Perlambatan Ekonomi dan Kinerja Pemerintahan
Defiyan Cori ; Pengamat Ekonomi;
Ketua
Umum Forum Ekonom Muda Indonesia (FEMI)
|
KORAN SINDO, 27 Juni 2015
Pendekatan evaluasi
kinerja sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme yang saat ini digunakan banyak
negara mengharuskan dan tidak dapat dielakkan bahwa ekonomi makro harus
didasarkan pada pertumbuhan ekonomi (growth).
Dengan logika itu
pulalah, kinerja perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo dapat
diperbandingkan. Dilihat dari capaian pertumbuhan ekonomi berdasar data BPS
pada kuartal I 2015 (Januari- Maret) sebesar 4,71%, terjadi penurunan 0,33%
dari tahun lalu (2014) yang mencapai sebesar 5,14%.
Perlambatan ekonomi
ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan kontribusi sektor konsumsi dalam
memberikan sumbangan (kontribusi) terbesar atas pertumbuhan ekonomi Indonesia
yaitu sampai 55% lebih. Lalu, terbesar kedua adalah sektor investasi yaitu
28%. Pada kuartal I 2015 ini pertumbuhan konsumsi rumah tangga turun yaitu
hanya mencapai 2,75% dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 2,93% atau turun
sebesar 0,18%.
Di sektor yang lain,
penurunan juga terjadi. Di sektor perdagangan misalnya ekspor Indonesia pada
kuartal I 2015 hanya mencapai USD39,13 miliar atau menurun 11,67% dibanding
2014. Sedangkan ekspor nonmigas terjadi penurunan pada kuartal I 2015 ini
sebesar 8,23% atau hanya mencapai USD33,43 miliar dibanding kuartal I 2014
yang mencapai USD36,18 miliar.
Penjualan kendaraan
bermotor yaitu motor dan mobil pada kuartal I 2015 ini juga menurun,
masingmasing sebesar 16% dan 19%. Di sektor keuangan dan perbankan, ekspansi
kredit pada kuartal I 2015 ini hanya mencapai 11%, jauh dari rencana sasaran
ekspansi yang menjadi sasaran yaitu 15-17%.
Dengan membandingkan
kondisi ekonomi 2005, 2010, dan 2015, terutama capaian pertumbuhan ekonomi
pada triwulan yang sama (triwulan I) dan masing-masing berada pada masa awal
pemerintahannya, yang dicapai pada masa Presiden Joko Widodo lebih rendah.
Dengan kondisi relatif
sama, ada perbedaan capaian pertumbuhan ekonomi pada masa awal kedua Presiden
baru memerintah dan telah bekerja selama enam bulan yaitu sebesar 1,64% lebih
tinggi capaian Presiden SBY dibandingkan dengan Presiden Jokowi.
Tantangan Presiden
Terkait dengan sektor
keuangan, tingginya suku bunga membuat terhambatnya kinerja para pengusaha
dalam melakukan kegiatan operasional usahanya, terlebih bagi pengusaha yang
memiliki utang yang cukup besar.
Maka itu, jatuh tempo
kewajiban pembayaran atas cicilan pokok dan bunga pinjaman yang harus segera
dipenuhi dengan melambatnya perekonomian dan rendahnya daya beli konsumen
atas produk-produk tertentu akan berimbas pada penjualan dan laba yang
diperoleh perusahaan.
Semakin kecil hasil
produksi yang bisa terjual, akan semakin rendah penjualan produk perusahaan
yang akan mengakibatkan tertekannya likuiditas perusahaan untuk membayar
kewajiban pada karyawan maupun pihak ketiga. Dengan pihak perbankan, tentu
dalam jangka panjang akan terjadi penumpukan kewajiban atas utang yang
akhirnya macet dan menimbulkan permasalahan baru.
Sebab itu, harus ada
kebijakan penurunan suku bunga acuan kredit perbankan agar para pengusaha
dapat lebih leluasa, ditambah ada penjadwalan ulang atas kewajiban utang.
Tentu saja ini diikuti oleh pengawasan atas operasi perbankan yang selama ini
mungkin tidak dijalankan secara konsisten sehingga saat ekonomi memburuk
tidak ada sistem peringatan dini (early warning system) yang memadai.
Inflasi pada Mei 2015
sesuai data BPS sudah mencapai 7,15% dibandingkan dengan bulan sebelumnya
yang hanya berkisar 5-6% sudah sangat mengkhawatirkan. Jelas pada
permasalahan inflasi ini harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi sudah tidak
bisa dikendalikan oleh otoritas yang berwenang.
Sudah mendesak bagi
pemerintah untuk segera menyiapkan skema penyelamatan industri dan sumber
daya manusia yang bergantung pada sektor-sektor yang terkena imbas
perlambatan ini. Perlambatan ekonomi lainnya juga bersumber dari kelambanan
pemerintah dalam mengeluarkan (eksekusi) APBN untuk proyek-proyek pembangunan
yang telah direncanakan.
Ini terjadi karena ada
perubahan nomenklatur pada beberapa kementerian sehingga pencairan anggaran
tidak bisa segera dilakukan karena tidak ada pejabat definitif yang
berwenang. Seharusnya ini tidak perlu terjadi seandainya dahulu tim transisi
mampu membaca tantangan perubahan nomenklatur ini. Efektivitas pemerintahan
baru jelas akan terganggu karena permasalahan nomenklatur itu terkait
birokrasi dan administrasi keuangan negara.
Alangkah bijaksana
apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo menggunakan nomenklatur
pemerintahan Presiden SBY dulu sehingga pencairan anggaran lebih cepat. Jika
ingin tetap melakukan perubahan nomenklatur, dapat dipersiapkan secara
administratif paling lama dua tahun sehingga pemerintahan betul-betul bekerja
dan mempersiapkan konsekuensi administratif dan politisnya.
Apalagi, akhirnya
tidak ada pengurangan jumlah kementerian/ lembaga yang dibentuk Presiden Joko
Widodo yang awalnya hanya akan membuat 24 sampai 30 kementerian. Menggunakan
data perbandingan kinerja pada masa awal pemerintahan kedua presiden tersebut
dan tingkat inflasi Januari- Mei 2015, secara logis dapat dipastikan bahwa
kinerja para menteri (pembantu Presiden) di bidang ekonomi sangat lamban dan
tidak padu.
Kelemahan dan
ketidakpaduan jika mengacu pada data sektoral tersebut, yang sekaligus
membuat dampak ekonomi melambat adalah terdapat pada sektor pertanian,
keuangan dan perbankan (termasuk Bank Indonesia dan OJK), perdagangan,
perindustrian, energi dan sumber daya mineral (ESDM), BUMN, dan
ketenagakerjaan.
Tim ekonomi di sektor
inilah pada masa Presiden SBY yang mampu menggerakkan roda perekonomian
bangsa sehingga pertumbuhan ekonomi dicapai 6,35% pasca enam tahun reformasi
bergulir dan proses demokrasi serta stabilitas politik relatif belum berjalan
baik dan lancar. Apabila pembenahan di bidang ekonomi (terutama tim ekonomi
Presiden) tidak segera dilakukan, perlambatan ekonomi akan tetap berlangsung
sampai Juni 2015.
Apalagi, pelaksanaan
proyek-proyek infrastruktur dan hasil-hasil pertanian akan sangat bergantung
dengan situasi dan kondisi lapangan serta keadaan cuaca dan iklim yang
anomali. Sebaiknya pemerintah mulai menyiapkan segala hal yang berkaitan
dengan proses pencairan dana APBN agar tingkat daya beli masyarakat dapat
didorong melalui program-program pembangunan pemerintah sehingga lapangan
kerja semakin terbuka.
Perhatian dan
kemudahan akses bagi kelompok usaha kecil, menengah, dan koperasi pada
permodalan harus segera dilakukan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap
kelompok UKM dan koperasi menjadi keniscayaan karena pengalaman krisis
ekonomi 1998 dan 2008 membuktikan bahwa kelompok inilah yang tangguh dan
menjadi penopang ekonomi bangsa. Apalagi, itu visi dan misi Presiden yang
tertuang dalam Nawacita, khususnya dalam aspek kemandirian ekonomi bangsa.
Karena itu, apabila
pemerintahan Presiden Joko Widodo ini merupakan pemerintahan yang berkomitmen
pada janji kampanyenya serta untuk menegakkan ideologi Pancasila dan
konstitusi negara dengan lebih baik dan konsekuen, operasionalisasi dari
Nawacita itu harus tampak dalam program dan kegiatan prokonstitusi, terutama
Pasal 33 UUD 1945 pada Kementerian dan lembaga terkait.
Tantangannya adalah
pada koordinasi lintas sektoral atas implementasi perencanaan pembangunan
yang telah disusun dalam RPJMN 2015-2020. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar