Minggu, 28 Juni 2015

Perlambatan Ekonomi dan Kinerja Pemerintahan

Perlambatan Ekonomi dan Kinerja Pemerintahan

  Defiyan Cori  ;   Pengamat Ekonomi;
Ketua Umum Forum Ekonom Muda Indonesia (FEMI)
KORAN SINDO, 27 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pendekatan evaluasi kinerja sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme yang saat ini digunakan banyak negara mengharuskan dan tidak dapat dielakkan bahwa ekonomi makro harus didasarkan pada pertumbuhan ekonomi (growth).

Dengan logika itu pulalah, kinerja perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Presiden Joko Widodo dapat diperbandingkan. Dilihat dari capaian pertumbuhan ekonomi berdasar data BPS pada kuartal I 2015 (Januari- Maret) sebesar 4,71%, terjadi penurunan 0,33% dari tahun lalu (2014) yang mencapai sebesar 5,14%.

Perlambatan ekonomi ini lebih banyak disebabkan oleh penurunan kontribusi sektor konsumsi dalam memberikan sumbangan (kontribusi) terbesar atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu sampai 55% lebih. Lalu, terbesar kedua adalah sektor investasi yaitu 28%. Pada kuartal I 2015 ini pertumbuhan konsumsi rumah tangga turun yaitu hanya mencapai 2,75% dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 2,93% atau turun sebesar 0,18%.

Di sektor yang lain, penurunan juga terjadi. Di sektor perdagangan misalnya ekspor Indonesia pada kuartal I 2015 hanya mencapai USD39,13 miliar atau menurun 11,67% dibanding 2014. Sedangkan ekspor nonmigas terjadi penurunan pada kuartal I 2015 ini sebesar 8,23% atau hanya mencapai USD33,43 miliar dibanding kuartal I 2014 yang mencapai USD36,18 miliar.

Penjualan kendaraan bermotor yaitu motor dan mobil pada kuartal I 2015 ini juga menurun, masingmasing sebesar 16% dan 19%. Di sektor keuangan dan perbankan, ekspansi kredit pada kuartal I 2015 ini hanya mencapai 11%, jauh dari rencana sasaran ekspansi yang menjadi sasaran yaitu 15-17%.

Dengan membandingkan kondisi ekonomi 2005, 2010, dan 2015, terutama capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan yang sama (triwulan I) dan masing-masing berada pada masa awal pemerintahannya, yang dicapai pada masa Presiden Joko Widodo lebih rendah.

Dengan kondisi relatif sama, ada perbedaan capaian pertumbuhan ekonomi pada masa awal kedua Presiden baru memerintah dan telah bekerja selama enam bulan yaitu sebesar 1,64% lebih tinggi capaian Presiden SBY dibandingkan dengan Presiden Jokowi.

Tantangan Presiden

Terkait dengan sektor keuangan, tingginya suku bunga membuat terhambatnya kinerja para pengusaha dalam melakukan kegiatan operasional usahanya, terlebih bagi pengusaha yang memiliki utang yang cukup besar.

Maka itu, jatuh tempo kewajiban pembayaran atas cicilan pokok dan bunga pinjaman yang harus segera dipenuhi dengan melambatnya perekonomian dan rendahnya daya beli konsumen atas produk-produk tertentu akan berimbas pada penjualan dan laba yang diperoleh perusahaan.

Semakin kecil hasil produksi yang bisa terjual, akan semakin rendah penjualan produk perusahaan yang akan mengakibatkan tertekannya likuiditas perusahaan untuk membayar kewajiban pada karyawan maupun pihak ketiga. Dengan pihak perbankan, tentu dalam jangka panjang akan terjadi penumpukan kewajiban atas utang yang akhirnya macet dan menimbulkan permasalahan baru.

Sebab itu, harus ada kebijakan penurunan suku bunga acuan kredit perbankan agar para pengusaha dapat lebih leluasa, ditambah ada penjadwalan ulang atas kewajiban utang. Tentu saja ini diikuti oleh pengawasan atas operasi perbankan yang selama ini mungkin tidak dijalankan secara konsisten sehingga saat ekonomi memburuk tidak ada sistem peringatan dini (early warning system) yang memadai.

Inflasi pada Mei 2015 sesuai data BPS sudah mencapai 7,15% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya berkisar 5-6% sudah sangat mengkhawatirkan. Jelas pada permasalahan inflasi ini harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi sudah tidak bisa dikendalikan oleh otoritas yang berwenang.

Sudah mendesak bagi pemerintah untuk segera menyiapkan skema penyelamatan industri dan sumber daya manusia yang bergantung pada sektor-sektor yang terkena imbas perlambatan ini. Perlambatan ekonomi lainnya juga bersumber dari kelambanan pemerintah dalam mengeluarkan (eksekusi) APBN untuk proyek-proyek pembangunan yang telah direncanakan.

Ini terjadi karena ada perubahan nomenklatur pada beberapa kementerian sehingga pencairan anggaran tidak bisa segera dilakukan karena tidak ada pejabat definitif yang berwenang. Seharusnya ini tidak perlu terjadi seandainya dahulu tim transisi mampu membaca tantangan perubahan nomenklatur ini. Efektivitas pemerintahan baru jelas akan terganggu karena permasalahan nomenklatur itu terkait birokrasi dan administrasi keuangan negara.

Alangkah bijaksana apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo menggunakan nomenklatur pemerintahan Presiden SBY dulu sehingga pencairan anggaran lebih cepat. Jika ingin tetap melakukan perubahan nomenklatur, dapat dipersiapkan secara administratif paling lama dua tahun sehingga pemerintahan betul-betul bekerja dan mempersiapkan konsekuensi administratif dan politisnya.

Apalagi, akhirnya tidak ada pengurangan jumlah kementerian/ lembaga yang dibentuk Presiden Joko Widodo yang awalnya hanya akan membuat 24 sampai 30 kementerian. Menggunakan data perbandingan kinerja pada masa awal pemerintahan kedua presiden tersebut dan tingkat inflasi Januari- Mei 2015, secara logis dapat dipastikan bahwa kinerja para menteri (pembantu Presiden) di bidang ekonomi sangat lamban dan tidak padu.

Kelemahan dan ketidakpaduan jika mengacu pada data sektoral tersebut, yang sekaligus membuat dampak ekonomi melambat adalah terdapat pada sektor pertanian, keuangan dan perbankan (termasuk Bank Indonesia dan OJK), perdagangan, perindustrian, energi dan sumber daya mineral (ESDM), BUMN, dan ketenagakerjaan.

Tim ekonomi di sektor inilah pada masa Presiden SBY yang mampu menggerakkan roda perekonomian bangsa sehingga pertumbuhan ekonomi dicapai 6,35% pasca enam tahun reformasi bergulir dan proses demokrasi serta stabilitas politik relatif belum berjalan baik dan lancar. Apabila pembenahan di bidang ekonomi (terutama tim ekonomi Presiden) tidak segera dilakukan, perlambatan ekonomi akan tetap berlangsung sampai Juni 2015.

Apalagi, pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur dan hasil-hasil pertanian akan sangat bergantung dengan situasi dan kondisi lapangan serta keadaan cuaca dan iklim yang anomali. Sebaiknya pemerintah mulai menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan proses pencairan dana APBN agar tingkat daya beli masyarakat dapat didorong melalui program-program pembangunan pemerintah sehingga lapangan kerja semakin terbuka.

Perhatian dan kemudahan akses bagi kelompok usaha kecil, menengah, dan koperasi pada permodalan harus segera dilakukan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap kelompok UKM dan koperasi menjadi keniscayaan karena pengalaman krisis ekonomi 1998 dan 2008 membuktikan bahwa kelompok inilah yang tangguh dan menjadi penopang ekonomi bangsa. Apalagi, itu visi dan misi Presiden yang tertuang dalam Nawacita, khususnya dalam aspek kemandirian ekonomi bangsa.

Karena itu, apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo ini merupakan pemerintahan yang berkomitmen pada janji kampanyenya serta untuk menegakkan ideologi Pancasila dan konstitusi negara dengan lebih baik dan konsekuen, operasionalisasi dari Nawacita itu harus tampak dalam program dan kegiatan prokonstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945 pada Kementerian dan lembaga terkait.

Tantangannya adalah pada koordinasi lintas sektoral atas implementasi perencanaan pembangunan yang telah disusun dalam RPJMN 2015-2020.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar