Kamis, 25 Juni 2015

Krisis Yunani dan Politik Populis

Krisis Yunani dan Politik Populis

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
KORAN SINDO, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Krisis ekonomi adalah ladang subur tumbuhnya politik populis dan para politikus sangat memahami hal tersebut. Apa pun variasi politiknya, kiri atau kanan, nasionalis atau religius, tidak akan menjadi masalah selama mampu untuk mengelola krisis ekonomi itu menjadi materi kampanye politik yang ujungujungnya berakumulasi dalam bentuk pilihan suara di kotak pemilu.

Masalahnya krisis kapitalisme pada abad ke-21 ini akan lebih sering terjadi daripada abad-abad sebelumnya.

Sederhananya, apabila beberapa dekade lalu krisis terjadi dalam siklus 10 tahun yang diikuti dengan periode pemulihan 1 atau 2 tahun (1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998), pada dekade sekarang kerapatan siklusnya lebih dekat dan masa pemulihannya menjadi lebih lama (2000, 2008, 2010).

Hal ini juga berarti peluang terjadinya krisis politik menjadi keniscayaan di berbagai negara.

Yang pelik adalah solusinya. Ketika krisis ekonomi berhimpit waktu dengan krisis politik, solusinya tidak semata ekonomi. Padahal solusi politik kerap menciptakan kerumitan tersendiri meskipun secara ekonomi kelihatannya solusinya cukup terang.

Tantangan ini yang sekarang dihadapi Yunani dalam upayanya menyelesaikan krisis ekonomi yang dimulai sejak 2008. Ekonomi Yunani dapat diumpamakan sebagai seorang pasien di ruang gawat darurat yang hidupnya tergantung dari infus dana dari troika kreditor yang terdiri atas Masyarakat Uni Eropa, International Monetary Fund, dan Europe Central Bank. Para kreditor tersebut setuju untuk memberikan bantuan talangan sebanyak 240 miliar euro atau setara dengan Rp3.313 triliun sejak 2010. Dana tidak digelontorkan sekaligus, tetapi bertahap, dengan syarat PemerintahYunani harus mengikuti rekomendasi pemulihan ekonomi dalam Master Financial Assistance Facility Agreement (MFAFA) dari para kreditor.

Beberapa syarat yang harus dilakukan Pemerintah Yunani antara lain memotong pembayaran pensiun sebanyak 1% dari PDB, menurunkan gaji para pegawai negeri sipil, menurunkan standar upah minimum sebanyak 22%, menjual aset-aset negara, mengenakan pajak tambahan lain lebih tinggi untuk produk-produk konsumtif, termasuk tarif daya listrik, mengejar surplus anggaran 1% dari PDB tahun 2015, dan beberapa syarat lain.

Beberapa hari setelah parlemen menerima paket reformasi tersebut pada 2012, sejumlah kerusuhan pun meledak di Ibu Kota Athena dan menjalar ke kota-kota lain. Kerusuhan itu sangat buruk karena merusak berbagai macam fasilitas publik dan swasta. Penjarahan juga terjadi di mana-mana. Kerusuhan membesar ketika pemerintah membatasi uang yang dapat ditarik dari rekening bank sehingga masyarakat menuduh pemerintah telah merampok harta mereka.

Ketidak percayaan politik rakyat kepada pemerintah semakin tinggi, tetapi disisi lain kepercayaan terhadap gerakan dan politik yang kecil semakin kuat. Salah satunya adalah Syriza yang merupakan akronim dalam bahasa Yunani dari Koalisi Kiri Radikal. Dalam pemilu legislatif tahun 2007 mereka memperoleh 5% suara dan angka ini naik menjadi 16% pada 2012 sehingga menempatkan partai ini sebagai koalisi partai politik kedua terbesar setelah New Democracy. Pada 2015, Syriza akhirnya mencapai 36% suara dan berhak menempatkan Alexis Tspiras sebagai perdana menteri baru dari koalisi kiri.

Pencapaian yang besar itu tidak lain karena konsistensi Syriza yang menolak paket reformasi yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Sebagai gantinya, Syriza menuntut penghapusan utang dan penjadwalan kembali pembayaran utang menurut termin Yunani. Mereka dianggap sebagai perwakilan dari gerakan anti-austerity (antipengetatan) yang berhasil merebut simpati rakyat dan duduk di kursi kekuasaan untuk menjalankan agenda politik yang dijanjikan selama kampanye.

Serangkaian kebijakan populis sudah digelar pemerintahan yang baru ini.
Di antaranya menyiapkan undang-undang untuk mempekerjakan kembali sekitar 4.000 pegawai negeri yang di-PHK atau dirumahkan oleh perdana menteri sebelumnya. Namun ujian pertama untuk Partai Syriza adalah apakah mereka akan tetap melanjutkan paket reformasi MFAFA atau mengusulkan proposal baru agar mendapat jatah dana talangan sebesar 7,2 miliar euro atau sekitar Rp99,4 triliun dari talangan sejak 2010 tersebut.

Secara objektif, Yunani harus mendapatkan talangan tersebut karena beberapa utang telah jatuh tempo pada bulan ini dan bulan depan semisal utang Treasury Bill. Apabila utangutang tersebut tidak dibayar, ketakutan akan terjadinya rush akan semakin besar. Uni Eropa juga telah mengancam akan mendepak Yunani dari Zona Euro kalau mereka tidak melakukan kewajibannya itu.

Pertanyaan itu semestinya sudah dapat dijawab pada Senin lalu (22/6) ketika para menteri keuangan negara-negara anggota Eropa berkumpul untuk membicarakan proposal baru dari Yunani. Namun hingga artikel ini saya tulis, para menteri keuangan yang berkumpul di Brussel belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Banyak di antara mereka yang justru kecewa dan menuding Pemerintah Yunani tidak serius mengusulkan rancangan baru yang dapat menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Yunani.

Tarik ulur negosiasi antara Yunani dan Eropa juga menggambarkan suasana politik kawasan tersebut. Pemerintah Yunani di bawah kontrol Syriza, wajah dari kelompok antikebijakan pengetatan anggaran Eropa, saat ini tengah menghadapi dilema tentang cara mewujudkan janji kampanye di tengah sempitnya ruang politikekonomi internasional. Apabila mereka tidak melaksanakan janjinya, sudah pasti mereka akan kehilangan dukungan dari rakyat, sementara apabila mereka melaksanakan janjinya, kemungkinan dikeluarkannya Yunani dari Zona Euro sebagai sanksi juga berpotensi terjadi.

Eropa tampaknya tidak mau berkompromi dengan Yunani seperti memenuhi tuntutan penghapusan utang karena secara umum mereka akan diserang habisan-habisan oleh partai politik sayap kanan di kawasan Eropa yang sejak awal tidak setuju Yunani diberi talangan dana. Namun seandainya mereka tetap keras dengan kebijakan reformasinya kepada Yunani, partai politik saya kiri yang seideologi dengan Syriza akan menjadi populer karena semakin mendapat dukungan.

Sejauh ini dukungan terhadap Syriza datang dari kaum muda dan para pegawai negeri sipil serta asosiasi-asosiasi yang bekerja untuk pelayanan publik. Namun belum tentu mereka satu suara mengenai dikeluarkan atau tidaknya Yunani dari Zona Euro. Survei yang dilakukan Mega Television senin lalu menunjukkan bahwa 56,2% warga Yunani ingin tetap berada di Zona Euro walaupun harus menjalankan pengetatan anggaran, sementara 35,4% lainnya mengatakan memilih bangkrut. Jika survei ini valid, tantangan Partai Syriza akan semakin berat karena menghadapi perlawanan dari dalam negeri mereka sendiri.

Pengalaman Yunani ini menunjukkan bahwa tarik-menarik kepentingan politik dapat menjadi faktor penyulit suatu negara keluar dari krisis. Seiring dengan integrasi ekonomi ke tingkat regional maupun global, penyelesaian atas krisis yang dihadapi di satu negara tidak lagi dapat diputuskan sendirian dengan mengisolasi diri dari pengaruh negara-negara lain. Dengan meningkatnya peluang ekonomi di saat krisis terjadi, solusinya tidak lagi bisa ditentukan sendirian sebagai negara berdaulat. Sama seperti Yunani, nasib warga dapat ditentukan pula oleh keputusan negara-negara lain yang belum tentu memberi peluang partisipasi pada negara yang bersangkutan ketika mengambil keputusan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar