Kasus Engeline dan Opini Publik
Yasmin Muntaz ; Pemerhati Media; Alumnus Pascasarjana FHUI
|
KORAN SINDO, 26 Juni 2015
Sudah sebulan lebih
berita Engeline mewarnai media. Bocah cantik itu telah menjadi perhatian
publik sejak diberitakan hilang. Kasusnya semakin menyita perhatian setelah
bocah delapan tahun itu ditemukan tak bernyawa pada 10 Juni lalu. Hingga
tulisan ini dibuat, kasus pembunuhan Engeline masih menjadi headline karena pelakunya masih
”misterius”.
Kita semua mafhum,
pelaku kekerasan terhadap anak bisa siapa saja, baik orang tua kandung maupun
orang tua tiri/angkat. Namun, dalam kasus Engeline, stigma ibu tiri/angkat
yang ”kejam” terasa begitu kuat. Masyarakat seolah sedang menyaksikan drama
kekejaman ibu angkat dan penetapan Margriet sebagai tersangka pembunuhan,
ibarat sesuatu yang ditunggu-tunggu.
Padahal, fakta tidak
mesti sejalan dengan opini masyarakat dan tidak dapat ”disinkronkan”.
Timbulnya kecurigaan terhadap sang ibu angkat tentunya bukan berdasarkan
stigma semata. Memang ada beberapa kejanggalan yang telah mengemuka di media
dan masyarakat terkait lokasi ditemukannya jasad bocah malang itu. Namun,
aparat belum menemukan bukti yang mengarah pada Margriet sebagai tersangka
pelaku pembunuhan. Margriet baru menjadi tersangka penelantaran anak.
Dalam kasus kriminal,
media seringkali berpihak pada korban. Ketika berpihak pada korban,
pemberitaan dapat menjadi bias karena empati ikut berperan di dalamnya. Di
sejumlah tayangan, porsi wawancara dengan narasumber pun terasa kurang
berimbang. Disengaja atau tidak, pakar yang diundang ternyata banyak yang
mengarah pada keterlibatan sang ibu angkat. Tuduhan terhadap Margriet pun
seolah dengan bebas bisa dilontarkan di media, dalam hal ini di televisi.
Sejumlah media sempat
menayangkan kecurigaan Hamidah (ibu kandung Engeline) terhadap Margriet
dengan cara ”digelontorkan” begitu saja sehingga durasinya menjadi panjang.
Bahkan ada media yang memberi efek looping
(pengulangan) dan echo (gema) pada
suara tangis sang ibu kandung, juga dengan durasi yang cukup panjang. Tentu
saja itu dapat mempermainkan emosi pemirsa.
Seperti media lain,
tayangan berita di televisi juga terikat pada kaidah jurnalistik. Sesuai
ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang
diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di mana untuk program
siaran berita, media harus memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik.
Antara lain akurat,
adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beriktikad buruk, tidak menghasut dan
menyesatkan (misleading), tidak
mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, dan lain-lain. Program harus
menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) dalam peliputan dan tidak melakukan penghakiman.
Memang tidak semuanya
demikian. Masih ada tayangan yang mencoba berimbang dengan menampilkan
narasumber yang memiliki angle
berbeda. Namun, pendapat narasumber tersebut kalah gaungnya dengan opini yang
ada. Apalagi, media kurang banyak menggali keseharian Margriet dari sisi yang
”tidak negatif”.
Saat ini memang
pemberitaan media sudah lebih berimbang dibandingkan pada awal penemuan jasad
Engeline. Namun, opini publik yang telanjur terbentuk masih sulit bergeser
dari ”praduga bersalah” (presumed
guilty) terhadap Margriet sang ibu angkat.
Beberapa waktu lalu
sempat ada tudingan bahwa pembunuhan siswi kelas 2 SD itu suatu ”konspirasi”
dengan motif harta warisan. Banyak media yang mem-blow up tudingan tersebut tanpa dikritisi. Padahal, sebagai anak
angkat, sesungguhnya Engeline tidak berhak atas warisan. Kalaupun iya, itu
harus tertuang dalam surat wasiat. Karena ayah angkat Engeline memiliki istri
dan anak kandung, secara hukum tidaklah mungkin bagi anak angkat untuk
menerima sebagian besar harta. Meski sudah dibantah oleh pengacara Margriet,
tak urung isu ini semakin memperkuat opini yang berkembang di masyarakat.
Dalam rangka
menyajikan berita yang lebih objektif, media bisa mengkritisi dua hal.
Pertama, soal saksi mahkota. Mengapa aparat terkesan begitu yakin dengan
pengakuan Agus, padahal keterangannya kerap berubah-ubah? Dengan menyebut
Agus sebagai saksi mahkota, artinya polisi sudah menyimpulkan ada tersangka
lain. Karena saksi mahkota hanya ada dalam kasus kriminal yang dilakukan
secara bersama-sama (sehingga seorang tersangka/terdakwa dijadikan saksi
untuk tersangka/terdakwa lainnya). Kalau memang polisi yakin ada tersangka
lain, mengapa belum ditetapkan? Padahal Agus sudah dinyatakan sebagai saksi
mahkota sejak pekan lalu.
Hal kedua yang perlu
dikritisi adalah soal kekerasan seksual. Apakah kekerasan seksual pada
akhirnya sudah dipastikan benar-benar tidak ada, atau meragukan, karena tidak
dapat ditemukan? Dalam sebuah tayangan sempat dibahas: jika ada kekerasan
seksual, tersangkanya mengarah pada Agus. Sedangkan jika tidak ada,
kecurigaan mengarah pada Margriet. Lantas bagaimana jika tanda-tanda
kekerasan seksual tidak bisa ditemukan akibat jarak antara kejadian dan
penemuan jasad sudah hampir satu bulan? Atau, bagaimana jika akhirnya
ditemukan jejak-jejak kekerasan seksual, namun polisi berpegang pada
pengakuan Agus yang menyeret keterlibatan sang ibu angkat?
Semua perlu dikritisi
media agar tidak timbul kesan bahwa polisi berada dalam tekanan dan sedang
bekerja keras agar pengungkapan kasus ini dapat ”dicocokkan” dengan opini
publik.
Aparat kepolisian
memang tidak bisa serta-merta menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya
berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat. Aparat bekerja dalam koridor
hukum dan berdasarkan alat bukti. Jika pada akhirnya Agus ditetapkan sebagai
pelaku tunggal karena tidak terdapat alat bukti yang cukup untuk menetapkan
Margriet (atau orang lain) sebagai tersangka pembunuhan, media memiliki tugas
untuk meluruskan opini publik. Jangan ada lagi judul berita di media yang
mengesankan bahwa kasus ini masih misterius dan belum sepenuhnya tuntas
karena (seharusnya) masih ada tersangka lain dan sebagainya.
Polisi pun harus punya
penjelasan atas sejumlah kejanggalan agar publik tidak meragukan hasil
penyidikan. Sebaliknya, jika aparat menemukan bukti dan menetapkan Margriet
sebagai tersangka pembunuhan anak angkatnya, media pun perlu bersikap
objektif dengan mengkritisi. Tujuannya adalah dapat dipastikan bahwa
penetapan tersebut betul-betul karena ada kesesuaian antara tersangka dan
alat bukti, bukan ”disesuaikan” dengan opini publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar