Pers, Mahasiswa, dan Kedaulatan Rakyat
Gunarto ; Ketua Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA MERDEKA, 17 Juni 2015
SEJUMLAH aktivis
kampus dan elemen organisasi kemahasiswaan se-Indonesia, termasuk di kota
Semarang, menggelar aksi demonstrasi dalam peringatan Hari Kebangkitan
Nasional pada 20 Mei 2015.
Isu yang mereka usung
sangat kontroversial, yakni turunkan Presiden Joko Widodo karena dinilai
gagal menstabilkan harga BBM, tak mampu merenegosiasikan kontrak kerja
industri pertambangan dengan negara asing, dan terus membumbungnya nilai
dolar terhadap rupiah (SM, 21/5/15). Pada akhir aksi terjadi insiden yang
dirasakan melecehkan insan pers.
Seorang aktivis
mahasiswa peserta aksi di depan Gedung DPRD Jawa Tengah mengatakan,’’ media
dhobol dan hanya mau memberitakan kalau ada proyek.” Pernyataan tersebut
merugikan pers dan masyarakat, bahkan ada tuntutan pernyataan tersebut dibawa
ke ranah hukum dengan tuduhan mencemarkan nama baik wartawan.
Aktivis mahasiswa itu
telah meminta maaf secara spontan dengan pernyataan maaf secara tertulis
kepada seluruh media massa. Bahkan terjadi islah setelah ada mediasi antara
PWI Jawa Tengah dan pimpinan fakultas serta aktivis mahasiswa di kantor
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng (SM, 26/5/15).
Namun insiden itu
melahirkan pesan serius bahwa mahasiswa yang berjuang untuk kedaulatan rakyat
belum seluruhnya menjiwai makna dan fungsi pers dalam menegakkan kebebasan
pers, yang merupakan ciri utama kedaulatan rakyat.
Pasal 2 UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan,’’kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan,
dan supremasi hukum.”
Sistem Sosial
Kausalitas ketidakpahaman
mahasiswa terhadap makna kebebasan pers sebagai perwujudan kedaulatan rakyat
juga bagian dari produk sistem sosial, dan mahasiswa berada di dalamnya.
Sistem sosial masyarakat saat ini berciri individualisme, pragmatisme dan
materialisme, sangat jauh dari sistem masyarakat zaman pendiri negara ini
yang berciri gotong royong, menjunjung idealisme dan berorientasi kepentingan
kesejahteraan bangsa. Dengan kata lain sistem sosial sangat berpengaruh bagi
perkembangan kebebasan pers serta pemahaman mahasiswa tentang hakikat
kebebasan pers.
Perkembangan kebebasan
pers Indonesia menurut Fred S Siebert dan Wibur Schram (2006) membedakan
teori kebebasan pers menjadi empat, yaitu teori pers otoriter, teori pers
liberal, teori pers komunis, dan teori pers tanggung jawab sosial. Dalam pers
otoriter, pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa.
Pers dimanfaatkan negara untuk menginformasikan program pembangunan dan pers
tidak boleh mengkritik.
Sebaliknya, teori pers
liberal beranggapan pemerintah dilarang campur tangan kepada pers karena
hakikatnya manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh
rasio di mana kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan hidup
manusia.
Sintesis kedua teori
pers di atas melahirkan teori pers tanggung jawab sosial. Dasar fundamental
dari teori ini adalah kebebasan pers yang harus disertai tanggung jawab
kepada sosial masyarakat. Yakni, tugas hakiki pers dalam mewujudkan kebenaran
dan keadilan, meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa (Konsideran Huruf b UU Nomor 40 Tahun 1999).
Bagaimana supaya ke
depan tidak terulang, dan mahasiswa bisa menjadi garda terdepan untuk
mengawal kebebasan pers sebagai perwujudan utama kedaulatan rakyat? Selain
itu, bagaimana merekonstruksi kemitraan media dan mahasiswa dalam mencapai
tujuan yang lebih besar, yaitu keterwujudan kebenaran dan keadilan,
kesejahteraan seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertama;
secara yuridis UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan undang-undang
pers terbaik untuk melahirkan kebebasan pers sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat.
Bandingkan dengan UU
Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 4 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982
tentang Pokok-Pokok Pers, sebagai produks rezim Orde baru yang sangat
represif. Namun ke depan perlu terus menyosialisasikan UU Nomor 40 Tahun 1999
khususnya kepada mahasiswa, buruh, kelas menengah dan penegak hukum.
Kedua; secara
sosiologis ketidakpahaman mahasiswa terhadap kebebasan pers sebagai pilar
utama kedaulatan rakyat juga merupakan problematika sosial yang lebih luas.
Untuk itu gagasan UU Pers dan Kode Etik Wartawan masuk dalam kurikulum
perguruan tinggi sebagai mata kuliah wajib, perlu diapresiasi oleh dunia
kampus dan tokoh-tokoh masyarakat.
Ketiga; secara
filosofis kebebasan pers sesungguhnya bertujuan mewujudkan kebenaran dan
keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa
yang merupakan substansi dari cita-cita kedaulatan rakyat. Untuk itu,
diperlukan fungsi negara untuk melindungi dan melaksanakan kebebasan pers
sebagai wujud kedaulatan rakyat. Perwujudannya adalah dengan memberikan
dukungan dana lewat APBN dan APBD provinsi dan kabupaten/- kota, sampai
betul-betul dilaksanakan kebebasannya oleh seluruh elemen di republik ini.
Keempat; perlu
penguatan pers kampus lewat jalinan kemitraan aktivis mahasiswa dengan PWI,
semisal dalam seminar bersama, focus group dicussion (FGD) guna meningkatkan
pengelolaan dan profesionalisme pers kampus.
Terlebih bila melihat
sejarah tokoh-tokoh pers yang berjuang memerdekakan Indonesia adalah
wartawan-wartawan yang dilahirkan di kampus, seperti WR Supratman, sebagai
pencipta lagu ‘’Indonesia Raya’’ atau Bung Tomo yang memelopori gerakan
perlawanan terhadap penjajah di Surabaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar