KPK dan Kekuatan Demokrasi Kepemimpinan
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2015
ELIMINASI korupsi di bangsa ini tampaknya
masih mem butuhkan kerja berkeri ngat. Jumat (19/6) malam, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kembali meringkus sekaligus mempersangkakan Kepala Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Musi Banyuasin
(Muba), Sumatra Selatan, Syamsudin Fei, Ketua Fraksi PDIP DPRD Kabupaten Muba
Bambang Karyanto, anggota DPRD Muba Fraksi Gerindra Adam Munandar, dan Kepala
Bappeda Kabupaten Muba Faisyar.
Mereka terkena operasi tangkap tangan (OTT)
saat sedang melakukan suap-menyuap terkait dengan pembahasan APBD Perubahan
Muba 2015. Saat OTT, penyidik KPK menemukan uang tunai sekitar Rp2,567 miliar
dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu dalam sebuah tas. KPK juga menggeledah
rumah Bupati Muba Pahri Azhari. Ia dikenai permohonan cekal bepergian ke luar
negeri oleh KPK. Persekongkolan hitam elite politik, birokrasi, dan
legislatif tersebut memperpanjang daftar aksi rasywah uang rakyat oleh
lapisan pemuka negeri ini, juga kian meneguhkan hasil riset Rinaldi, Purnomo,
dan Damayanti (2007) bahwa penyebaran korupsi di daerah sudah di level akut.
Sudah banyak kepala daerah diteralibesikan
karena korupsi beramai-ramai tersebut. Daerah megapmegap dililit defisit
fiskal karena kebocoran anggaran pembangunan, distribusi kue pembangunan
mengalami stagnasi, hak-hak dasar dan kebutuhan konkret rakyat tak
terbayarkan oleh pelbagai kebijakan yang lebih propemewahan elite
(pemaksimalan gaji, tunjangan, gedung, mobil dinas pejabat). Proses
penyempitan pembuluh darah investasi pemerintah untuk menstimulasi kegiatan
ekonomi lokal pun terus mewarnai kemelut efektivitas otonomi daerah, tetapi
ia tetap tak membekaskan pertobatan dan trauma para elite. Di sisi lain, para
penyelenggara pengawasan pembangunan dan penegak hukum, termasuk elite
cendekia di daerah, seperti ikut menari dalam irama kebusukan praktik politik
pemerintahan korup tersebut.
Siasati serius
Tingginya `nafsu makan' uang haram para
penyelenggara negara di pusat ataupun lokal ini harus disiasati serius jika
tak ingin negara berada di ambang dehidrasi kekuatan menyejahterakan
rakyatnya. Sudah begitu lama kampanye antikorupsi (yang dilembagakan mulai
skala kecil: sekolah antikorupsi dari SD sampai universitas, kantin
kejujuran, hingga pembekalan antikorupsi dalam ritual-ritual keagamaan). Hingga
skala besar lewat penguatan pengawasan birokrasi, kerja politik, regulasi
efisiensi birokrasi serta efektivitas penegakan hukum ditabuh. Entah sudah
berapa banyak koruptor dari tingkat menteri sampai kepala desa yang menghuni
`hotel prodeo'. Namun, asa kolektivitas untuk melihat korupsi sebagai sentrum
perlawanan tak kunjung menggumpal dan menebar ancaman serius.
Segala asumsi dan tesis moral, keimanan yang
dijadikan penjelas kenapa korupsi terjadi sudah sering diajukan. Namun, dalam
banyak kejadian, para koruptor justru datang dari kalangan beriman dan taat
beribadah. Muncul kemudian teori perilaku organisasi yang melegitimasi
seseorang untuk bertindak menyimpang (korup) karena pengalaman dan lingkungan
kerjanya (Ely Susanto, 2009). Konteks lingkungan yang mengaminkan korupsi
sebagai cara `bertahan hidup' dan karenanya tak ada urusannya dengan prinsip
moral, hukum, membuat orang yang mulanya bersih ujungnya tergoda pula korupsi
karena dibenarkan tatanan sosial dan kerja di sekitarnya.
Ini yang kemudian menjustifikasi alasan kenapa
orang-orang berlatar belakang intelektual bagus, keluarga terhormat dengan
atribut keimanan yang kuat, ikut pula terseret dalam perangai korupsi ketika
masuk di lingkungan kerja (politik) yang bergerak dan hidup dengan sistem dan
cara kerjanya sendiri. Artinya, faktor personalitas dan kelembagaan memang
menjadi variabel pokok yang menjelaskan kenapa imunitas terhadap korupsi tak
kunjung hadir walau sistem pemerintahan, kepemimpinan, slogan antikorupsi
tiap rezim terus berganti dari waktu ke waktu. Secara tak langsung hal ini
pun menjawab kenapa republik ini bagaikan ruang yang subur bagi lahirnya
manusia poietis: manusia yang selalu berubah-ubah pendirian dan selalu
mencari-cari peluang baru (Kusumohamidjojo, 2015).
Kultur korupsi yang kini diekstensifi kasi
secara masif dalam dunia kekuasaan merupakan gambaran pemultiplikasian
peluang dengan segala cara untuk menjadikan politik sebagai media
melestarikan kekuasaan.
Hancurkan
Sebagai organ yang lahir dari rahim sejarah,
KPK sudah selayaknya menyerahkan pundaknya sebagai tumpuan ekspektasi publik.
KPK perlu meredefinisi energi dan fokus serta lokus aksinya ketika konteks kekuasaan
hari-hari ini memperlihatkan bagaimana lembaga-lembaga birokrasi, legislatif,
yudikatif, parpol, ataupun korporasi (pada 2013 kebetulan lembaga tersebut
oleh Global Corruption Barometer/GCB
dinilai sebagai lembaga terkorup), baik di pusat maupun di daerah dibajak
oleh kekuatan antidemokrasi yang sistemis dan masif. Kekuatan ini membangun
sebuah realitas sungsang dan menakutkan di masyarakat bahwa korupsi di
tingkat struktur elite akan sulit diperangi KPK karena akan turut memengaruhi
stabilitas sosial politik.
Preseden tersebut harus dihancurkan karena tak
ada kejahatan korup di negara mana pun yang bisa menstabilkan kinerja
kekuasaan, apalagi untuk bergerak menciptakan kemakmuran material masyarakat.
Di road-map pemberantasan korupsi
KPK 2012-2023, sektor APBN, pertambangan, pangan, dan infrastruktur merupakan
sektor-sektor yang menjadi fokus aksi KPK. Guna merealisasikannya, tak
mungkin KPK menjadi pemain tunggal. Sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan
merupakan syarat mutlak. Karena itu, ketiga lembaga tersebut mestinya
memiliki road-map yang sama dan
sejalan untuk membangun strategi pencegahan dan perlawanan korupsi.
Di sinilah peran kekuatan demokrasi
kepemimpinan sangat diharapkan untuk menyediakan sumber daya dan dukungan
politik yang substansial bagi kerja kolektif eliminasi korupsi tersebut. Kita
bersyukur Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menggencarkan perlawanan
terhadap praktik pelemahan negara lewat korupsi melalui program Nawa
Cita-nya. Namun, pengalaman kepemimpinan yang sudah-sudah membuat kita harus
menempelkan kewaspadaan serius di balik harapan: bahwa era Jokowi harus
benar-benar menjadi sebuah harapan baru ketimbang sekadar pemain baru dalam
panggung lama sandiwara korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar