Menuju Ekonomi Berbasis Konstitusi
Didin
S Damanhuri, ;
Guru Besar Ekonomi IPB; Ketua Lingkar Kajian
Ekonomi Nusantara (L-KEN); Tenaga Ahli Lemhamnas; Anggota Aktif Aliansi
Kebangsaan
|
KOMPAS, 27 Juni 2015
Saya masih ingat saat mengunjungi
pabrik Nokia, telepon genggam yang saat itu menguasai 35 persen pasar global,
akhir 2005. Harga Nokia Communicator di Finlandia Rp 18 juta, sementara di
Indonesia Rp 12 juta. Walaupun
Finlandia adalah negeri produsennya, harga produk belum tentu lebih murah.
Mengapa?
Jawabannya adalah
"ideologi ekonomi". Dengan harga lebih tinggi, Finlandia ingin
mempertahankan kesejahteraan buruh. Studi saya pada 2004 atas 70 negara
memang menunjukkan kesejahteraan pekerja di negara-negara Skandinavia (termasuk
Finlandia) dan Jepang, tertinggi di dunia. Kendati demikian, elite pengusaha
Finlandia justru memakai telepon genggam murah dan naik kendaraan umum.
Gaya hidup sederhana
kaum elite di negara dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi di dunia ini terkait dengan
ideologi sosialisme-demokrasi Skandinavia.
Porsi pendapatan 40 persen penduduk terbawah melebihi 22 persen PDB.
Sementara di negara-negara berhaluan liberal, seperti Amerika Serikat, kurang
dari 17 persen. Ini kontras dengan negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Umumnya, porsi pendapatan 40 persen penduduk terbawah kurang dari
17 persen PDB yang berarti dalam tingkat ketimpangan buruk.
Fakta ini
memperlihatkan bahwa ideologi pembangunan negara berkorelasi dengan
pencapaian keadilan sosial penduduknya. Finlandia dan negara-negara
Skandinavia dengan tingkat pemerataan terbaik di dunia, misalnya, secara
ideologis berhaluan sosialisme-demokrat.
Ciri pemerataan paling
khas negara-negara itu, antara lain, sistem jaminan sosial yang menyeluruh.
Negara mengontrol kaum pemodal dari usaha menguasai pasar dan mengendalikan
negara. Fenomena terakhir ini justru tak terjadi di negara berkembang.
Ciri selanjutnya
adalah tingkat kepemerintahan yang tinggi. Otoritas publik Finlandia
berkinerja bersih dengan indeks korupsi hampir 100. Juga gerakan koperasi
yang secara aktif dianggotai 70 persen penduduk. Ini diimbangi serikat buruh
yang kuat, dengan posisi tawar yang tinggi sehingga buruh negara ini paling
sejahtera di dunia. Negara juga menerapkan sistem pajak progresif untuk
penduduk berpendapatan tinggi, yang memungkinkan redistribusi kekayaan lewat
Sistem Jaminan Sosial.
Kondisi Indonesia
Ideologi ekonomi
Indonesia tertuang dalam pasal-pasal UUD 1945, terutama Pasal 27, 33, dan 34.
Jika dirangkai, bunyinya, "Sistem ekonomi Indonesia disusun sebagai
usaha bersama berdasar asas kekeluargaan". Cabang-cabang produksi
penting dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara, termasuk
kekayaan alamnya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak dan ada sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Artinya, secara
normatif bangsa ini punya modal konstitusi untuk menyejahterakan dan mencapai
keadilan sosial seperti termaktub dalam Konstitusi-UUD 1945 itu. Akan tetapi,
setelah 70 tahun merdeka, problem paling mendasar di negeri ini justru
pencapaian keadilan sosial tersebut.
"Ekonomi
konstitusi" ternyata tidak
diterjemahkan dengan tegas ke dalam sebuah "model pembangunan",
undang-undang (UU), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan visi
Presiden. Bahkan, selama masa reformasi terdapat 112 UU yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Yang mencolok adalah
UU Bank Indonesia (BI) dan UU Perbankan. Keduanya absen dari klausul
pertimbangan yang mencantumkan Pasal 27 UUD 1945. Akibatnya, tak ada
keharusan bagi BI dan perbankan nasional mendorong penciptaan kesempatan
kerja, termasuk absennya prinsip inklusi finansial yang memungkinkan kalangan
usaha kecil dan menengah (UKM) mengakses perbankan nasional.
Tak kurang pentingnya
adalah UU Lalu Lintas Devisa-kini tengah menghadapi judicial review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan
Muhammadiyah. UU ini membebaskan devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri.
Akibatnya, ada dana sekitar 150 miliar dollar AS yang tidak bisa digunakan
memperkuat likuiditas perbankan nasional. Selain memperlemah posisi rupiah,
kondisi ini juga semakin memperkecil peluang UKM memperoleh akses perbankan.
UU Migas juga
bermasalah karena memberi peluang divestasi Pertamina hingga di atas 51
persen. Suatu saat, sebagai konsekuensi, harga migas bisa ditentukan pasar,
bahkan di luar negeri sekalipun.
Dari semua itu, yang
terbesar adalah asumsi pembangunan yang mendekati taraf "kepercayaan
ekonomi". Sejak dekade 1970-an hingga sekarang, asa "memakmurkan
rakyat sebesar-besarnya" sebagaimana amanah Pasal 33 UUD 1945 tidak mungkin
dicapai. Ini karena proses pembangunan sejak tahun 1970-an hingga sekarang
masih sangat berorientasi PDB.
Sekilas, asumsi ini
tak bermasalah sepanjang pertumbuhan identik dengan kemakmuran. Masalahnya,
pertumbuhan ternyata tidak bersandar pada sektor riil, tetapi pada sektor
finansial. Ini menjelaskan mengapa artis Luna Maya atau Cut Tari, sekadar
contoh, beralih profesi dari bintang film menjadi host program hiburan
televisi.
Fenomena ini berkaitan
dengan PDB yang disumbang sektor komunikasi. Sebab, yang ditekankan adalah share-nya terhadap profit yang pada
gilirannya dapat dihitung terhadap share
sektor di mana dia bekerja terhadap PDB itu. Begitu juga pembangunan jalan
tol lebih marak daripada pembangunan jalan kereta api, irigasi, dan bendungan
dengan alasan sama. Padahal, kereta api, irigasi, dan bendungan lebih
berdampak terhadap perluasan kesempatan kerja.
Dalam konteks
orientasi PDB, fakta ini absah, bahkan dibutuhkan. Sensitivitas terhadap
sumbangan pertumbuhan ini, dengan demikian, dimulai dari orientasi paling
mikro, perorangan, rumah tangga, diukur pada hal paling sensitif terhadap
pertumbuhan PDB. Ini berarti, yang tidak sensitif akan ditinggalkan.
Sektor penopang
Dalam perspektif
tersebut, perlu diketahui bahwa PDB ditopang pilar atau sektor-sektor.
Umumnya topangan terdiri dari sembilan sektor: pertanian, industri,
perbankan, jasa, perdagangan, dan seterusnya. Namun, yang dianggap penggerak
semua sektor itu adalah bank karena untuk alasan asumsi ekonomi makro yang
sangat spesifik, kinerja bank yang bersifat sentralistik bisa memenuhi. Semua
bank sentral adalah penjaga kemakmuran dunia.
Inilah yang
menjelaskan mengapa bank menjadi pilar pendongkrak pertumbuhan. Namun, demi
meliput seantaro daerah atau bahkan dunia, pemberlakuan branch banking system
menjadi tak terelakkan.
Dalam pelaksanaannya,
terjadi pemusatan otoritas yang tecermin pada lokasi kantor pusat. Tak
mengherankan, BI, sebagai bank sentral, berlokasi di ibu kota Jakarta. Hal
yang sama berlaku pada bank-bank sentral lainnya. Intinya, semua pengaturan
moneter harus terpusat. Akibatnya, terjadi proses penyedotan dana dari
wilayah pinggiran.
Sifat sentralistik
inilah yang mengandung masalah. Dengan orientasi PDB yang secara struktural
menggelar branch banking system,
terjadi proses "pengeringan" likuiditas dana daerah. Dana yang
memusat itu dialokasikan kepada para debitor sekitar kota metropolis, seperti
Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung.
Mengapa? Sebab,
kota-kota metropolis inilah yang sensitif terhadap pertumbuhan. Pada tingkat
dunia, dana terkonsentrasi di pusat-pusat dana global, terutama di New York
Stock Exchange, Amerika Serikat.
Implikasinya cukup
besar. Pertama, muncul hierarki konsentrasi modal global, di mana New York
Stock Exchange menempati puncak teratas. Kedua, muncul pula hierarki negara berdasarkan
kemampuan mengakumulasi kapital, di mana Amerika Serikat bersama Tiongkok
menempati tempat teratas.
Semua fakta ini
menjadi faktor penghalang pelaksanaan "ekonomi konstitusi". Apa
yang diperlukan? Seperti negara-negara Skandanivia, kuncinya adalah
menumbuhkan active state yang
konsisten menjabarkan ideologi ekonominya dalam kebijakan pemerintah secara
menyeluruh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar