Kenapa Perundingan Damai Yaman Gagal
Muhammad Ja'far, ; Pengamat Politik Timur Tengah
|
KORAN TEMPO, 25 Juni 2015
Sebenarnya,
perundingan damai Yaman yang berlangsung di Jenewa baru-baru ini tidak gagal.
Perundingan itu diikuti lengkap oleh lima faksi politik: delegasi
pemerintahan Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, Al-Houthi, Partai Kongres
Rakyat Umum pimpinan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, Partai Sosialis
Yaman, serta kelompok Yaman Selatan.
Hadi merepresentasikan
kepentingan politik Arab Saudi, pihak yang melakukan invasi ke Yaman. Invasi
tersebut telah menyebabkan 2.500 orang tewas, serta ratusan ribu orang luka-luka
dan mengungsi. Rakyat sipil selalu menjadi korban serangan membabi-buta
pesawat tempur Arab Saudi.
Awalnya, invasi Arab
Saudi ini ditargetkan selesai dalam skala cepat (sprint), namun kenyataannya
memakan waktu lebih panjang. Sudah lebih dari tiga bulan, target penjatuhan
kekuatan politik dan militer Al-Houthi meleset. Pemerintah Saudi cenderung
meremehkan basis politis dan militer Al-Houthi.
Al-Houthi bukan hanya
memiliki akar politik-sosial yang kuat, tapi juga napas militer yang panjang.
Kelompok ini memiliki loyalitas politik yang tinggi. Soliditas militernya
sangat kukuh, meski tak ditunjang oleh perlengkapan modern. Kelompok ini
merepresentasikan autentisitas wajah politik dan militer Yaman.
Kenapa perundingan
damai Jenewa gagal mencapai kata sepakat? Pertama, paradigma politik Hadi dan
Arab Saudi selalu menempatkan Al-Houthi sebagai faksi politik ilegal di
Yaman, alias pemberontak. Ini tampak pada awal penawaran draf perundingan,
yang disematkan kalimat berikut: "perundingan antara pemerintah yang sah
dan pemberontak". Secara semiotika politik, kalimat ini memposisikan
Al-Houthi sebagai kelompok yang tidak sah (pemberontak) dan membangkang dari
formalisme politik Yaman. Paradigma politik ini mengindikasikan iktikad
diplomasi yang negatif dan tidak konstruktif dari Hadi.
Menegasikan eksistensi
politik Al-Houthi adalah irasionalitas politik. Al-Houthi adalah faksi
politik sah di Yaman. Eksistensi politik mereka kuat dalam sejarah politik
Yaman dan telah terbangun sejak berpuluh tahun yang lalu. Sebaliknya, bagi
Al-Houthi, Arab Saudilah yang tidak memiliki eksistensi politik di Yaman,
melakukan intervensi, dan berposisi sebagai agresor. Posisi Hadi yang
melarikan diri ke Arab Saudi juga mengesankan dependensi dan subordinasi
politiknya di bawah Arab Saudi. Maka, di perundingan Jenewa yang lalu,
kalimat tersebut pun direvisi menjadi "di antara faksi-faksi politik di
Yaman".
Kedua, secara militer,
tuntutan Hadi agar Al-Houthi menyerahkan senjata sangat tidak realistis,
karena Arab Saudi justru gencar menggempur Yaman. Meletakkan senjata akan
membuat Al-Houthi menjadi sasaran empuk invasi.
Ketiga, tuntutan
politik Arab Saudi dan Hadi agar Al-Houthi secara geopolitik mundur ke garis
seperti sebelum terjadinya invasi, merupakan tuntutan sepihak yang tidak
berimbang. Al-Houthi tidak mematok teritori yang irasional sebagai prasyarat
jalan damai. Kelompok ini masih cukup realistis melihat prospek ini.
Sebenarnya, yang amat ditentang Al-Houthi lebih kepada hegemoni dan dominasi
politik Arab Saudi dan patronnya di Yaman. Ini spirit utama perjuangan
kelompok ini.
Invasi Arab Saudi
telah terlalu jauh melewati batas teritori legalisme politik internasional.
Ini bentuk intervensi politik dan militer yang sangat ekstrem. Dan sejarah
politik Timur Tengah membuktikan bahwa invasi tidak akan pernah menyelesaikan
masalah, justru menciptakan lingkaran invasi. Politik di kawasan itu dipenuhi
dengan fenomena "dialektika" invasi. Sekadar contoh, Saddam Husein
(Irak) menginvasi Kuwait pada 1990, tapi gagal. Delapan tahun sebelumnya,
Saddam menginvasi Iran, gagal juga. Tahun 2003, invasi Amerika Serikat ke
Irak (Saddam Husein) hanya sukses di atas kertas, tapi penuh dengan
problematika, dampak serius di seluruh aspek, dan membuat Amerika Serikat
sendiri amat "kelelahan" secara politik-militer.
Kini, Yaman diinvasi
Arab Saudi. Dampak yang ditimbulkan sangat kompleks dan tumpang-tindih.
Melesetnya target penumbangan Al-Houthi merupakan indikasi kuat bakal
"lelahnya" Arab Saudi menjalani misi ini dan mulai dibayang-bayangi
kegagalan.
Melihat daya tahan
Al-Houthi sejauh ini, peluang Arab Saudi untuk berhasil menuntaskan misi
politiknya di Yaman semakin berat. Arab Saudi akan terseret model perang yang
bertempo lama, sedangkan masih banyak persoalan di bidang dan teritori lain
yang dihadapi pemerintah Arab Saudi. Belum lagi problem di dalam negerinya.
Secara simultan, semua persoalan akan melemahkan daya tahan politik dan
ekonomi Saudi. Keputusan invasi ini adalah blunder politik Arab Saudi.
Perundingan damai akan
berhasil, dengan satu syarat: penghentian secara total invasi Arab Saudi.
Yaman memiliki sejarah konflik yang panjang, tapi negeri ini juga sudah
sangat matang merumuskan jalan damai. Penyatuan Yaman Utara dan Selatan,
contohnya. Yaman memiliki modal kebudayaan politik yang otentik untuk
mengatasi friksi antarfaksi. Bahkan yang berbasis kabilah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar