Urgensi
Memperluas Akses PAUD
Tatang Muttaqin ; Penekun Kajian Pendidikan di The
Inter-university Center
for Social Science Theory and Methodology (ICS),
The Netherlands
|
MEDIA INDONESIA, 01 Juni 2015
DALAM momen Gebyar PAUD 2015 di Jakarta, 19/3/2015,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies R Baswedan mengungkapkan penting dan
gentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD), karena itu berperan strategis
dalam mengembangkan potensi anak pada masa emas yang akan menjadi penentu
masa depan bangsa. Pandangan serius dari Mendikbud tersebut selaras dengan
data yang dikumpulkan Rauch Foundation
yang menyimpulkan bahwa sekitar 85% pertumbuhan otak manusia sebagai
episentrum derap langkah manusia terjadi pada usia 0 sampai 5 tahun.
Hal ini juga sejalan dengan pandangan peraih
hadiah Nobel bidang ekonomi, James J Heckman (2000) menyatakan bahwa PAUD
paling strategis dalam upaya membangun kualitas sumber daya manusia, karena
akan mampu menyiapkan sebagian besar generasi baru yang berkualitas yang akan
mampu menjadi eskalator untuk meraih gerbang keberhasilan dalam kehidupan
sosial ataupun ekonomi.Studi Heckman dkk (2010) menegaskan bahwa setiap US$1
investasi untuk PAUD, dalam jangka panjang akan mampu menghemat US$7 dengan
cara mengurangi biaya mengulang sekolah, kriminalitas, dan biaya sosial
lainnya. Jika diselisik pada muatan utama PAUD yang mencakup pengembangan,
yakni (1) bahasa dan wicara (Hoff & Shatz 2007), (2) kognisi (Goswami,
2010), serta (3) sosial dan emosi (Dunn 2004).
Dalam praktik yang paling sederhana, misalnya
sejak dini, anak belajar hidup sehat dengan makanan yang bergizi, dia akan
hidup sehat sepanjang masa. Secara masif itu berdampak pada menurunnya risiko
kesakitan yang mampu menekan biaya pengeluaran kesehatan. Jadi, dalam jangka
panjang, PAUD akan mampu merestorasi potret masyarakat di masa depan.
Selanjutnya, Heckman (2012) juga menunjukkan bahwa dampak PAUD lebih kuat
efektivitasnya untuk anak dari keluarga yang kurang beruntung, karena mampu
mengompensasi keterbatasan pengasuhan orangtua. Dari sinilah upaya percepatan
perluasan akses PAUD menjadi tak bisa ditawar.
Di Indonesia, seiring dibentuknya struktur
Direktorat PAUD, sejak 2001, upaya untuk memperluas pengenalan PAUD mulai
bergema yang kemudian dikukuhkan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Kesungguhan tersebut telah membuahkan hasil yang cukup
menggembirakan dengan adanya peningkatan partisipasi PAUD dari sekitar 25%
pada 2002 menjadi 35% pada 2006 dan hampir mencakup 50% pada 2012 (World Development Indicators, 2015).
Menurut laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015, angka partisipasi
PAUD telah mencapai 70% yang menegaskan bahwa sepertiga anak usia dini belum
sempat menikmati PAUD.
Memutus awal
kesenjangan pendidikan
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh
Hasan, Hyson, dan Chang (2013) menguatkan fakta efektivitas PAUD dalam
meningkatkan kapasitas dan kesiapan anak untuk mema suki jenjang pendidikan
dasar. Kajian tersebut mendedahkan perbedaan rerata capaian anak yang
mengikuti dan tidak mengikuti PAUD yang diukur dengan Early Development Instrument (EDI) dengan
rerata masing-masing 0.21 berban ding 0.15 untuk permainan berbasis kartu dan
4.01 berbanding 3.14 untuk pengembangan bahasa-kognisi.
Ditilik dari aspek kesiapan bersekolah, kajian
Pandia dkk (2012) menunjukkan bahwa anak yang mengikuti PAUD formal (TK atau
RA) yang siap bersekolah mencapai 69.6% dan yang mengikuti PAUD nonformal
(PAUD, Posyandu, TPQ, dan TB) berkisar 56%, sedangkan anak yang tidak
mengikuti PAUD yang memiliki kesiapan sekolah hanya mencapai 36.1%.
Perbedaan kesiapan anak untuk mengikuti
jenjang pendidikan dasar akan
berpengaruh pada keragaman dalam penyerapan
pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar, sehingga anak-anak yang tidak
sempat menikmati PAUD yang umumnya dari keluarga berpendapatan rendah akan
memiliki rerata nilai kelulusan yang lebih rendah. Rendahnya rerata skor
tersebut akan berdampak pada terbatasnya daya saing lulusan SD dari keluarga
tidak mampu, yang semakin diperparah dengan sistem seleksi masuk SMPMTs
sangat mempertimbangkan nilai kelulusan. Siswa yang kurang mampu yang
memiliki rerata skor kelulusan rendah tak akan tertampung di sekolah negeri
yang berkualitas dan terjangkau.
Alternatif yang tersedia ialah masuk ke
SMP-MTs swasta yang terjangkau dengan kualitas ala kadarnya, sehingga
melahirkan ironi, siswa dari keluarga kurang mampu menikmati SMP-MTs dengan
biaya lebih besar, tetapi dengan kualitas yang lebih rendah dibanding teman
sebayanya yang diterima di SMPMTs Negeri dengan rerata kualitas lebih baik
dan biaya yang relatif lebih murah.
Jika dilanjutkan, kesenjangan ini akan terus
bertemali menjadi lingkaran setan kemiskinan dan keterbatasan kualitas
pendidikan yang semakin mengukuhkan sekolah sebagai institusi segregasi
sosial yang diterima dan paling efektif yang tentu bersebrangan dengan salah
satu tujuan pendidikan untuk mengentaskan jeratan kemiskinan. Di sinilah
perluasan akses PAUD, terutama untuk anak dari keluarga mampu menjadi sangat
penting. Untuk meningkatkan akses PAUD dibutuhkan investasi yang sangat
besar.
Selama ini, peran masyarakat dan swasta lebih
besar yang ditunjukkan sekitar 95% layanan PAUD dilakukan masyarakat,
sehingga masyarakat yang kurang beruntung akan kesulitan untuk melakukannya
secara mandiri. Di sisi lain, sumber daya pemerintah juga sangat terbatas.
Salah satu pilihan pragmatis yang layak
dipertimbangkan ialah dengan mengintegrasi PAUD. Dalam hal ini, pendidikan
prasekolah dengan SD-MI, untuk desa-desa yang belum tersedia sama sekali
layanan PAUD. Berbeda dengan PAUD, cakupan SD-MI sudah merata hampir ada di
setiap desa dan kelurahan, sehingga dapat dijangkau hampir semua masyarakat.
Pilihan ini juga pernah dilakukan di banyak negara maju dengan memperpanjang
lama pendidikan dasar. Sebagai contoh, Belanda membagi pendidikan dasar
menjadi delapan kelas dari usia 4-5 tahun sampai usia 11-12 tahun. Tentu saja
perpanjangan lama pendidikan dasar ini dipersiapkan secara bertahap de ngan
fokus di desa yang belum terjangkau layanan PAUD.
Untuk menjamin keselarasan dengan masa
perkembangan psikologis anak, substansi dan isi pembelajaran kelas 1 dan 2
sama seperti pendidikan prasekolah dengan menekankan pada pengembangan bahasa
dan wicara serta kognisi, sosial, dan emosi tanpa ada baca tulis dan
berhitung (calistung). Format kelas
1-2 juga dilakukan secara lebih fleksibel disatukan dalam satu ruang kelas
dengan guru yang lebih senior dan memiliki pengalaman serta kemampuan dalam
mendampingi anak-anak usia dini.
Pilihan pragmatis ini
di samping terjangkau dan dapat dieksekusi juga tidak hanya mampu menekan
kesenjangan akses PAUD dengan menjangkau yang selama ini tak terjangkau, juga
mampu mengurangi kesenjangan kualitas dengan ketersediaan sarana dan
prasarana serta guru di SD-MI. Jika pilihan ini dilakukan, diharapkan harapan
adanya percepatan akses PAUD akan segera terlaksana. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar