Dwelling Time
Oscar Yogi Yustiano ; Staf PT Pelindo III (Persero) Cabang Tanjung
Perak
|
JAWA POS, 24 Juni 2015
AKHIR-AKHIR ini berbagai media memberitakan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang uring-uringan
(marah). Jokowi marah bukan tanpa sebab atau alasan. Presiden marah karena dwelling time (waktu tunggu) kapal di
Pelabuhan Tanjung Priok yang sangat lama, yakni bisa mencapai 13–14 hari. Hal
itu berujung tingginya biaya logistik nasional dan tingginya harga kebutuhan
pokok masyarakat.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan dwelling time? Dwelling time berasal dari bahasa Inggris, dari kata dwell yang berarti tunggu atau tinggal
dan time adalah waktu. Sehingga dwell time berarti waktu tinggal atau
waktu tunggu. Jadi, dalam kamus dunia pelayaran, dwelling time adalah waktu tunggu kapal di pelabuhan atau lebih
tepatnya waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan dalam rangka proses bongkar
dan atau memuat barang.
Di dalam port
performance indicators (PPI) atau indikator internasional untuk mengukur
performa atau kinerja pelabuhan dalam memberikan pelayanan kepada pelayaran, dwelling time disebut juga sebagai turn round time (TRT), yakni waktu
yang dihabiskan kapal mulai tiba di pelabuhan hingga keluar dari pelabuhan.
Selain TRT, terdapat indikator lainnya, antara lain maneuvering time (MT),
yakni waktu yang diperlukan kapal untuk melakukan manuver dari tempatnya
berlabuh ke kolam pelabuhan untuk bersandar di dermaga.
Atau sebaliknya, ada juga istilah waiting time (WT), yakni waktu tunggu
kapal saat tiba di pelabuhan hingga berangkat kembali dikurangi dengan MT.
Kemudian,
ada productive (effective) time (PT), yakni waktu yang dihabiskan kapal untuk melakukan
bongkar dan atau muat setelah dikurangkan dengan idle time (waktu yang tertunda) dan not operating time (NOT). Idle
time adalah penundaan waktu operasional bongkar dan atau muat barang dari
dan ke kapal karena, salah satunya, cuaca. Sedangkan NOT adalah waktu tidak
operasi, di antaranya adalah karena waktu istirahat pekerja pelabuhan atau
pergantian sif.
Keseluruhan indikator tersebut memengaruhi
total dwelling time atau TRT kapal di pelabuhan. Misalnya, WT atau waktu
tunggu kapal di suatu pelabuhan lama karena terjadi antrean kapal (kongesti).
Hal itu terjadi karena tingginya volume kapal, namun tidak dibarengi kesiapan
infrastruktur dan fasilitas di pelabuhan.
Selain minimnya infrastruktur pelabuhan,
lamanya dwelling time disebabkan beberapa hal. Pertama, produktivitas tenaga
kerja bongkar muat (TKBM) yang masih rendah. Produktivitas TKBM di pelabuhanpelabuhan
di Indonesia tergolong masih rendah karena pengelolaan TKBM yang masih belum
optimal dan profesional. Saat ini pengelolaan TKBM dimonopoli koperasi TKBM
di bawah pengawasan pemerintah. Hal itu pula yang membuat TKBM tidak
kompetitif. Seharusnya di setiap pelabuhan terdapat minimal dua pengelola
TKBM sehingga dapat memacu kompetisi yang sehat.
Optimalisasi Daring
Kedua, pengurusan dokumen terkait dengan kapal
dan barang yang lama. Pengurusan dokumen-dokumen di pelabuhan di Indonesia
terbilang lama karena di pelabuhan terdapat banyak instansi, di antaranya BUP
(badan usaha pelabuhan), bea dan cukai, kantor karantina, kantor kesehatan
pelabuhan, kantor kesyahbandaran, serta otoritas pelabuhan. Karena itu, dalam
rangka pengurusan dokumen, pengguna jasa atau konsumen harus mendatangi
instansi-instansi tersebut. Ironisnya, rata-rata pengurusan dokumen itu
dilakukan setelah kapal tiba di pelabuhan. Hal tersebut yang mengakibatkan
lamanya proses pengurusan dokumen.
Di beberapa negara di dunia, di Singapura misalnya,
pengurusan dokumen yang terkait dengan kapal dan barang dilakukan sebelum
kapal tiba di pelabuhan melalui sistem dalam jaringan (daring) teknologi
informasi (TI). Sistem TI itu terintegrasi dengan sistem TI dari berbagai
instansi seperti Port of Singapore Authority (PSA) selaku operator dan The
Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) selaku regulator. Hal tersebut
lebih efektif dan efisien karena memotong birokrasi serta menghemat waktu,
tenaga, dan biaya. Selain itu, daring meminimalkan pertemuan para pengguna
jasa dengan para petugas saat melakukan pengurusan dokumen sehingga potensi
terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dihindari.
Ketiga, integrasi di antara moda transportasi
angkutan barang yang kurang. Integrasi antarmoda dapat mengurangi kepadatan
di pelabuhan dan di jalan raya. Misalnya integrasi antara moda transportasi
laut dan kereta api. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun jalur rel di
pelabuhan sehingga barang yang hendak dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal
dapat langsung dengan kereta api.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas,
dapat diketahui, dwelling time dapat dipengaruhi banyak faktor. Antara lain
ketersediaan infrastruktur dan fasilitas di pelabuhan, tenaga kerja bongkar
muat, kecepatan pengurusan dokumen kapal dan barang, serta integrasi
antarmoda transportasi. Karena itu, diperlukan penyelesaian yang serius dan
komprehensif dalam rangka mengurangi dwelling time. Jika tidak, penurunan
biaya logistik akan menjadi isapan jempol belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar