Sabtu, 10 Juli 2021

 

Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Pasca-pandemi

Andrinof A Chaniago ;  Pengajar Ekonomi-politik dan Kebijakan Publik pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI

KOMPAS, 2 Juli 2021

 

 

                                                           

Setelah melewati tekanan dahsyat akibat pandemi Covid-19 di tahun pertama tahun 2020, sejumlah negara, termasuk Indonesia, saat ini sedang bergerak ke arah pemulihan.

 

Dengan menggunakan data-data terkini di masing-masing negara, termasuk data kecenderungan kebijakan di AS dan kawasan berpengaruh, lembaga-lembaga multilateral dan lembaga independen dengan reputasi global telah mengeluarkan proyeksi kemampuan masing-masing negara untuk pulih pada tahun 2021 ini dan tahun 2022.

 

Indonesia, setelah tahun lalu ekonomi nasional melorot drastis ke angka -2% pada tahun 2020, diperkirakan akan mampu tumbuh di kisaran 4,4%-4,5% pada tahun 2021 ini. Mengapa Indonesia diperkirakan hanya mampu tumbuh di angka tersebut sementara sejumlah negara akan tumbuh jauh lebih tinggi, telah mendapat penjelasan dengan paparan data-data kondisi terkini perekonomian Indonesia.

 

Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan cukup jauh di bawah capaian sejumlah negara di Asia (China, India dan Vietnam), Eropa (Perancis, UK, Spanyol) dan Amerika Utara (USA dan Kanada), tentu memerlukan penjelasan lebih dalam. Penjelasan lebih dalam itu makin diperlukan lagi apabila kita ingin melihat perkiraan pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang Indonesia dalam perbandingan dengan negara-negara yang pernah setara dan negara-negara yang pernah jauh kondisi ekonominya di bawah Indonesia.

 

Bersandar pada data historis dan komparatif antarnegara penting untuk meluruskan klaim bahwa ketahanan ekonomi Indonesia adalah kedua terbaik di negara G20, seperti yang mengemuka di awal tahun 2021 lalu. Klaim tadi juga sempat terdengar disambung dengan klaim rasa beruntung sebagai bukan negara dagang di pasar global dan punya pasar domestik yang besar, yang sebetulnya justru makin membahayakan.

 

Untunglah kedua klaim tadi kebetulan mereda sejak dilakukan pengkinian data oleh lembaga-lembaga tepercaya pada April 2020, yang menghasilkan data yang sedikit berbeda. Posisi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tidak masuk kategori negara-negara yang mengalami kontraksi besar. Namun, posisi Indonesia bergeser cukup signifikan.

 

Negara yang paling baik pertumbuhannya untuk tahun 2020 adalah Taiwan yang masih tumbuh positif 3,2%. Setelah itu di urutan kedua ditempati Vietnam yang tumbuh positif 2,9%, lalu diikuti China 2,3%. Berikutnya, di urutan keempat dan kelima diduduki Korea Selatan dan Selandia Baru yang angka pertumbuhannya sudah masuk kelompok negara dengan pertumbuhan minus namun dengan angka minus yang tidak besar. Korea Selatan dan Selandia Baru masing-masing tumbuh -1.0% dan -1,3% di tahun 2020. Posisi di bawah dari lima negara yang disebutkan di atas barulah ditempati oleh Indonesia.

 

Siapa kita?

 

Jika kita cermati data historis-struktural perekonomian Indonesia akan terlihat bahwa dalam 30 tahun terakhir Indonesia bukanlah China, bukan Vietnam, bukan India atau Korea Selatan. Jika data historis struktur ekonomi Indonesia itu digunakan untuk membuat proyeksi ke depan, gambaran ke depannya adalah sulit bagi Indonesia meraih pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan untuk jangka waktu dua puluhan tahun atau lebih, seperti yang diraih China, India dan Vietnam selama tiga dekade terakhir.

 

Perbedaan kemampuan Indonesia untuk pulih dalam jangka pendek dibanding empat negara Asia tadi adalah sinyal bahwa untuk jangka panjang bukan tidak mungkin Indonesia terus dalam perangkap pertumbuhan di bawah 5% per tahun.

 

Sinyal itu bisa diperdalam lewat dua hal, yakni pertumbuhan porsi penguasaan pasar, dan daya saing komoditas dan jasa yang dijual ke pasar dalam maupun luar negeri. Tanpa kemajuan progresif dalam mendapatkan porsi pasar global dengan komoditas-komoditas bernilai tambah, maka sandaran Indonesia hanyalah faktor-faktor alamiah seperti jumlah penduduk yang besar sebagai pasar, kekayaan alam dan posisi geografis.

 

Tetapi, dengan sandaran itu, ekonomi Indonesia maksimal hanya akan tumbuh di kisaran 5% per tahun, ditambah kerentanan untuk mengalami kontraksi bila krisis datang lagi melanda Indonesia. Pertumbuhan rata-rata di kisaran 5% di masa normal, lalu didatangi krisis sekali saja dalam kurun waktu 20 tahun, itulah yang membuat ekonomi Indonesia untuk jangka panjang hanya akan tumbuh rata-rata di bawah 5% per tahun.

 

Berkaca pada data historis yang disertai perbandingan beberapa negara yang relevan seharusnya membuat kita sadar bahwa Indonesia lemah dalam strategi dan kontrol strategi kebijakan ekonomi jangka panjang yang menghasilkan surplus produksi untuk barang-barang bernilai tambah tinggi, baik untuk mengamankan pasar domestik maupun menguasai pangsa pasar global dalam porsi signifikan. Makin tingginya impor barang-barang konsumsi dan porsi penguasaan pasar ekspor Indonesia yang belum pernah menembus 1% terhadap total pasar dunia adalah juga data untuk bercermin.

 

Itulah jalan yang dilewati negara-negara Eropa dan Amerika Utara, kemudian Jepang, dan negara-negara Asia Timur, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong. Kesemua negara-negara Asia Timur ini adalah negara-negara yang miskin sumber daya alam. Dengan produk-produk bermuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, negara-negara itu mencapai pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi untuk jangka waktu dua dekade penuh atau lebih.

 

Meskipun Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan China untuk faktor politik, langkah-langkah teknokratik China telah menjadi contoh terbaik dalam 40 tahun terakhir. Pasca kejayaan Jepang dan empat kekuatan ekonomi Asia Timur yakni Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, China masuk ke gelanggang dengan pergerakan superspektakuler, atau melebihi pergerakan yang pernah diraih Jepang dan empat kekuatan ekonomi Asia Timur sebelumnya.

 

Pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahunnya dalam kurun waktu 1980 – 2020 sebesar 9,5%! Pangsa pasar globalnya tumbuh dari 1,19% tahun 1990 menjadi 11% di tahun 2018. Saat ini, China menjadi negara dengan cadangan devisa terkuat di dunia.

 

Tetapi, mengiringi langkah China, sebetulnya ada dua negara yang melakukan pergerakan yang sama dan patut menjadi tempat bercermin bagi Indonesia, yakni Vietnam dan India. Pergerakan dua negara terakhir ini memang tidak sespektakuler China. Tetapi capaian angka pertumbuhan ekonomi keduanya sangat spektakuler.

 

India dalam kurun waktu 1998-2020 meraih pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,15% per tahun. Di pasar global, produk ekspor India sudah meraih pangsa pasar 2,2% di tahun 2018, dibanding masih 0.55% di tahun 1990. Sementara Vietnam terhitung sejak tahun 1998 hingga tahun 2020 kemarin, pertumbuhan ekonominya rata-rata per tahun mencapai 6,22%, atau untuk tingkat dunia, Vietnam berada pada posisi kedua setelah China. Sebagai bahan untuk bercermin, pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia per tahun selama 1998-2018 hanyalah 4,18%.

 

Jika beberapa lembaga kredibel memprediksi ekonomi Vietnam akan kembali tumbuh dengan angka 7% di tahun 2021 ini, seperti di tahun sebelum pandemik Covid-19, dan India diprediksi akan tumbuh positif 8% di tahun 2021 dengan tahun anggaran yang disesuaikan, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya akan tumbuh sekitar 4,5%? Di sinilah kita perlu melihat sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia secara struktural untuk dibandingkan dengan China, Vietnam dan India.

 

Apa yang membuat tiga negara, China, India dan Vietnam yang hingga tahun 1990 pendapatan per kapitanya masih jauh di bawah Indonesia tetapi tampil dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang tertinggi di dunia selama tiga dekade tidak lain adalah karena keberhasilan mereka meletakkan fondasi ekonomi, lalu membangun dan menjaga struktur ekonomi mereka yang berorientasi jangka panjang.

 

Perkembangan pertumbuhan pangsa pasar dan kualitas komoditas India dan Vietnam di pasar global cukup untuk membuat Indonesia bercermin bahwa Indonesia memang makin tertinggal. Dua dekade terakhir, India dan Vietnam melangkah pasti memperbesar pangsa pasar globalnya. Tahun 1990 India dan Vietnam masing-masing hanya punya pangsa 0,55% dan 0,06%. Kini (data ekspor 2018), India sudah punya lebih dari 2,2% dan Vietnam 1.00%.

 

Pertumbuhan pangsa pasar kedua negara ini juga diiringi dengan perubahan struktur komoditas ekspor dari didominasi komoditas primer ke komoditas produksi industri. Nilai ekspor peralatan mesin elektronik Vietnam, misalnya, melonjak dari US$ 7 miliar tahun 2010 ke US$ 132 miliar di tahun 2019! Angka ini belum termasuk ekspor mesin lainnya di kelompok IT dan komputer yang nilainya mencapai US$ 17,5 miliar pada tahun 2019.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Selain prestasi pangsa pasar ekspor Indonesia belum pernah tembus ke angka 1% terhadap total ekspor dunia, dari segi komoditas ekspor Indonesia pun masih bertahan di sektor primer seperti hasil pertanian dan pertambangan yang menurunkan daya dukung lingkungan sekaligus mengurangi harta negara atau deposit sumber daya alam.

 

Nilai ekspor barang mesin dan peralatan elektronik Indonesia tahun 2019 hanya US$ 8,5 miliar. Sedangkan untuk barang mesin yang berhubungan dengan komputer pada tahun 2019 hanya US$ 5,4 miliar. Mari bandingkan dengan Vietnam yang ekspor barang mesin dan peralatan elektroniknya di tahun 2019 sudah mencapai US$ 132,2 miliar dan barang mesin yang berhubungan dengan komputernya mencapai US$ 17,7 miliar.

 

Sementara India, walau masih jauh di bawah Vietnam, ekspor barang mesin elektronika dan mesin komputer India cukup jauh meninggalkan Indonesia. Masing-masing nilai ekspor India dari kedua komoditas tadi adalah US$ 21,2 dan US$ 14,7 miliar. Namun, selain pangsa ekspor dunianya India dua kali lipat dari Vietnam, komoditas ekspor India sudah didominasi oleh barang-barang industri yang bernilai tambah, seperti kendaraan, produk baja, produk-produk kimia dan farmasi, ditambah dengan komoditas ekspor industri kecil dan rumah tangga seperti pakaian dan perhiasan.

 

Berdasarkan data empiris di atas, munculnya pikiran agar Indonesia ke depan perlu fokus kepada pasar dalam negeri saja sangat berpotensi membuat Indonesia terus berada dalam perangkap pertumbuhan jangka panjang rata-rata di bawah 5% per tahun. Sementara, untuk mengurangi ketertinggalan dari China dan menghindari disusul dan dilampaui oleh Vietnam dalam pendapatan per kapita, Indonesia perlu meraih pertumbuhan rata-rata 6% per tahun untuk dua dekade.

 

Untuk meraih itu, langkah yang benar tentulah kembali kepada kesadaran untuk menaikkan kembali sumbangan sektor manufaktur ke angka di atas 20% terhadap PDB, dan menggenjot produksi produk-produk bernilai tambah guna mengisi pasar dalam dan merebut pasar luar negeri, seperti yang sudah terbukti dilakukan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, India dan Vietnam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar