Antara Asia Ekonomi dan Asia Keamanan
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 24 Juni 2015
Dialog tahunan AS-RRT
yang disebut Zhong-Mei Zhanlue yu Jingji Duihua (Dialog Ekonomi dan Strategi
AS-RRT) yang ketujuh dimulai Selasa (23/6) di Washington, AS, agak berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dialog dua negara
kekuatan ekonomi dunia ini yang berlangsung di tengah hiruk-pikuk pembangunan
”pulau palsu” di Laut Tiongkok Selatan ini dikecam banyak negara, terutama
AS, sebagai permainan dominasi dan hegemoni Tiongkok di Asia Pasifik.
Persoalan krusial lain
adalah masalah ekonomi menyangkut kelangsungan perdagangan kedua pihak
mencapai 550 miliar dollar AS, serta konsep baru Tiongkok menghadirkan kerja
sama bank pembangunan multilateral sebagai tantangan langsung terhadap sistem
keuangan dunia yang sudah ada.
Hanya AS dan Jepang
yang tidak memiliki peran serta dalam Bank Investasi Infrastruktur Asia
(AIIB) bentukan Tiongkok, didukung 57 negara pendiri termasuk sekutu AS di Eropa,
Inggris, dan Jerman. Kehadiran dialog strategis AS-Tiongkok mengisyaratkan
format baru détente yang sama sekali berbeda dengan Perang Dingin yang
dirumuskan RRT sebagai xin xing da guo guan xi (hubungan baru negara kekuatan
besar).
Geopolitik Asia Pasifik
sekarang ini terpecah dalam pandangan yang disampaikan mantan Wakil Menlu AS
Evan A Feigenbaum apa yang disebutnya sebagai ”Asia ekonomi” dan ”Asia
keamanan” sebagai kekuatan tarik-menarik antara AS dan Tiongkok. Pada tahun
2012, ukuran ekonomi Asia sudah mencapai 19 triliun dollar AS, menjadikan
kawasan ini sangat dinamis dan mendorong pertumbuhan ekonomi global sekaligus
menjadi ”lahan rebutan” AS-Tiongkok.
Sulit memang
menghadirkan nuansa détente dalam abad ke-21 ini untuk memberikan dasar strategi
lebih luas tentang kaidah musuh bersama bagi kebanyakan negara Asia Tenggara
ketika kepentingan ekonomi dan keamanan saling tumpang tindih satu sama lain.
Padahal, di tengah-tengah Perang Dingin ekonomi dan keamanan di Asia Tenggara
saling terkait erat dalam rangka pembangunan kesejahteraan kawasan.
Ada beberapa faktor
yang ikut menentukan dan menjadi penentu penting di mana kekuatan AS-Tiongkok
bisa bersanding satu sama lain tanpa harus berseteru menimbulkan kerusakan.
Pertama, kecenderungan multilateralisme melalui berbagai institusi bilateral
ataupun regional menghadirkan arsitektur regional baru yang praktis menjadi
penyelesaian permasalahan seperti model baru investasi infrastruktur.
Ketika Tiongkok
mengajukan dana 100 miliar dollar AS bagi AIIB, Jepang pun meningkatkan dana
pinjaman multilateral sebesar 110 miliar dollar AS. Ketika Jepang berminat
membangun infrastruktur kereta api cepat di berbagai negara Asia Tenggara,
Tiongkok maju dengan harga lebih murah, teknologi yang canggih, dan pendanaan
yang lebih cepat.
Kedua, persoalan
politik Asia selama ini memang tidak terjangkau sama sekali, baik dalam Forum
Regional ASEAN (ARF) maupun KTT Asia Timur (EAS), di mana AS-Tiongkok juga
duduk bersama. Yang selalu menjadi pertimbangan ASEAN, persoalan keamanan
kawasan Asia Pasifik tidak terlalu mencolok secara substantif memojokkan
pihak tertentu, khususnya Tiongkok. Total nilai ekonomi dan perdagangan
ASEAN-Tiongkok sekarang jauh lebih besar ketimbang dengan AS.
Kita berharap Dialog
Ekonomi dan Strategi AS-Tiongkok mampu meredam gejolak global akibat ambisi
masing-masing pihak. Krisis keuangan Yunani yang tidak kunjung selesai akan
berdampak serius terhadap krisis zona euro yang menyengsarakan banyak pihak,
tidak hanya Eropa, tetapi juga kawasan lain, termasuk Asia Pasifik.
Dan gelombang krisis
ini akan memaksa banyak negara melakukan berbagai stimulasi ekonomi, termasuk
mengembangkan perdagangan regional untuk menjaga pertumbuhan bagi
kesejahteraan. Pada titik ini, ”Asia ekonomi” menjadi lebih penting bagi
kepentingan bersama ketimbang ”Asia keamanan” yang mendorong aliansi usang
yang tidak menyelesaikan persoalan utama keamanan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar