Hasrat: Hidup dalam Realitas Abu-Abu
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara, Dosen
Pascasarjana UI, Budayawan
|
KORAN SINDO, 29 Juni 2015
Apa yang mendorong
orang untuk terus “berani” hidup? Darwin dalam teori evolusi mengenai
kelangsungan hidup menegaskan bahwa hanya mereka-mereka yang terus bersaing
dengan hasrat hidupnya dan memenangkan persaingan untuk terus hidup.
Merekalah yang merupakan pemenang, karena itu doktrin kelangsungan hidup dari
mereka ini (baca: tak hanya manusia namun pula fauna dan flora
makhluk-makhluknya) dinamai survival of
the fittest.
Di tayangan-tayangan
visual National Geographic, Animal
Planet, dan observasi antara predator dan korban yang demi kelangsungan
hidup semesta seakan-akan dibahasakan harus melalui seleksi alamiah sebuah
kewajaran untuk keseimbangan alam hukum seleksi itu diiyakan bahkan
diteguhkan. Tema hasrat ini di ranah politik dalam pengertian dan praksis
kekuasaan semakin digarap, diolah mulai dari F Nietzsche yang memberi kata
kunci “hasrat untuk berkuasa” agar melangsungkan hidup berkuasa ia tegaskan
sebagai will to power atau kehendak
untuk berkuasa. Bahkan Michel Foucault mengaitkannya tidak hanya untuk hidup
dan hasrat kuasa, tetapi sudah mengungkap dalam diskursus sebagai bahasa
wacana.
Ketika wacana
feminisme sebagai mazhab yang memperjuangkan kesetaraan mulai dari gender
antara perempuan dan laki-laki sampai ke konstruksi-konstruksi kekuasaan
patriarki yang menelikung perkembangan perempuan untuk menjadi subjek karena
selalu “dijadikan”, sedang berdiskusi untuk menemukan kata kunci di bahasa
Indonesia untuk feminisme, mereka berbeda pendapat mengenai pemakaian wanita
atau perempuan. Yang setuju terhadap kata kunci perempuan, memperjuangkan
makna positif dari kata baku “empu”. Maka perempuan adalah yang dihormati
sebagai “empu”: yang diempukan. Empu dimaknai gurunya guru yang sudah makan
garam kehidupan, sedangkan mereka ini kurang pas dengan kata kunci wanita.
Padahal setelah
meminta penjelasan dari ahli bahasa Sanskerta, yaitu Prof Edi Sedyawati,
makna wanita positif sekali artinya, yaitu sebagai “yang diharapkan”, yang
bisa dijadikan sandaran. Dan ketika saya menimpali, apakah bisa pula diartikan
sebagai “yang dihasrati”, jawabannya bisa diartikan demikian tetapi dalam
bingkai kelangsungan hidup yang berlaku pula untuk lelaki. Tanpa hasrat maka
kelangsungan hidup dan evolusinya akan berhenti.
***
Hasrat berkuasa di
dalam hasrat untuk terus hidup menemukan ungkapan nyatanya dalam wacana,
diskusi bahkan di tingkat bahasa ucap sebagai ekspresi saat-saat ini. Di
ranah politik arti positifnya sebagai strategi, siasat cerdas agar kuasa
dipakai untuk mencapai tujuan sejahteranya warga “polis”/kota kecil.
Sedangkan arti negatifnya sebagai pokil laku tindak memenangkan kepentingan
pemilik kuasa mencapai tujuannya dengan segala cara, maka di situ sejarah
peradaban yang ingin membangun keadaban manusia melalui politik yang beretika
dan bersumber dari moralitas akan menolak praktik-praktik kekuasaan yang
biadab.
Justru di sini, hasrat
untuk hidup dan di dalamnya bermuara hasrat untuk berkuasa diuji praksisnya
dalam pisau irisan akal sehat dan moralitas nurani dalam dua wilayah. Yang
pertama, will to power bersumber
dari hasrat untuk membunuh, mematikan lawan-lawan dalam persaingan agar tetap
hidup; dan inilah naluri hasrat kematian atau death instinct yang dalam bahasa purba disebut thanatos, hasrat mengalahkan dan
mematikan saingan hidup demi survival-nya. Kedua, live instinct atau hasrat untuk melahirkan hidup, merawatnya dan
menumbuhkannya. Bila direnungi isinya, wilayah hasrat untuk berkuasa
mempunyai bahasa kepentingan untuk dipenuhi, sementara hasrat untuk hidup
sebagai life instinct memiliki
wilayah bahasa nilai atau yang dipandang dan dihayati sebagai berharga dalam
hidup ini.
Benturan dua insting
atau naluri itu ada dalam diskresi manusia atau pertimbangan akal budinya
yang rasional dan nuraninya yang hening menimbang lalu memilih antara nilai
yang berperang berhadap-hadapan dengan kepentingan.
Sekolah pendidikan
nilai, dalam hal ini pembatinan dan pendarahdagingan pada manusia apa-apa
yang dipahami sebagai baik, dipandang sebagai benar, dihayati sebagai suci
dan dirasakan sebagai indah dalam hidup ini agar setiap makhluk hidup tetap survival, atau hidup terus ketika
berhadap-hadapan dengan kenyataan yang dimotori oleh kepentingankepentingan
yang saling berkecamuk, ternyata membaginya dalam perang antara putih (simbol
keutamaan, yang baik, yang bernilai) melawan yang hitam (simbol yang jahat,
yang merusak hidup dan yang death
instinct).
Bahasa ungkapan perang
yang putih lawan yang hitam itu diabadikan dalam ajaran-ajaran kebijaksanaan
hidup sebagai perang terus menerus antara kebaikan versus kejahatan. Maka
itu, kita jumpai ajaran perang kurusetra antara yang putih yaitu pandawa dan
yang hitam ialah kurawa. Dalam diri manusia pun, perang ini dinarasikan
simbolis, namun dipersonifikasikan sebagai perlawanan terus antara setan dan
malaikat. Wajah narasi penghakiman untuk pahala bagi pemilih jalan mengikuti
yang putih dan kebaikan adalah masuk ke surga, sedangkan jalan lawannya
adalah masuk ke neraka.
Teks-teks ajaran
kebijaksanaan hidup dibahasakan dengan larangan-larangan untuk berbuat jahat
dan dukungan untuk berbuat baik, lalu disumberkan pada kitab suci yang
memiliki perwahyuan bagi nabi atau sang guru kebenaran yang lalu diyakini
sebagai acuan perilaku hidup baik karena keyakinan bahwa ajaran suci ini
diwahyukan oleh yang Ilahi. Sedangkan agamaagama bumi menyumberkan ajaran
kebaikan dengan membaca dan menghayati harmoni dalam semesta sebagai jagat
besar dan jagat kecil bersama manusia.
Apakah hasrat berkuasa
itu hitam, sementara hasrat untuk hidup itu putih?
Keterbatasan jalan
pikiran renung yang dikotomik atau memperlawankan kenyataan hidup sebagai dua
wilayah yang putih versus yang hitam, pertama-tama ditengahi atau diberi
jalan tengah sebagai dirangkum dan diterimanya dua kekuatan itu sebagai silih
berganti mana yang sedang berkuasa di atas dalam hal putih (kebaikan) harus
sadar nanti akan berputar ke bawah.
Yang kedua, paham
dalam yang putih saling membutuhkan dan mengisi dengan yang hitam justru
untuk dinamika gerak kosmos, kita kenal dalam pandangan seimbang Yin dan Yang
atau kain poleng (hitam putih Bali) yang silih berganti untuk dinamika
harmonisasi. Artinya, daya hidup Yin membutuhkan Yang, begitu pun Yang
membutuhkan Yin entah dimaknai energi perempuan yang butuh laki-laki dan
sebaliknya energi hidup lelaki butuh perempuan.
Yang ketiga, mencoba
memakai pendekatan deskripsi fenomenologis yaitu membiarkan realitas
menggejala ke kita untuk dialami lalu manusia menyikapinya as such as it is: sebagaimana adanya.
Untuk jalan ketiga inilah, tema pokok hasrat untuk hidup dan kehendak atau
hasrat berkuasa ingin kita deskripsikan apa adanya di realitas hidup nyata
kita untuk disikapi. Realitas hidup ini dalam deskripsi apa adanya secara
gejala nyata adalah abu-abu. Artinya, antara yang putih (yang baik) dan yang
hitam (yang jahat) itu berkelindan, campur sebagai tidak seluruhnya putih dan
tidak seluruhnya hitam.
Ya itu tadi : abu-abu.
Maka sebenarnya, pada
masa puasa saudara-saudariku yang muslim, saya ingin bersama- sama ikut
merenungkan bahwa dalam realitas abu-abu kita inilah, sekecil cuatan kuas
atau tindakan memberi warna putih, sesungguhnya akan membuat yang abu-abu
menjadi lebih putih.
Bila kita sepakat yang
putih adalah kebaikan, kalau semakin banyak yang mewarnai realitas Tanah Air
yang abu-abu dengan yang putih, maka makin putihlah dan makin menanglah
kebaikan di sini. Kalau tindakan menghitamkan merajalela, akan semakin kelam
hitam pekat kenyataan riil yang sudah abu-abu ini. Dengan kata lain, hasrat
untk hidup berbagi dan peduli semoga lebih kuat daripada hasrat untuk
berkuasa demi kepentingan ego-ego hitam naluri anti kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar