangsung.
Berpolitik itu Mulia
Seiring modernisasi peradaban, politik terus
bermetamorfosis. Samuel P Huntington mengatakan, modernisasi yang berjalan
cepat bukan menghasilkan pembangunan politik, melainkan pembusukan politik. Indonesia
perlu mewaspadai pendapat profesor politik Harvard ini karena kita memang
sedang mengalami percepatan modernisasi berkat globalisasi. Mari kita bertahan
pada keaslian berpolitik: ketulusan, kegagahberanian, kecerdasan, dan kerelaan
berkorban. Berpolitik harus serba total dan mulia, seperti Soekarno-Hatta,
Sudirman, dan kawan-kawan. Merekalah kesatria-kesatria politik.
Perjuangan politik para pendiri negara
tersebut telah mengukir sejarah gemilang: mendirikan NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” (Pembukaan UUD 1945).
Berpolitik adalah bernegara dan bernegara adalah
berkonstitusi, tak ada yang lain dari itu. Dalil politik ini telah dibuktikan
oleh para pejuang politik terdahulu. Mulialah politik karena ia menyejahterakan
manusia.
Kita harus, sekarang juga, kembali kepada
kemuliaan berpolitik dan mencetak politisi-politisi sejati. Yang kita butuhkan
adalah politisi-politisi profesional yang berkeluhuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar