Perspektif Budaya Islam Nusantara
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
(ISNU)
|
KORAN SINDO, 27 Juni 2015
Di Indonesia upaya
menjaga keramahan Islam terjaga berkat upaya pilar-pilar Islam yang tumbuh
dan berkembang dengan baik. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi
Islam dan pondok pesantren yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus
berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam Nusantara. Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW pada abad ke-6 M menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar
biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan
gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Islam masuk ke Indonesia yang dulu dikenal sebagai
Nusantara, sejak pertengahan abad ke-7 Masehi, sezaman dengan era Khalifah
Utsman bin Affan. Semangat penyebaran Islam dipicu oleh Hadits Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi, “Sampaikan apa yang ada dari aku sekalipun satu ayat
(balighu ani walau ayatan)”.
Sejarah mencatat, yang
paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, yang
sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam
(Wheatley, 1961). Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Tidak
ada catatan sejarah yang menuliskan bahwa Islam masuk ke bangsa kita melalui
jalan darah.
Islam mengetuk pintu
Nusantara melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan
tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses
cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Menguatnya istilah “Islam
Nusantara” dewasa ini mengingatkan kita pada wacana “Pribumisasi Islam” yang
pernah dilontarkan Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid beberapa dekade lalu.
Islam pribumi
sesungguhnya berakar pada semangat yang telah diajarkan oleh Wali Songo dalam
dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad 15 dan 16 di Pulau Jawa. Dalam
hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai-nilai lokal dalam Islam
yang khas keindonesiaannya.
Penghargaan Budaya
Kreativitas Wali Songo
ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam yang tidak saklek meniru Islam
di Arab. Tidak ada nalar Arabisme yang melekat dalam penyebaran Islam awal di
Nusantara. Penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan pribumi adalah kunci
keberhasilan jalan masuk Islam secara massal terbuka dalam masa relatif
singkat.
Misalnya yang
dilakukan Sunan Bonang dengan menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yangmendorongkecintaanpada
kehidupan transendental. “Tombo Ati“ adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Begitu pula yang dilakukan Sunan Kalijaga yang memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh apabila diserang
pendiriannya lewat purifikasi. Mereka harus didekati secara bertahap,
mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan, jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Ia menggunakan seni
ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Dialah pencipta Baju
Takwa, Perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Profil pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua
beringin serta pari diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu Buddha.
Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus.
Bentuk menara,
gerbang, dan pancuran atau padusan wudu yang melambangkan delapan jalan
Buddha adalah sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Itulah yang
dilakukan Wali Songo dalam dakwah Islam ke Nusantara.
Dengan tidak melakukan
purifikasi ajaran secara moral, melainkan melakukan adaptasi atau penyesuaian
terhadap kondisi sosiobudaya masyarakat setempat sehingga masyarakat tidak
melakukan aksi perlawanan atau penolakan terhadap ajaran baru yang masuk.
Dengan demikian, Islam
pribumi sebagai bagian dari pertarungan wacana merupakan kelanjutan dari
gagasan-gagasan sebelumnya dengan semangat dan tantangan yang sama. Tantangan
yang dihadapi Islam pribumi adalah universalisasi Islam dalam segala
bentuknya yang mengarah pada Arabisme Islam.
Islam Nusantara
Pada abad ke-20 ini,
muncul paham-paham Islam fundamental dan radikal yang mencoreng keramahan
Islam. Islam mengajarkan dakwah dengan cara kelembutan dan cara-cara yang
baik, bukan dengan ancaman maupun kekerasan.
Hal ini sangat
diametral, mengingat Islam merupakan rahmatan lil rahmatan lil alamin. Jika
paham tersebut terus terpelihara, sangat mungkin akan menghancurkan persatuan
umat Islam, bahkan melahirkan stigma negatif terhadap Islam.
Hanya karena
kepentingan kelompok, mereka rela melakukan kekerasan dan pemaksaan atas nama
Islam. Dampaknya akan sangat berimbas pada umat muslim yang tinggal di
wilayah minoritas. Mereka akan mendapat perlakuan diskriminasi dan
tersudutkan di pojok-pojok kehidupan.
Di Indonesia upaya
menjaga keramahan Islam terjaga berkat upaya pilar-pilar Islam yang tumbuh
dan berkembang dengan baik. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi
Islam dan pondok pesantren yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus
berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam Nusantara.
Organisasi-organisasi
ini memiliki akar jamaah kuat di lapisan masyarakat, yang secara sosiologis
berbeda satu sama lain. Di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul
Wathan, dan lainnya. Ormas dan ponpes adalah bagian dari peradaban dan
kekayaan intelektual Islam Indonesia.
Sementara itu, pondok
pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang
sudah cukup tua. Selain lembaga pendidikan, pesantren juga disebut sebagai
lembaga kebudayaan. Pesantren hingga kini menjadi bagian penting bagi
kehidupan masyarakat Indonesia.
Pesantren merupakan
ruang bagi para kiai/ ulama untuk mewariskan ilmu pengetahuan, melestarikan
ajaran, tradisi, dan pengaruhnya ke masyarakat melalui cara yang sangat khas.
Kehadiran ormas dan pesantren, ditambah dengan kekayaan budaya, membuat
nilai-nilai Islam masuk melebur menjadi satu kesatuan dan semangat kebangsaan
yang kuat.
Melalui khasanah adat
istiadatnya, Indonesia mampu menjadi sebuah negeri yang plural, namun tetap
menyatukan keragaman budaya dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila
sebagai dasar negara mampu meleburkan sektesekte primordial menjadi semangat
kesatuan.
Akulturasi Islam dan
budaya lokal melahirkan Islam Nusantara yang ideal, berkarakter dan
terorganisasi dengan baik. Islam Indonesia bersifat plural, moderat, toleran,
dan menebarkan perdamaian bagi semuagolongan. Bisadikatakan, Nusantara
merupakan tempat pertemuan dua perspektif Islam.
Indonesia yang
multikultural menjadi filter dalam masuknya perspektif Islam dari Barat dan
Timur Tengah. Dari semua itu patutnya kita sepakat bahwa Islam Nusantara
adalah Islam yang ideal untuk dijadikan muara keislaman di dunia. Maka, dalam
hal ini pemerintah dan semua pihak harus mempunyai kepekaan di dalam menebar
Islam Nusantara dengan cara-cara kebajikan sekaligus menjunjung tinggi nilai
budaya dan tradisi.
Menjaga kearifan lokal
asli Nusantara merupakan perwujudan sikap nasionalisme kepada negara Indonesia.
Dengan perpaduan nasionalisme dan keramahan Islam, Indonesia mampu menggapai
puncak kejayaannya. Insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar