Kelautan
Pasca-Rio+20
Arif
Satria ; Dekan Fakultas Ekologi
Manusia IPB;
Delegasi pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20
KOMPAS, 02 Juli 2012
Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20
telah usai. Dari 283 kesepakatan, ada 19 poin yang terkait langsung dengan
kelautan dan perikanan.
Penekanannya terutama pada perlunya
konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk
menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari 19 poin, tiga perlu disikapi:
konservasi, pengelolaan perikanan, dan subsidi.
Konservasi
Poin 177 menegaskan pentingnya konservasi
laut termasuk di dalamnya daerah perlindungan laut (DPL) dan pemanfaatan secara
berkelanjutan. Dengan merujuk pada the Convention on Biological Diversity 2010,
ditargetkan pada tahun 2020 wilayah konservasi laut bisa mencakup 10 persen
dari wilayah pesisir dan laut. Apakah kita mampu memenuhi target itu?
Jika luas laut teritorial kita 3,1 juta kilometer
persegi atau 310 juta hektar, maka kita harus mengonservasi 31 juta hektar.
Sampai saat ini wilayah konservasi laut kita sekitar 15,4 juta hektar (5
persen) dan tahun 2020 ditargetkan 20 juta hektar. Untuk menambah 5 persen lagi
sebenarnya tidak sulit. Persoalannya, banyak wilayah konservasi telah
ditetapkan, tetapi belum memiliki rencana pengelolaan (management plan) yang
baik sehingga tidak efektif dan tujuan konservasi tidak tercapai. Begitu pula
ada masalah dualisme pengelolaan konservasi laut, yaitu oleh Kementerian
Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ini turunan
dari dualisme legislasi konservasi, yakni UU No 5/1990 tentang konservasi
sumber daya hayati dan ekosistemnya dan UU No 45/2009 (Perikanan) serta UU No
27/2007 (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
Memang agak aneh apabila obyek yang sama
dikelola oleh kementerian yang berbeda. Karena itu, tumpang tindih pengelolaan
kawasan konservasi laut ini harus segera diakhiri. Mestinya Kemenhut bisa berbesar
hati menyerahkan urusan tersebut kepada KKP. Hal kritis lainnya adalah sebagian
konservasi laut di daerah belum mampu dikelola pemerintah daerah. Mereka belum
mandiri dan terus perlu pendampingan LSM, pemerintah pusat, ataupun
universitas.
Pengelolaan Perikanan
Pada poin 168, isu stok sumber daya menjadi
penting. Stok ikan harus dijaga dan produksi perikanan tidak melebihi potensi
lestari, caranya dengan rencana pengelolaan perikanan berbasis riset ilmiah.
Berbagai masalah seperti tangkap-lebih (overfishing),
tangkapan-sampingan (by catch), serta
tangkapan yang dibuang (discard fishing)
harus diatasi.
Penyu dan lumba-lumba sering menjadi produk by catch. Artinya, kita menangkap udang,
tapi pada saat yang sama penyu tertangkap tanpa sengaja, padahal penyu
tergolong dilindungi. Inilah yang menuntut selektivitas alat tangkap. Beberapa
jenis alat tangkap, khususnya pukat udang, harus disertai turtle excluder device (TED) atau alat pemisah penyu. Begitu pula
alat tangkap tuna harus dilengkapi circle
hook agar penyu tidak tertangkap.
Ketiga masalah tersebut bisa merupakan contoh
dampak praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, yang
dikenal dengan illegal, unreported and
unregulated (IUU) fishing. Praktik IUU fishing dianggap mengancam
pembangunan berkelanjutan sehingga menjadi komitmen bersama untuk diberantas.
Berbagai instrumen pencegahan terhadap ketiga
masalah tersebut telah menjadi komitmen global dan instrumen perdagangan. Udang
bisa diembargo karena kita tidak menggunakan TED. Begitu pula tuna, jika tidak
taat pada aturan pengelolaan Regional
Fisheries Management Organizations (RFMOs). Oleh karena itu, perlu
harmonisasi pengaturan dan pengelolaan perikanan kita dengan peraturan
internasional. Pada saat yang sama kapasitas pengawasan dan penegakan hukum
juga harus ditingkatkan. Perlu juga negosiasi dengan negara maju agar kita
diberi waktu untuk menyesuaikan.
Subsidi Perikanan
Isu subsidi juga muncul lagi pada poin 173.
Ada komitmen untuk menghilangkan
subsidi perikanan yang berkontribusi terhadap
IUU Fishing serta kapasitas berlebih (overcapacity)
dalam penangkapan. Hubungan subsidi dan kerusakan-kerusakan sumber daya sering
dianggap linier. Namun, pada World
Fisheries Congress Ke-5 di Yokohama, peneliti Jepang membuktikan bahwa
tidak ada hubungan antara subsidi dan kerusakan sumber daya. Di Kompas tahun
2005, saya menulis agar hati-hati menilai dampak subsidi terhadap masalah
tangkap-lebih di negara berkembang.
Padahal, bisa jadi ini karena lemahnya
desain pengelolaan perikanan. Umumnya perikanan mereka memang relatif tidak
diatur (unregulated).
Isu subsidi ini mestinya diarahkan ke negara
maju. Dalam sebuah studi disebutkan Amerika Serikat membayar access fee kepada
negara-negara pulau di Pasifik Selatan agar armada perikanan AS bisa beroperasi
di ZEE di Pasifik Selatan. Ini bentuk subsidi AS kepada perusahaan
perikanannya. Juga access fee Uni Eropa kepada negara-negara ACP (African Caribbean and Pacific) melalui
fisheries access agreement juga merupakan subsidi. Jadi sebenarnya negara
majulah yang banyak memberikan subsidi, apalagi Jepang.
Bagi kita subsidi perikanan masih penting
untuk atasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan ketahanan pangan. Oleh karena
itu, kita mesti meyakinkan bahwa letak masalah kerusakan sumber daya bukan pada
subsidinya, melainkan pada pengelolaan yang tidak benar.
Ketiga isu di atas dapat menjadi dasar bagi
pemerintah menata kelautan. Tentu saja kita harus tetap kritis terhadap
ketentuan dan kesepakatan internasional yang sering mengorbankan dunia ketiga
seperti kita, di mana para nelayannya masih perlu perlindungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar