Selasa, 10 Juli 2012

Investasi Minus Keadilan

ARAH BARU PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Investasi Minus Keadilan
Laporan Diskusi Panel Ekonomi KOMPAS
KOMPAS, 10 Juli 2012


Investasi manusia sudah lama menjadi jargon pembangunan, terutama sejak amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mencantumkan alokasi dana pendidikan 20 persen dari anggaran pembangunan.

Sejak keputusan itu diambil oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2004, ada asa rakyat lebih mudah mengakses pendidikan berkualitas dengan murah dan mudah. Tujuannya jelas, Indonesia akan memiliki generasi muda kompeten dan berkeahlian tinggi dalam 10-15 tahun mendatang.

Namun, apa yang terjadi? Tujuh tahun dengan anggaran pendidikan berlimpah malah membuat sistem pendidikan seakan berjalan sendirian tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan dan kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja. Rakyat harus berjuang menghadapi kapitalisasi lembaga pendidikan yang memprioritaskan orang kaya.

Beberapa hari terakhir kita bisa menyaksikan, betapa lembaga-lembaga pendidikan mematok tarif jutaan hingga ratusan juta rupiah agar seseorang bisa belajar di sana. Bagaimana orang miskin—yang rata-rata memiliki lebih dari dua anak—menyekolahkan anak mereka dengan biaya jutaan rupiah? Janji pemerintah menyelenggarakan pendidikan dasar sembilan tahun gratis, tahun 2013 menjadi 12 tahun, masih sulit terwujud.

Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan makro tanpa memperhatikan keterkaitan dengan sektor riil membuat semakin banyak orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu kunci sukses membangun bangsa yang makmur dan sejahtera.

Penjajahan Bakal Terulang

Kondisi sistem pendidikan diperburuk dengan ketimpangan alokasi anggaran negara yang lebih banyak membiayai penyelenggara negara ketimbang membangun infrastruktur. Maka, kita membutuhkan arah baru pembangunan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Jumlah angkatan kerja per Februari 2012 menurut Badan Pusat Statistik mencapai 120,4 juta orang dengan jumlah pengangguran terbuka 7,6 juta orang (6,32 persen). Dari 112,8 juta orang yang bekerja, 55,5 juta orang (49,21 persen) di antaranya berpendidikan sekolah dasar atau lebih rendah. Jumlah pekerja lulusan diploma 3,1 juta orang (2,77 persen) dan universitas 7,2 juta orang (6,43 persen).

Rasio pekerja berpendidikan dasar ke bawah dan pekerja berpendidikan diploma ke atas sangat timpang. Kondisi ini pula yang membuat jumlah pekerja informal mencapai 70,7 juta orang (62,71 persen), sementara pekerja formal hanya 42,1 juta. Bagaimana membangun Sistem Jaminan Sosial Nasional jika sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal yang penuh ketidakpastian?

Tanpa perubahan cara pandang pembuat kebijakan dan akselerasi pembangunan pendidikan yang adil, rakyat Indonesia akan mengalami penjajahan ekonomi yang lebih parah lagi dibandingkan zaman kolonialisasi.

Bayangkan, Indonesia mengekspor bahan tambang bauksit 1 juta ton tahun 2004, naik menjadi 27 juta ton tahun 2010, dan melonjak menjadi 40 juta ton tahun 2011. Mengapa tidak diolah dulu sebelum diekspor?

Kondisi serupa terjadi pada perkebunan kelapa sawit. Indonesia produsen utama minyak kelapa sawit dengan produksi 22,5 juta ton tahun 2011 dari kebun seluas 8,9 juta hektar, yang 2 juta hektar di antaranya milik investor Malaysia. Kebijakan agroindustri yang lemah membuat Indonesia tak lebih sebagai pemasok bagi negara lain dengan mengekspor 19,3 juta ton minyak kelapa sawit. Lagi-lagi, tingkat pendidikan yang rendah membuat rakyat Indonesia lebih banyak menjadi buruh kasar ketimbang pekerja ahli.

Meredam Masalah Sosial

Kita harus memiliki konsep pembangunan yang inklusif dengan menempatkan investasi manusia sebagai pilar utama. Konsentrasi berlebihan pada kebijakan makro membuat pembangunan sektor riil seperti terlupakan. Rasio gini yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan Indonesia mencapai 0,41 tahun 2011, naik dari 0,38 tahun 2010. Ini patut menjadi perhatian serius pengambil kebijakan.

Apabila rasio gini melampaui 0,5, ketimpangan pendapatan di Indonesia sudah masuk kategori buruk dan bisa dengan mudah memicu masalah sosial. Salah satu kunci peredamnya adalah penyelenggaraan pendidikan berkualitas tanpa diskriminatif.

Akses pendidikan yang mahal dan sulit membuat sedikitnya 2,3 juta anak Indonesia berusia 10-14 tahun terpaksa menjadi pekerja. Tanpa perubahan paradigma pembangunan, jumlah anak yang terpaksa bekerja akan terus meningkat. Mereka terancam menjadi pekerja berkompetensi rendah yang membebani pasar kerja pada tahun 2020-2030 jika pemerintah tidak mengintervensi.

Hal-hal semacam ini akan membuat Indonesia gagal menikmati bonus demografi karena rasio pekerja informal masih sangat tinggi. Bonus demografi muncul tahun 2020-2030 ketika 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) hanya menanggung 44 orang tidak produktif yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Kenaikan jumlah kelompok menengah atau orang berpengeluaran 2-20 dollar AS per hari dari 81 juta orang pada 2003 menjadi 134 juta orang pada 2011 juga belum menjamin pertumbuhan Indonesia berkualitas. Pertumbuhan kelas menengah yang sebagian besar dipengaruhi konsumsi domestik tanpa peningkatan sektor manufaktur penyedia lapangan kerja juga riskan bagi kesinambungan ekonomi.

Bonus Demografi

Jepang adalah salah satu negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan pendapatan per kapita 17.475 dollar AS (Rp 164,2 juta) saat masa tersebut berakhir tahun 1970. Untuk Indonesia, ada dua prediksi pendapatan per kapita saat bonus demografi berakhir tahun 2030, yakni pendapatan per kapita 3.583 dollar AS (Rp 33,6 juta) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen dan pendapatan per kapita 7.000 dollar AS (Rp 65,8 juta) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata 10 persen.

Rakyat miskin harus bisa menyekolahkan anak mereka sehingga memenuhi standar kebutuhan pasar kerja. Pengusaha pun akan lebih mudah meningkatkan produktivitas karena mempekerjakan lulusan sekolah berkualitas dengan tingkat intelektualitas yang lebih adaptif terhadap teknologi.

Kita punya waktu 15 tahun lagi sebelum masa bonus demografi itu tiba. Tidak ada yang bisa menghadang waktu kecuali kita bekerja keras siang dan malam membangun dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar mereka menikmati masa keemasan 2020-2030 sebagai fondasi kejayaan masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar