Senin, 02 Juli 2012

Kelautan Pasca-Rio+20


Kelautan Pasca-Rio+20
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Delegasi pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20
KOMPAS, 02 Juli 2012


Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 telah usai. Dari 283 kesepakatan, ada 19 poin yang terkait langsung dengan kelautan dan perikanan.

Penekanannya terutama pada perlunya konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari 19 poin, tiga perlu disikapi: konservasi, pengelolaan perikanan, dan subsidi.

Konservasi

Poin 177 menegaskan pentingnya konservasi laut termasuk di dalamnya daerah perlindungan laut (DPL) dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan merujuk pada the Convention on Biological Diversity 2010, ditargetkan pada tahun 2020 wilayah konservasi laut bisa mencakup 10 persen dari wilayah pesisir dan laut. Apakah kita mampu memenuhi target itu?

Jika luas laut teritorial kita 3,1 juta kilometer persegi atau 310 juta hektar, maka kita harus mengonservasi 31 juta hektar. Sampai saat ini wilayah konservasi laut kita sekitar 15,4 juta hektar (5 persen) dan tahun 2020 ditargetkan 20 juta hektar. Untuk menambah 5 persen lagi sebenarnya tidak sulit. Persoalannya, banyak wilayah konservasi telah ditetapkan, tetapi belum memiliki rencana pengelolaan (management plan) yang baik sehingga tidak efektif dan tujuan konservasi tidak tercapai. Begitu pula ada masalah dualisme pengelolaan konservasi laut, yaitu oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ini turunan dari dualisme legislasi konservasi, yakni UU No 5/1990 tentang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya dan UU No 45/2009 (Perikanan) serta UU No 27/2007 (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).

Memang agak aneh apabila obyek yang sama dikelola oleh kementerian yang berbeda. Karena itu, tumpang tindih pengelolaan kawasan konservasi laut ini harus segera diakhiri. Mestinya Kemenhut bisa berbesar hati menyerahkan urusan tersebut kepada KKP. Hal kritis lainnya adalah sebagian konservasi laut di daerah belum mampu dikelola pemerintah daerah. Mereka belum mandiri dan terus perlu pendampingan LSM, pemerintah pusat, ataupun universitas.

Pengelolaan Perikanan

Pada poin 168, isu stok sumber daya menjadi penting. Stok ikan harus dijaga dan produksi perikanan tidak melebihi potensi lestari, caranya dengan rencana pengelolaan perikanan berbasis riset ilmiah. Berbagai masalah seperti tangkap-lebih (overfishing), tangkapan-sampingan (by catch), serta tangkapan yang dibuang (discard fishing) harus diatasi.

Penyu dan lumba-lumba sering menjadi produk by catch. Artinya, kita menangkap udang, tapi pada saat yang sama penyu tertangkap tanpa sengaja, padahal penyu tergolong dilindungi. Inilah yang menuntut selektivitas alat tangkap. Beberapa jenis alat tangkap, khususnya pukat udang, harus disertai turtle excluder device (TED) atau alat pemisah penyu. Begitu pula alat tangkap tuna harus dilengkapi circle hook agar penyu tidak tertangkap.

Ketiga masalah tersebut bisa merupakan contoh dampak praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, yang dikenal dengan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing. Praktik IUU fishing dianggap mengancam pembangunan berkelanjutan sehingga menjadi komitmen bersama untuk diberantas.

Berbagai instrumen pencegahan terhadap ketiga masalah tersebut telah menjadi komitmen global dan instrumen perdagangan. Udang bisa diembargo karena kita tidak menggunakan TED. Begitu pula tuna, jika tidak taat pada aturan pengelolaan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Oleh karena itu, perlu harmonisasi pengaturan dan pengelolaan perikanan kita dengan peraturan internasional. Pada saat yang sama kapasitas pengawasan dan penegakan hukum juga harus ditingkatkan. Perlu juga negosiasi dengan negara maju agar kita diberi waktu untuk menyesuaikan.

Subsidi Perikanan

Isu subsidi juga muncul lagi pada poin 173. Ada komitmen untuk menghilangkan 
subsidi perikanan yang berkontribusi terhadap IUU Fishing serta kapasitas berlebih (overcapacity) dalam penangkapan. Hubungan subsidi dan kerusakan-kerusakan sumber daya sering dianggap linier. Namun, pada World Fisheries Congress Ke-5 di Yokohama, peneliti Jepang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara subsidi dan kerusakan sumber daya. Di Kompas tahun 2005, saya menulis agar hati-hati menilai dampak subsidi terhadap masalah tangkap-lebih di negara berkembang. 
Padahal, bisa jadi ini karena lemahnya desain pengelolaan perikanan. Umumnya perikanan mereka memang relatif tidak diatur (unregulated).

Isu subsidi ini mestinya diarahkan ke negara maju. Dalam sebuah studi disebutkan Amerika Serikat membayar access fee kepada negara-negara pulau di Pasifik Selatan agar armada perikanan AS bisa beroperasi di ZEE di Pasifik Selatan. Ini bentuk subsidi AS kepada perusahaan perikanannya. Juga access fee Uni Eropa kepada negara-negara ACP (African Caribbean and Pacific) melalui fisheries access agreement juga merupakan subsidi. Jadi sebenarnya negara majulah yang banyak memberikan subsidi, apalagi Jepang.

Bagi kita subsidi perikanan masih penting untuk atasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, kita mesti meyakinkan bahwa letak masalah kerusakan sumber daya bukan pada subsidinya, melainkan pada pengelolaan yang tidak benar.

Ketiga isu di atas dapat menjadi dasar bagi pemerintah menata kelautan. Tentu saja kita harus tetap kritis terhadap ketentuan dan kesepakatan internasional yang sering mengorbankan dunia ketiga seperti kita, di mana para nelayannya masih perlu perlindungan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar