Senin, 09 Juli 2012

Industri Gula Domestik Tidak Boleh Mati


Industri Gula Domestik Tidak Boleh Mati
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung,
Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
KOMPAS, 09 Juli 2012

Diskusi publik tentang ekonomi gula sepanjang tahun 2012 berkembang sangat tidak terarah dan tidak berkontribusi apa-apa terhadap perjalanan kebijakan gula nasional. 

Target besar untuk menghasilkan produksi gula 5,7 juta ton dan mencapai swasembada gula tahun 2014 sulit tercapai. Hampir semua sistem insentif yang dibangun dengan susah payah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas gula mungkin nyaris tidak mampu efektif. Persoalan governansi dalam aktivitas impor gula dan mekanisme distribusinya di dalam negeri, yang dapat berimplikasi pada kasus hukum, pasti memengaruhi kinerja sistem insentif produksi tersebut.

Fenomena industri gula rafinasi, yang sejak awal pendiriannya sering menimbulkan kontroversi, juga menjadi pekerjaan khusus bagi pemerintah dalam mewujudkan target-targetnya.

Pada Februari 2012, pemerintah melalui Menteri Pertanian mengakui terdapat penurunan produksi gula tebu tahun 2011 yang hanya mencapai 2,23 juta ton, atau terdapat penurunan 1,8 persen dibandingkan dengan produksi tahun 2010. Ketersediaan gula kristal putih diperkirakan di bawah 600.000 ton, kebutuhan gula diperkirakan 860.000 ton, sehingga kekurangannya akan dipenuhi melalui impor. Kementerian Perdagangan kemudian memberikan izin impor gula mentah sebesar 240.000 ton kepada badan usaha milik negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) (Kompas, 6 Juli 2012). Impor gula dapat dilakukan dalam bentuk gula putih yang siap dikonsumsi dan dalam bentuk gula mentah yang akan diproses lagi melalui teknologi pemutihan (refinery). Pemutihan gula ini juga dilakukan oleh industri gula rafinasi, yang sebenarnya memiliki target pemasaran khusus kepada industri makanan dan minuman. Impor gula putih dikenai bea masuk sampai 5 persen, sedangkan impor gula mentah dibebaskan dari pungutan bea masuk.

Di samping gula konsumsi, Indonesia juga memproduksi gula rafinasi yang tidak berasal dari tebu petani domestik, tetapi berasal dari gula mentah asal impor. Kehadiran industri gula rafinasi, yang berkembang semakin pesat sejak masa administrasi pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga disikapi mendua oleh pemerintah dan masyarakat. 

Produksi gula rafinasi meningkat sangat pesat, dari hanya 300.000 ton pada tahun 2004, menjadi 2,1 juta ton pada tahun 2011. Awalnya, gula rafinasi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman serta kontinuitas pasokan gula secara konsisten demi menjaga kelangsungan industri vital tersebut. Jika kinerja produksi gula-tebu domestik bermasalah, industri gula rafinasi berperan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan gula, plus tentu saja stabilitas harga gula di dalam negeri. Akan tetapi, jika produksi gula-tebu sedang baik, atau pada masa giling tebu pada pabrik gula, industri gula rafinasi sering menjadi ancaman serius. Dengan kapasitas birokrasi pemerintah seperti sekarang dan pengawasan yang lemah, tidak ada jaminan bahwa gula rafinasi tidak bocor ke pasar domestik dan memengaruhi pembentukan harga gula petani, dan tentu saja tingkat kesejahteraannya.

Mungkin saja, impor gula mentah sebesar 240.000 ton itu memang berdiri sendiri, yang merupakan upaya stabilisasi harga gula domestik sesuai dengan neraca penawaran-permintaan di atas. Pemerintah sangat khawatir terhadap lonjakan harga gula pada bulan-bulan kritis seperti Juli dan Agustus, yang kebetulan bersamaan dengan Ramadhan dan Idul Fitri, yang secara tradisional selalu mengalami lonjakan konsumsi gula. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian izin khusus kepada PT PPI itu merupakan bagian dari rencana impor gula mentah sebesar 1,8 juta ton pada tahun 2012 yang diberikan kepada delapan importir pabrik gula rafinasi.

Governansi dalam proses impor dan distribusi gula rafinasi akan terus menarik dan menjadi keingintahuan masyarakat karena kesalahan sedikit saja akan menjadi ancaman serius bagi masa depan industri gula domestik. Misalnya, industri gula rafinasi tidak hanya memiliki privilese bea masuk impor gula mentah seperti di atas, tetapi juga status sebagai importir produsen (IP)—yang diberikan kepada industri makanan dan minuman, termasuk yang milik asing. Industri gula rafinasi umumnya mensyaratkan impor gula dengan spesifikasi sangat khusus yang ditentukan perusahaan induknya di luar negeri. Kondisi tersebut dapat menciptakan sistem yang saling mengunci (interlocking system) yang sangat jauh dari akses petani kecil atau keberpihakan kebijakan yang mampu mencapai tujuan swasembada gula nasional.

Peta industri gula nasional seperti diuraikan di atas sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan kesalahan respons ekonomi, baik yang tidak sengaja, maupun yang disengaja, terhadap sinyal-sinyal kebijakan yang diberikan pemerintah.
Sebagai penutup, tiga dimensi penting dalam ekonomi gula: produksi, perdagangan, dan stabilisasi harga, dapat menjadi titik masuk untuk menyelamatkan industri gula domestik. 
Setidaknya, langkah-langkah yang diusulkan berikut ini dapat memperpanjang umur industri gula domestik, syukur jika dapat memperbaiki kinerja industri gula dan mencapai swasembada.

Pertama, perbaikan usaha tani tebu untuk meningkatkan produksi dan produktivitas mutlak harus dilakukan. Pemerintah perlu lebih fokus pada langkah nyata dalam peningkatan akses permodalan, informasi pasar bagi petani di tingkat bawah, terutama untuk pekerjaan besar, seperti bongkar ratoon.

Kedua, revisi ketentuan impor gula mentah dan kebijakan perdagangan agar lebih berorientasi kepentingan domestik untuk menunjang pencapaian swasembada gula domestik.

Ketiga, Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan Perum Bulog di tingkat pusat plus Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan jaringannya wajib secara sistematis menyusun dan melaksanakan kebijakan stabilisasi harga gula domestik, terutama pada masa-masa kritis dan pada siklus laju inflasi bulanan yang meningkat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar