Dana Aspirasi
Merusak Tatanan Perencanaan Pembangunan
Deddy S Bratakusumah ; Praktisi pemerintahan Widyaiswara Utama di
Bappenas; Mantan Deputi Tata Laksana Menteri PAN dan Rebiro Alumnus ATN, ITB,
juga University of Miami, dan Cornell University di Amerika Serikat
|
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2015
ADANYA tuntutan para anggota dewan terkait
dengan sistem pendanaan pembangunan daerah pemilihan yang bernama Usulan
Program Pengembangan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang belakangan dikenal sebagai
`dana aspirasi' telah mendatangkan polemik yang sangat riuh beberapa hari
terakhir ini. Andaikata usulan ini disetujui dan diterapkan, akan diperlukan
penyesuaian bahkan perubahan dari berbagai peraturan yang terkait dengan
perencanaan pembangunan dan penganggaran dalam sistem keuangan negara. Sejauh
ini UP2DP tidak dikenal di dalam kaidah peraturan perundangan yang terkait
dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran yang selama ini diberlakukan.
Berdasarkan ketentuan yang ada, selayaknya
berbagai kegiatan yang akan didanai oleh APBN harus tertuang di dalam rencana
kerja pemerintah (RKP) tahun yang akan datang. Ketentuan ini tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional. Secara rinci di dalam PP itu dikatakan bahwasanya
presiden menetapkan rancangan akhir RKP menjadi RKP dengan peraturan presiden
paling lambat pertengahan Mei. Selanjutnya RKP yang telah ditetapkan dibahas
dengan DPR dan hasilnya digunakan sebagai pedoman penyusunan RUU APBN.
Sementara itu, menurut UU No 17/2003 tentang
Keuangan Negara, penyusunan rancangan APBN berpedoman kepada RKP. Adapun RKP,
menurut UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional,
merupakan penjabaran rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN)
yang memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran ekonomi secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal,
serta program kementerian/lembaga, lintas kementerian/lembaga, kewilayahan
dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif. RKP itu sendiri pada dasarnya merupakan rencana yang akan
dilaksanakan oleh tiap-tiap kementerian/lembaga dan ditransfer ke daerah.
Semua kegiatan yang dapat dilaksanakan harus memiliki penanggung jawab dan
penanggung gugat.
Jadi sangat jelas, tidak ada satu pun kegiatan
belanja barang dan belanja modal yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dan
akan didanai oleh APBN dapat terwujud tanpa melalui proses penyu sunan RKP.
Lebih jauh lag dana dari pusat yang ditranfer ke daerah penyalurannya sudah
terstruktur dan terbakukan, sebagaimana diatur dalam UU No 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Penyalurannya dilakukan melalui: (1) dana bagi hasil (DBH), bagi dana yang
berasal dari sumber daya alam daerah yang dapat diekspor, (2) dana alokasi
umum (DAU), bagi pembiayaan belanja pegawai dan dana block grant yang pengeluarannya didasarkan pada asas otonomi
daerah, dan (3) dana alokasi khusus (DAK), dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
program prioritas nasional yang tidak dapa didanai oleh daerah atau sumber
dana lainnya.
Dana aspirasi
Menyimak atas berbagai ketentuan peraturan
perundangan tersebut, sudah selayaknya apabila `dana aspirasi' ini masuk atau
disalurkan ke salah satu kategori dana yang ditransfer dari pusat ke daerah.
Kenapa demikian? Karena konon menurut rencananya `dana aspirasi' ini diperuntukkan
bagi daerah pemilihan. Dari substansi usulan yang disampaikan oleh DPR, maka
wahana penyaluran `dana aspirasi' yang paling tepat ialah melalui dana
alokasi khusus.
Dari hakikat berbagai jenis penyaluran dana ke
daerah, sebenarnya tidak perlu lagi ada `dana aspirasi', karena berdasarkan
ketentuan yang berlaku, sejak awal DPR telah terlibat dalam pembahasan
rencana penganggaran yang akan tertuang dalam APBN. Anggota DPR cukup
mengawal dan mengamankan bahkan memaksa dianggarkan dalam DAK untuk pelaksanaan
program pembangunan yang akan dilakukan di daerah pemilihannya. Toh, yang
melaksana kan dan yang mempertanggungjawabkan serta mempertanggunggugatkan
program ialah daerah yang bersangkutan sebagai penerima DAK.
Dengan penyaluran melalui DAK, akan lebih jelas
daerah penerima dan pelaksananya. Penetapan penerima DAK didasarkan pada
wilayah administratif, bukan didasarkan kepada daerah pemilihan (dapil).
Karena sebagaimana kita ketahui, sebagian besar dapil (dalam Pemilu 2014 yang
lalu) terdiri atas lebih dari satu kabupaten atau kota, bahkan ada yang
merupakan sebagian dari suatu kota atau kabupaten.
Dengan demikian, ketentuan konstitusi yang
memberikan `hak budget' kepada parlemen sebenarnya telah menyiratkan dan
menyuratkan bahwa APBN semestinya sudah merupakan cerminan aspirasi
masyarakat yang disampaikan melalui para anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Lebih jauh lagi, ketentuan yang tertuang dalam
UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pada Pasal 80 huruf j
sekalipun, bunyinya ialah, `mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan'. Jadi, sebenarnya tidak perlu lagi ada cara
penyaluran dana lainnya semacam `dana aspirasi', selain dari wahana-wahana
penyaluran dana ke daerah yang telah ada. Para anggota DPR, apabila memang
ingin menyalurkan aspirasi para pemilihnya, cukup mengawalnya dalam
pembahasan APBN, terutama pembahasan terkait dengan DBH, DAU, dan DAK.
Dana aspirasi, apabila dipaksakan untuk
diterapkan, akan merusak tatanan sistem perencanaan dan penganggaran
pembangunan yang sudah berjalan saat ini. Pada gilirannya memerlukan revisi
berbagai peraturan perundangan yang terkait, dan ini sangat sulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar