Sabtu, 27 Juni 2015

KPK dan Kekuatan Demokrasi Kepemimpinan

KPK dan Kekuatan Demokrasi Kepemimpinan

  Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ELIMINASI korupsi di bangsa ini tampaknya masih mem butuhkan kerja berkeri ngat. Jumat (19/6) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali meringkus sekaligus mempersangkakan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatra Selatan, Syamsudin Fei, Ketua Fraksi PDIP DPRD Kabupaten Muba Bambang Karyanto, anggota DPRD Muba Fraksi Gerindra Adam Munandar, dan Kepala Bappeda Kabupaten Muba Faisyar.

Mereka terkena operasi tangkap tangan (OTT) saat sedang melakukan suap-menyuap terkait dengan pembahasan APBD Perubahan Muba 2015. Saat OTT, penyidik KPK menemukan uang tunai sekitar Rp2,567 miliar dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu dalam sebuah tas. KPK juga menggeledah rumah Bupati Muba Pahri Azhari. Ia dikenai permohonan cekal bepergian ke luar negeri oleh KPK. Persekongkolan hitam elite politik, birokrasi, dan legislatif tersebut memperpanjang daftar aksi rasywah uang rakyat oleh lapisan pemuka negeri ini, juga kian meneguhkan hasil riset Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti (2007) bahwa penyebaran korupsi di daerah sudah di level akut.

Sudah banyak kepala daerah diteralibesikan karena korupsi beramai-ramai tersebut. Daerah megapmegap dililit defisit fiskal karena kebocoran anggaran pembangunan, distribusi kue pembangunan mengalami stagnasi, hak-hak dasar dan kebutuhan konkret rakyat tak terbayarkan oleh pelbagai kebijakan yang lebih propemewahan elite (pemaksimalan gaji, tunjangan, gedung, mobil dinas pejabat). Proses penyempitan pembuluh darah investasi pemerintah untuk menstimulasi kegiatan ekonomi lokal pun terus mewarnai kemelut efektivitas otonomi daerah, tetapi ia tetap tak membekaskan pertobatan dan trauma para elite. Di sisi lain, para penyelenggara pengawasan pembangunan dan penegak hukum, termasuk elite cendekia di daerah, seperti ikut menari dalam irama kebusukan praktik politik pemerintahan korup tersebut.

Siasati serius

Tingginya `nafsu makan' uang haram para penyelenggara negara di pusat ataupun lokal ini harus disiasati serius jika tak ingin negara berada di ambang dehidrasi kekuatan menyejahterakan rakyatnya. Sudah begitu lama kampanye antikorupsi (yang dilembagakan mulai skala kecil: sekolah antikorupsi dari SD sampai universitas, kantin kejujuran, hingga pembekalan antikorupsi dalam ritual-ritual keagamaan). Hingga skala besar lewat penguatan pengawasan birokrasi, kerja politik, regulasi efisiensi birokrasi serta efektivitas penegakan hukum ditabuh. Entah sudah berapa banyak koruptor dari tingkat menteri sampai kepala desa yang menghuni `hotel prodeo'. Namun, asa kolektivitas untuk melihat korupsi sebagai sentrum perlawanan tak kunjung menggumpal dan menebar ancaman serius.

Segala asumsi dan tesis moral, keimanan yang dijadikan penjelas kenapa korupsi terjadi sudah sering diajukan. Namun, dalam banyak kejadian, para koruptor justru datang dari kalangan beriman dan taat beribadah. Muncul kemudian teori perilaku organisasi yang melegitimasi seseorang untuk bertindak menyimpang (korup) karena pengalaman dan lingkungan kerjanya (Ely Susanto, 2009). Konteks lingkungan yang mengaminkan korupsi sebagai cara `bertahan hidup' dan karenanya tak ada urusannya dengan prinsip moral, hukum, membuat orang yang mulanya bersih ujungnya tergoda pula korupsi karena dibenarkan tatanan sosial dan kerja di sekitarnya.

Ini yang kemudian menjustifikasi alasan kenapa orang-orang berlatar belakang intelektual bagus, keluarga terhormat dengan atribut keimanan yang kuat, ikut pula terseret dalam perangai korupsi ketika masuk di lingkungan kerja (politik) yang bergerak dan hidup dengan sistem dan cara kerjanya sendiri. Artinya, faktor personalitas dan kelembagaan memang menjadi variabel pokok yang menjelaskan kenapa imunitas terhadap korupsi tak kunjung hadir walau sistem pemerintahan, kepemimpinan, slogan antikorupsi tiap rezim terus berganti dari waktu ke waktu. Secara tak langsung hal ini pun menjawab kenapa republik ini bagaikan ruang yang subur bagi lahirnya manusia poietis: manusia yang selalu berubah-ubah pendirian dan selalu mencari-cari peluang baru (Kusumohamidjojo, 2015).

Kultur korupsi yang kini diekstensifi kasi secara masif dalam dunia kekuasaan merupakan gambaran pemultiplikasian peluang dengan segala cara untuk menjadikan politik sebagai media melestarikan kekuasaan.

Hancurkan

Sebagai organ yang lahir dari rahim sejarah, KPK sudah selayaknya menyerahkan pundaknya sebagai tumpuan ekspektasi publik. KPK perlu meredefinisi energi dan fokus serta lokus aksinya ketika konteks kekuasaan hari-hari ini memperlihatkan bagaimana lembaga-lembaga birokrasi, legislatif, yudikatif, parpol, ataupun korporasi (pada 2013 kebetulan lembaga tersebut oleh Global Corruption Barometer/GCB dinilai sebagai lembaga terkorup), baik di pusat maupun di daerah dibajak oleh kekuatan antidemokrasi yang sistemis dan masif. Kekuatan ini membangun sebuah realitas sungsang dan menakutkan di masyarakat bahwa korupsi di tingkat struktur elite akan sulit diperangi KPK karena akan turut memengaruhi stabilitas sosial politik.

Preseden tersebut harus dihancurkan karena tak ada kejahatan korup di negara mana pun yang bisa menstabilkan kinerja kekuasaan, apalagi untuk bergerak menciptakan kemakmuran material masyarakat. Di road-map pemberantasan korupsi KPK 2012-2023, sektor APBN, pertambangan, pangan, dan infrastruktur merupakan sektor-sektor yang menjadi fokus aksi KPK. Guna merealisasikannya, tak mungkin KPK menjadi pemain tunggal. Sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan merupakan syarat mutlak. Karena itu, ketiga lembaga tersebut mestinya memiliki road-map yang sama dan sejalan untuk membangun strategi pencegahan dan perlawanan korupsi.

Di sinilah peran kekuatan demokrasi kepemimpinan sangat diharapkan untuk menyediakan sumber daya dan dukungan politik yang substansial bagi kerja kolektif eliminasi korupsi tersebut. Kita bersyukur Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menggencarkan perlawanan terhadap praktik pelemahan negara lewat korupsi melalui program Nawa Cita-nya. Namun, pengalaman kepemimpinan yang sudah-sudah membuat kita harus menempelkan kewaspadaan serius di balik harapan: bahwa era Jokowi harus benar-benar menjadi sebuah harapan baru ketimbang sekadar pemain baru dalam panggung lama sandiwara korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar