Etika Puasa
Agus Muhammad, ; Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah
Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 26 Juni 2015
Orang Barat mengatakan
nobody's perfect, tidak ada manusia
sempurna. Dengan nada yang hampir sama, di kalangan Muslim tradisional
terdapat pepatah al-Insanu mahallul
khatha' wan nis'yan, manusia tempatnya salah dan khilaf.
Dua ungkapan di atas
adalah peringatan kepada kita semua agar selalu berusaha menuju kesempurnaan,
bukan sebaliknya, menjadi pembenaran bagi kealpaan. Justru karena manusia
tidak sempurna, maka harus ada upaya serius agar tidak terus terjebak dalam
kekhilafan. Puasa adalah sarana menuju kesempurnaan. Puasa Ramadhan adalah
cara Tuhan melatih umat-Nya agar selalu ada peningkatan kualitas, baik
sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial.
Melalui pembiasaan
yang dilakukan secara disiplin selama sebulan penuh, umat Islam diharapkan
bisa mencapai derajat paling tinggi di mata Allah SWT, yakni derajat takwa.
Perintah puasa adalah sarana menuju ketakwaan (QS Al Baqarah: 183). Dan,
orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa (QS Al
Hujuraat:13).
Tangga kesempurnaan
Sebagai sarana menuju
kesempurnaan, puasa tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebagaimana
kehidupan sosial, pelaksanaan puasa juga ada etikanya. Itulah sebabnya, Imam
Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumaddin
membagi puasa dalam tiga level. Puasanya orang awam (shaumul 'am), puasanya orang istimewa (shaumul khash), dan puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash).
Pada level pertama,
orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa
level kedua, di samping menahan nafsu perut dan kelamin, juga berusaha
mencegah mata, mulut, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lainnya dari
perbuatan maksiat. Puasa level ketiga adalah puasa hati dari segala pikiran
dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari Allah.
Dalam konteks ini,
Al-Ghazali sesungguhnya tidak sedang membicarakan puasa dalam kategori
sosial. Sebagai guru sufi, Imam Ghazali sesungguhnya sedang membicarakan
puasa sebagai tangga menuju kesempurnaan. Puasa adalah pelatihan menuju
perbaikan karakter.
Secara implisit Imam
Ghazali ingin memberi pesan moral agar puasa umat Islam dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Sebab, jika kualitas puasa tidak pernah beranjak dari
level puasa awam, maka orang tersebut termasuk kategori khasir, merugi.
Nabi bersabda,
"Barang siapa yang keadaan amalnya hari ini lebih jelek dari hari
kemarin, maka ia terlaknat. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari
kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini
lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung."
(HR Bukhari)
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah disebutkan bahwa orang yang puasa
hanya pada level pertama, ia sesungguhnya tidak mendapat apa-apa kecuali
lapar dan dahaga.
Ibarat latihan, puasa yang
tidak meningkat levelnya dari tahun ke tahun, berarti latihan selama sebulan
penuh menjadi tidak ada artinya. Sebuah latihan disebut berhasil jika
melahirkan peningkatan yang signifikan.
Etika sosial
Puasa adalah kombinasi
dari latihan disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual.
Seseorang yang dilatih disiplin fisik saja tidak menjamin lahirnya disiplin
moral, apalagi disiplin spiritual. Puasa adalah kombinasi dari ketiganya.
Sebagai latihan
disiplin fisik, kita dituntut untuk melakukan pembiasaan sedemikian rupa,
baik dari segi waktu maupun pola makan dan minum. Agar disiplin fisik bisa
berhasil, puasa juga mengharuskan kita melakukan pembiasaan untuk menahan
seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela. Dari pembiasaan inilah diharapkan
lahir disiplin moral.
Lebih dari itu, puasa
juga mengajarkan kita untuk terlatih dengan disiplin spiritual. Berbagai
jenis ibadah sangat dianjurkan dalam bulan puasa, mulai dari membaca Al
Quran, shalat sunah, khususnya tarawih, i'tikaf, hingga amal ibadah yang
berdimensi sosial, seperti infak, zakat, dan sedekah. Amalan-amalan ini
begitu dianjurkan dengan pahala yang begitu besar.
Dalam hadis qudsi
dinyatakan, "Setiap kebajikan mendapat pahala 10 hingga 700 kali lipat,
kecuali puasa itu sendiri. Itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."
(HR Al-Bukhoriy dan Malik)
Keberhasilan puasa
Keberhasilan puasa
akan ditentukan sejauh mana latihan disiplin fisik, moral, dan spiritual
tersebut bisa menjadi etika sosial. Inilah yang dimaksudkan hadis yang
diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Thabrani: sebaik-baik manusia adalah yang
memberi manfaat bagi orang lain.
Oleh karena itu, puasa
pada dasarnya juga latihan untuk mengasah kepekaan dan kepedulian sosial.
Pesan moral ini tidak hanya terlihat dari tidak makan dan minum sebagai
ekspresi empati terhadap kelompok sosial yang tidak mampu, tetapi juga
ditunjukkan dengan kewajiban untuk menunaikan zakat menjelang akhir puasa.
Fakir dan miskin adalah kelompok sosial yang menempati urutan teratas sebagai
pihak yang berhak untuk menerima
zakat.
Islam sangat
menekankan etika sosial. Puasa melatih kita untuk berempati terhadap kelompok
lain, terutama kelompok yang termarjinalkan, baik dari segi ekonomi, sosial,
budaya, agama maupun etnis. Banyak sekali ayat dalam Al Quran yang secara
eksplisit maupun implisit menganjurkan amal saleh.
Secara sederhana, amal
saleh adalah perbuatan baik yang menimbulkan manfaat, kebaikan, dan
kemaslahatan bagi diri sendiri dan orang lain. Amal saleh juga adalah
perbuatan yang bisa mencegah dan menjauhkan diri dan orang lain dari
perbuatan yang tercela, dilarang atau yang menimbulkan kesulitan, kerusakan
dan kemudaratan.
Yang menarik adalah
bahwa di dalam Al Quran, kata iman dan amal saleh disebutkan secara
beriringan di 71 tempat. Empat di antaranya disebut bersamaan dengan kata
tobat. Kata amanu (beriman) sendiri terulang 258 kali dalam Al Quran, dan
kata `amilus shalihat (amal saleh) terulang 53 kali.
Begitu kuatnya
penekanan Al Quran terhadap iman dan amal saleh ini sehingga secara implisit
ingin ditegaskan bahwa iman tanpa amal saleh tidak ada artinya. Toshihiko
Izutsu (1983), seperti dikutip Izza Rohman Nahrowi (2008), melukiskan kaitan
antara iman dan amal saleh "seperti bayangan yang mengikuti bentuk
bendanya".
Puasa yang dilakukan sepenuh
hati tidak hanya dapat melahirkan pribadi yang matang secara moral dan
spiritual, tetapi juga memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Integrasi
disiplin fisik, disiplin moral, dan disiplin spiritual merupakan prasyarat
penting menuju tegaknya etika sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar