Krisis Yunani dan Politik Populis
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder
& Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 24 Juni 2015
Krisis ekonomi adalah
ladang subur tumbuhnya politik populis dan para politikus sangat memahami hal
tersebut. Apa pun variasi politiknya, kiri atau kanan, nasionalis atau
religius, tidak akan menjadi masalah selama mampu untuk mengelola krisis
ekonomi itu menjadi materi kampanye politik yang ujungujungnya berakumulasi
dalam bentuk pilihan suara di kotak pemilu.
Masalahnya krisis
kapitalisme pada abad ke-21 ini akan lebih sering terjadi daripada abad-abad
sebelumnya.
Sederhananya, apabila
beberapa dekade lalu krisis terjadi dalam siklus 10 tahun yang diikuti dengan
periode pemulihan 1 atau 2 tahun (1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan
1998), pada dekade sekarang kerapatan siklusnya lebih dekat dan masa
pemulihannya menjadi lebih lama (2000, 2008, 2010).
Hal ini juga berarti
peluang terjadinya krisis politik menjadi keniscayaan di berbagai negara.
Yang pelik adalah
solusinya. Ketika krisis ekonomi berhimpit waktu dengan krisis politik,
solusinya tidak semata ekonomi. Padahal solusi politik kerap menciptakan
kerumitan tersendiri meskipun secara ekonomi kelihatannya solusinya cukup
terang.
Tantangan ini yang
sekarang dihadapi Yunani dalam upayanya menyelesaikan krisis ekonomi yang
dimulai sejak 2008. Ekonomi Yunani dapat diumpamakan sebagai seorang pasien
di ruang gawat darurat yang hidupnya tergantung dari infus dana dari troika
kreditor yang terdiri atas Masyarakat Uni Eropa, International Monetary Fund,
dan Europe Central Bank. Para kreditor tersebut setuju untuk memberikan
bantuan talangan sebanyak 240 miliar euro atau setara dengan Rp3.313 triliun
sejak 2010. Dana tidak digelontorkan sekaligus, tetapi bertahap, dengan
syarat PemerintahYunani harus mengikuti rekomendasi pemulihan ekonomi dalam
Master Financial Assistance Facility Agreement (MFAFA) dari para kreditor.
Beberapa syarat yang
harus dilakukan Pemerintah Yunani antara lain memotong pembayaran pensiun
sebanyak 1% dari PDB, menurunkan gaji para pegawai negeri sipil, menurunkan
standar upah minimum sebanyak 22%, menjual aset-aset negara, mengenakan pajak
tambahan lain lebih tinggi untuk produk-produk konsumtif, termasuk tarif daya
listrik, mengejar surplus anggaran 1% dari PDB tahun 2015, dan beberapa
syarat lain.
Beberapa hari setelah
parlemen menerima paket reformasi tersebut pada 2012, sejumlah kerusuhan pun
meledak di Ibu Kota Athena dan menjalar ke kota-kota lain. Kerusuhan itu
sangat buruk karena merusak berbagai macam fasilitas publik dan swasta.
Penjarahan juga terjadi di mana-mana. Kerusuhan membesar ketika pemerintah
membatasi uang yang dapat ditarik dari rekening bank sehingga masyarakat
menuduh pemerintah telah merampok harta mereka.
Ketidak percayaan
politik rakyat kepada pemerintah semakin tinggi, tetapi disisi lain
kepercayaan terhadap gerakan dan politik yang kecil semakin kuat. Salah
satunya adalah Syriza yang merupakan akronim dalam bahasa Yunani dari Koalisi
Kiri Radikal. Dalam pemilu legislatif tahun 2007 mereka memperoleh 5% suara
dan angka ini naik menjadi 16% pada 2012 sehingga menempatkan partai ini
sebagai koalisi partai politik kedua terbesar setelah New Democracy. Pada 2015, Syriza akhirnya mencapai
36% suara dan berhak menempatkan Alexis Tspiras sebagai perdana menteri baru
dari koalisi kiri.
Pencapaian
yang besar itu tidak lain karena konsistensi Syriza yang menolak paket
reformasi yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Sebagai gantinya, Syriza
menuntut penghapusan utang dan penjadwalan kembali pembayaran utang menurut
termin Yunani. Mereka dianggap sebagai perwakilan dari gerakan anti-austerity
(antipengetatan) yang berhasil merebut simpati rakyat dan duduk di kursi
kekuasaan untuk menjalankan agenda politik yang dijanjikan selama kampanye.
Serangkaian
kebijakan populis sudah digelar pemerintahan yang baru ini.
Di
antaranya menyiapkan undang-undang untuk mempekerjakan kembali sekitar 4.000
pegawai negeri yang di-PHK atau dirumahkan oleh perdana menteri sebelumnya.
Namun ujian pertama untuk Partai Syriza adalah apakah mereka akan tetap
melanjutkan paket reformasi MFAFA atau mengusulkan proposal baru agar
mendapat jatah dana talangan sebesar 7,2 miliar euro atau sekitar Rp99,4
triliun dari talangan sejak 2010 tersebut.
Secara
objektif, Yunani harus mendapatkan talangan tersebut karena beberapa utang
telah jatuh tempo pada bulan ini dan bulan depan semisal utang Treasury Bill.
Apabila utangutang tersebut tidak dibayar, ketakutan akan terjadinya rush
akan semakin besar. Uni Eropa juga telah mengancam akan mendepak Yunani dari
Zona Euro kalau mereka tidak melakukan kewajibannya itu.
Pertanyaan
itu semestinya sudah dapat dijawab pada Senin lalu (22/6) ketika para menteri
keuangan negara-negara anggota Eropa berkumpul untuk membicarakan proposal baru
dari Yunani. Namun hingga artikel ini saya tulis, para menteri keuangan yang
berkumpul di Brussel belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Banyak di
antara mereka yang justru kecewa dan menuding Pemerintah Yunani tidak serius
mengusulkan rancangan baru yang dapat menyelesaikan masalah krisis ekonomi di
Yunani.
Tarik
ulur negosiasi antara Yunani dan Eropa juga menggambarkan suasana politik
kawasan tersebut. Pemerintah Yunani di bawah kontrol Syriza, wajah dari
kelompok antikebijakan pengetatan anggaran Eropa, saat ini tengah menghadapi
dilema tentang cara mewujudkan janji kampanye di tengah sempitnya ruang
politikekonomi internasional. Apabila mereka tidak melaksanakan janjinya,
sudah pasti mereka akan kehilangan dukungan dari rakyat, sementara apabila
mereka melaksanakan janjinya, kemungkinan dikeluarkannya Yunani dari Zona
Euro sebagai sanksi juga berpotensi terjadi.
Eropa
tampaknya tidak mau berkompromi dengan Yunani seperti memenuhi tuntutan
penghapusan utang karena secara umum mereka akan diserang habisan-habisan
oleh partai politik sayap kanan di kawasan Eropa yang sejak awal tidak setuju
Yunani diberi talangan dana. Namun seandainya mereka tetap keras dengan
kebijakan reformasinya kepada Yunani, partai politik saya kiri yang
seideologi dengan Syriza akan menjadi populer karena semakin mendapat
dukungan.
Sejauh
ini dukungan terhadap Syriza datang dari kaum muda dan para pegawai negeri
sipil serta asosiasi-asosiasi yang bekerja untuk pelayanan publik. Namun
belum tentu mereka satu suara mengenai dikeluarkan atau tidaknya Yunani dari
Zona Euro. Survei yang dilakukan Mega Television senin lalu menunjukkan bahwa
56,2% warga Yunani ingin tetap berada di Zona Euro walaupun harus menjalankan
pengetatan anggaran, sementara 35,4% lainnya mengatakan memilih bangkrut.
Jika survei ini valid, tantangan Partai Syriza akan semakin berat karena
menghadapi perlawanan dari dalam negeri mereka sendiri.
Pengalaman
Yunani ini menunjukkan bahwa tarik-menarik kepentingan politik dapat menjadi
faktor penyulit suatu negara keluar dari krisis. Seiring dengan integrasi
ekonomi ke tingkat regional maupun global, penyelesaian atas krisis yang
dihadapi di satu negara tidak lagi dapat diputuskan sendirian dengan
mengisolasi diri dari pengaruh negara-negara lain. Dengan meningkatnya
peluang ekonomi di saat krisis terjadi, solusinya tidak lagi bisa ditentukan
sendirian sebagai negara berdaulat. Sama seperti Yunani, nasib warga dapat
ditentukan pula oleh keputusan negara-negara lain yang belum tentu memberi
peluang partisipasi pada negara yang bersangkutan ketika mengambil keputusan
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar