Menjaga Ekspektasi Pertumbuhan Ekonomi
Aunur Rofiq ; Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
|
KORAN SINDO, 29 Juni 2015
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal pertama tercatat paling lambat dalam lima tahun
terakhir. Pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 hanya mencapai 4,71%, atau di
bawah ekspektasi pemerintah sebesar 5,1%. Pencapaian ini lebih rendah dari
pertumbuhan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,14%.
Penurunan ekonomi
selama kuartal I/2015 mengindikasikan adanya penurunan aktivitas ekonomi.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini, meningkatkan risiko di sektor usaha dan
perbankan. Dari sisi kegiatan ekspor impor, dalam kuartal I/2015 ekspor turun
11,7% sementara impor juga anjlok hingga 15%. Sejumlah indikator seperti
penjualan ritel, properti, automotif, dan penjualan semen juga dilaporkan
lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Otoritas moneter
juga menyampaikan realisasi penyaluran kredit tidak setinggi harapan semula.
Permintaan sektor
industri juga menurun. Sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor
terbesar penyumbang perekonomian, menunjukkan penurunan aktivitas ekonomi
sebesar 0,71% dibandingkan kuartal IV/2014. Industri yang mengalami penurunan
produksi seperti industri barang galian bukan logam turun 6,64%, peralatan
listrik turun 4,74%, industri kayu, barang dari kayu dan gabus serta barang
anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya turun 4,38%, pengolahan tembakau
turun 3,15% dan lainnya.
Penurunan aktivitas
ekonomi juga disebabkan turunnya konsumsi masyarakat akibat naiknya harga
barang keperluan sehari-hari serta penurunan jumlah tenaga kerja yang
terserap oleh dunia usaha. Jumlah tenaga kerja yang tidak terserap bertambah
sebagai imbas dari turunnya aktivitas ekonomi pada kuartal I tersebut.
Tekanan yang dihadapi
dunia industri berdampak terhadap menciutnya kesempatan kerja. Menurut Badan
Pusat Statistik, jumlah penganggur di Indonesia dalam kurun satu tahun
terakhir saja telah bertambah sekitar 300.000 orang dengan total per Februari
2015 mencapai 7,4 juta orang.
Sementara dari sisi
perbankan, pertumbuhan kredit hanya mencapai 12 persen dalam kuartal I/2015.
Kondisi likuiditas industri perbankan juga lebih longgar pada kuartal I/2015
dibanding periode yang sama pada kuartal I/2014. Efek dari perlambatan ini,
Bank Indonesia (BI) harus menampung dana dari kelebihan likuiditas perbankan.
Sejumlah bank yang mengalami kelebihan likuiditas karena minim permintaan
kredit, memilih memarkirkan dana di BI daripada dananya menganggur.
Sebenarnya, imbal
hasil penempatan dana di BI lebih kecil dibandingkan bank menyalurkan kredit.
Misalnya per Maret 2015, bank akan memperoleh imbal hasil 6,13% dari
penempatan dana di BI. Sedangkan jika disalurkan menjadi kredit, bank akan
memperoleh imbal hasil sekitar 10,52%.
Dalam kondisi
penurunan aktivitas ekonomi seperti saat ini, perbankan memiliki risiko jika
mengejar pertumbuhan laba terlalu tinggi. Jika mengejar pertumbuhan terlalu
tinggi, akan berdampak pada kredit macet (NPL).
Otoritas moneter juga
memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga deposit facility pada 5.50% dan lending facility pada 8,00%. Keputusan
tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga agar inflasi berada pada sasaran
inflasi 4,1% pada 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan
ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka
menengah.
Sebagaimana laporan
Bank Indonesia, Indonesia mencatat perbaikan kinerja neraca transaksi
berjalan pada kuartal I/2015. Posisi neraca transaksi berjalan Indonesia pada
periode itu mengalami penurunan defisit menjadi USD3,8 miliar, setara dengan
1,8% dari produk domestik bruto (PDB). Jurang defisit transaksi berjalan
tersebut melandai dibandingkan dengan posisi pada kuartal IV/2014 yang
mencapai USD5,7 miliar atau 2,6% terhadap PDB. Tentu saja, perbaikan kinerja
neraca transaksi berjalan itu menyiratkan optimisme. Hanya, tren perbaikan
itu harus berkelanjutan, seperti perbaikan neraca transaksi berjalan bukan
sekadar impor minyak yang anjlok, sehingga mencuatkan kecemasan dalam jangka
panjang manakala harga minyak kembali melonjak.
Menjaga Ekspektasi
Meski ekonomi tengah
melemah, Indonesia tetap dianggap sebagai negara yang punya potensi besar
untuk tetap tumbuh. Dalam kondisi realisasi investasi dan belanja pemerintah
yang belum optimal, ekspor yang masih lemah, pilihan untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi.
Dari sisi konsumsi,
Indonesia masih memiliki kelas menengah yang besar sebagai pendorong
pertumbuhan konsumsi masyarakat. Menurut Boston Consulting Group (BCG) pada
2013, golongan kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang
dan di prediksi pada 2020 angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar
54% dari total penduduk Indonesia.
Data tersebut
memperkuat keyakinan bahwa ekspektasi masa depan ekonomi masih tetap positif.
Konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, di mana saat ini
sekitar 60% pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Hal ini bisa menjadi
pendorong bagi masuknya investasi. Indonesia membutuhkan banyak investasi
saat ini, untuk mengoptimalkan perekonomian yang masih tumbuh di bawah
potensinya.
Untuk kuartal II/2015,
ada peluang ekonomi tumbuh lebih tinggi mengingat ada pengeluaran pemerintah
(goverment expenditure) yang baru
diluncurkan semester kedua, yang diharapkan bisa membawa dampak positif
terhadap pergerakan ekonomi.
Dalam APBN Perubahan
2015, belanja pemerintah pusat dialokasikan senilai Rp1.319,5 triliun. Dari
jumlah itu, terdapat Rp290,3 triliun yang dialokasikan untuk belanja
infrastruktur. Belanja untuk pembangunan infrastruktur ini diharapkan bisa
menimbulkan multiplier effect
terhadap peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta, sehingga
sektor riil kembali bergerak. Jika sektor riil bergerak maka akan mendorong
pertumbuhan investasi dan konsumsi.
Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi kuartal I/2015 mencapai
Rp124,6 triliun. Ini naik 16,9% dari masa sebelumnya, Rp106,6 triliun.
Realisasi investasi tiga bulan pertama 2015 terdiri atas penanaman modal
dalam negeri (PMDN) Rp42,5 triliun, naik 22,8%, serta penanaman modal asing
(PMA) Rp82,1 triliun atau naik 14,01%. Pada tahun 2015, pemerintah
menargetkan investasi Rp524 triliun.
Dalam kondisi ekonomi
yang melemah, pemerintah harus memberikan perhatian terhadap sektor-sektor
yang memiliki prospek tumbuh dan menyerap banyak tenaga kerja serta mampu
dibiayai perbankan. Dalam kuartal I/2015, beberapa kegiatan produksi yang
tumbuh positif adalah lapangan usaha informasi dan komunikasi sebesar 10,53%.
Sektor lainnya adalah lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang
tumbuh 14,63%. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar