Puasa, Penyelenggara Negara, dan Revolusi Mental
Laode Ida ; Sosiolog; Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ;
Wakil
Ketua DPD RI 2004-2014
|
KORAN SINDO, 24 Juni 2015
Ibadah selama bulan
Ramadan (puasa) pada 2015 ini (dan tentu saja selama kepemimpinan Presiden
Jokowi) khususnya bagi para pejabat, aparat negara, dan politisi sejatinya
memiliki makna yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, ada
janji kampanye tentang perlunya ”revolusi mental” yang harusnya dianggap
sebagai kewajiban oleh setiap penyelenggara untuk mengubah diri dari berbagai
prilaku buruk seperti korupsi, sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan,
bersikap tidak adil, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bulan Ramadan, di mana
mayoritas warga bangsa ini umat Islam termasuk jajaran penyelenggara
negaranya, adalah momentum menjalankan kewajiban agama yang sekaligus melatih
diri untuk mengubah kebiasaan buruk yang selama ini (sadar atau tidak, sengaja
ataupun tidak) kerap dilakukan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Apalagi,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di
Tegal, Jateng (7-10/6/ 2015) secara resmi mengeluarkan fatwa haram bagi
pejabat yang mengingkari janjinya saat berkampanye. Sekali lagi, ”revolusi
mental” merupakan bagian dari janji kampanye Jokowi yang terdokumentasi dalam
agenda Nawacitanya.
Tidak mudah memang
untuk mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging (internalized ) dalam
diri seseorang, apalagi yang terkait kenikmatan duniawi. Justru yang kerap
dilakukan para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara seperti itu
berupaya selalu mencari dalil-dalil pembenaran dan atau permaafan, terlebih
mereka yang luput dari jeratan hukum positif negara.
Malahan figur-figur
seperti itu dijadikan panutan, dijadikan contoh oleh generasi muda untuk juga
hidup bermewahmewah, dan lihai mencari serta menemukan cara-cara canggih
untuk bisa memperoleh status sosial, politik, dan ekonomi yang (dalam kacamata
duniawi) dianggap terhormat. Termasuk di dalamnya dengan membiasakan diri
untuk mengelabui banyak orang atau berbohong dengan tak menepati janji.
Mengapa kecenderungan
seperti itu terjadi? Pertama , masyarakat kita sudah dilabeli sebagai pelupa
dan sekaligus pemaaf, serta sangat menghargai figur yang berkepemilikan
materi pemosisian kemewahan dalam strata nilai tertinggi dalam persepsi
sosial, sehingga tak lagi mempersoalkan janjijanji yang pernah diucapkan oleh
figur-figur yang masuk dalam kategori ”sudah ditokohkan” itu.
Masyarakat pun sudah
menyadari bahwa yang namanya politik ”sarat dengan kebohongan” sehingga kalau
berbohong atau dibohongi sudah dianggap biasa-biasa saja.
Apalagi kalau
saat-saat tertentu, utamanya melalui para tokoh informal di tingkat lokal
sekali-sekali dan terutama menghadapi ajang pertarungan politik ”diservis”
denganmateri (dan biasanya sang figur panutan informalpun umumnya juga ”haus
materi”), segalanya akan terlupakan. Maka, tidak heran kalau istilah
”lanjutkan” kemudian menggema dimana-mana untuk memberikan dukungan pada
politisi atau pejabat penyelenggara negara untuk kembali menjabat. Dalam
konteks ini, saran Wapres M Jusuf Kalla di dalam acara MUI di Tegal belum
lama ini ”untuk memberi sanksi bagi para pejabat yang ingkar janji kampanye
dengan tidak lagi memilihnya” tampaknya akan diabaikan atau akan dianggap
sebagai ”angin lalu” saja olehumumnya masyarakat bangsa ini.
Kedua, pesan atau
ajaran agama termasuk fatwa MUI itu, oleh banyak pejabat, politisi, atau
penyelenggara negara, cenderung dipandang terlalu abstrak dan masuknya pada
ranah privasi individu. Terlebih lagi yang berlaku di negara ini bukanlah
hukum Islam. Dengan begitu, kalaupun disadari bahwa perbuatan mereka sudah
melanggar ajaran agama dan itu bahkan sudah diketahui oleh banyak orang atau
rahasia umum, tidak ada sanksi apa pun yang diberlakukan.
Semua itu diperkuat
dengan keyakinan berdasarkan ajaran bahwa hanya dosa-dosa besar tertentu yang
tak bisa diampuni Allah SWT, sementara perilaku buruk mereka dianggap masih
terbuka maghfiroh-Nya sehingga kebiasaan buruk itu pun terus saja dilakukan.
Bagi para pejabat di
negeri ini memang, jika jujur diakui, terkadang hanya menjadikan agama
sebagai simbol untuk kepentingan politik pribadi. Simbol- simbol agama itulah
yang kerap jadi jualan politik untuk memperoleh dukungan masyarakat luas, di
samping berbagai manuver dan atau pernyataan yang (seolah-olah) berorientasi
kerakyatan. Padahal, sebenarnya semua itu merupakan kamuflase saja, bagian
dari penipuan terbuka. Maka tak jarang, ketika berkampanye mengangkat
”ayat-ayat Allah dan atau pesan-pesan Nabi”, menghadiri berbagai pengajian
(yang terkadang juga sengaja diselenggarakan untuk suatu misi politik, atau
mengunjungi tokoh-tokoh berbasis Islam yang kuat hanya untuk memperoleh
dukungan suara atau simpati dari warga mayoritas.
Karakter atau perilaku
buruk yang dibungkus oleh formalisme agama seperti itulah yang banyak kita
temukan di barisan penyelenggara negara hari-hari ini. Kita masih beruntung
ada fatwa pengingat dari MUI dengan harapan pejabat atau politisi menepati
janji. Kita pun seharusnya masih berharap agar para ulama atau tokoh-tokoh
organisasi Islam (atau juga sekaligus tokoh-tokoh lintas agama) secara rajin
dan konsisten mencermati dan sekaligus membeberkan deretan pejabat politik
yang ingkar janji, lalu menyatakannya ”oh ..., inilah pejabat haram di negeri
ini yang jangankan untuk dipilih lagi, dipatuhi pun sudah tidak boleh”.
Peran penting ulama
memang diharapkan menjadi pengingat atau pengontrol bagi umara (pemerintah,
yang mengurus rakyat). Bahkan ada pandangan yang menyatakan: ”Seburuk-buruknya ulama adalah orang yang
mendekati umara, dan sebaik-baik umara adalah orang yang mendekati ulama”.
Yang tersirat dalam pandangan ini adalah bahwa para ulama harus menjaga diri
agar jangan sampai terkontaminasi oleh siasat pejabat atau pimpinan politik.
Pada saat yang sama,
pihak pemerintah harus patuh pada anjuran moral-religius dari para ulama (seperti
fatwa MUI itu) dalam rangka mengarahkan kebijakan, roda pemerintahan,
dansekaligus masyarakat luas pada nilai-nilai agama yang mengandung kebenaran
hakiki serta universal. Bila dibawa ke ranah pengelolaan pemerintahan, arahan
moral religius itu sebenarnya termaktub dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance) dan aparat
penyelenggara negara yang bersih (clean
government apparatus) yang semuanya bermuara pada terwujudnya rakyat yang
sejahtera.
Dalam konteks itulah
gerakan-gerakan revolusi mental diharapkan menjadi titik awalnya dan Presiden
Jokowi yang berjanji untuk melakukan itulah sebagai komandan tertinggi yang
harus memaksa seluruh jajarannya untuk menjalankan dua prinsip yang saling
terkait itu (good governance and clean
government).
Namun, di sini pulalah
tantangan terberatnya. Jangan sampai jika itu dilakukan, harus terlebih
dahulu melakukan revolusi jajaran pejabat penyelenggara negara di bawahnya
termasuk pimpinan dan aparat partai politik di negeri ini. Karena jika jujur
diakui, sangat jarang pejabat, aparat, dan politisi yang terkategori sebagai
”pulau integritas” (islands of
integrity). Padahal, dari barisan politisilah, sebagaimana dijamin oleh
undang-undang di negeri ini, yang jadi sumber pemimpin bangsa atau
penyelenggara negara.
Pada faktor seperti
dijelaskan itu pulalah tantangan puasa Ramadan kali ini khususnya bagi
Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahannya. Jika saja dicamkan benar makna
puasa, bagi muslim yang yakin, ujungnya adalah meraih kemenangan dalam
bayangan ”diri yang bersih dari dosa”, kembali fitrah bagaikan kertas putih
bersih yang kosong. Puasa juga merupakan latihan pengendalian diri untuk
patuh pada semua yang dilarang atau diharamkan, dan hanya boleh melakukan
yang diperbolehkan. Dalam konsep psikologis, keadaan seperti inilah yang
disebut dengan unlearned
mengosongkan diri dari pengetahuan dan atau kebiasaan yang selama ini
menginternalisasi; dan setelah itu memasukkan ihwal baru yang bersifat
positif.
Maka, jika itu
dilakukan, setelah puasa pikiran serta perbuatan para pejabat politik dan
penyelenggara negara akan terbebas dari bau busuk, korup, dan sejenisnya.
Pada saat itulah konsep revolusi mental Jokowi diharapkan akan terwujud. Jika
tidak, puasa hanya akan sia-sia seperti apa yang dikatakan oleh Imal Al
Ghazali, para pejabat dan politisi atau penyelenggara negara itu hanya akan
menjalankan ”puasa awam” alias ikut-ikutan saja, hanya dengan menahan lapar,
dahaga, dan syahwat, menjaga mulut dan alat kelamin dari ihwal yang
membatalkan puasa. Setelah itu akan kembali berpikir dan berperilaku seperti
biasanya: korup.
Kita pun harus terus
menjaga Presiden Jokowi, mengingatkannya tanpa lelah, karena sudah berjanji
untuk ”revolusi mental” sehingga perlu menghindarkannya, jangan sampai
tergolong seperti fatwa MUI itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar