Menanti Hero Atasi Kelesuan Ekonomi
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo
|
KORAN SINDO, 27 Juni 2015
Apakah saat ini
Indonesia tengah dilanda krisis ekonomi seperti 1997? Pertanyaan ini wajar
mengemuka ketika kita disuguhi kondisi yang begitu memprihatinkan secara
ekonomi, daya beli masyarakat menurun, pertumbuhan ekonomi masih jauh dari target,
dan melambungnya harga-harga kebutuhan bahan pokok pascafluktuasi harga bahan
bakar minyak (BBM).
Di sisi lain langkah
dan kebijakan pemerintah untuk mendongkrak ekonomi pun tak kunjung tiba. Arah
pemerintah yang mencoba mengurangi subsidi dengan menekankan pada sektor
infrastruktur dinilai tepat untuk jangka panjang pembangunan ekonomi di
negeri ini. Namun, dalam jangka pendek imbas yang langsung dirasakan oleh
rakyat adalah tarikan beban ekonomi yang cukup berat.
Kebijakan pemerintah
akan fluktuasi harga BBM dan tiadanya gebrakan yang ampuh untuk mengendalikan
nilai tukar rupiah yang cenderung melemah semakin membawa dampak psikologi
publik untuk masuk dalam kondisi kelesuan ekonomi. Tidak heran kemudian jika
dalam benak publik bertanya, apakah benar kita sedang mengalami dan atau
menghadapi krisis ekonomi?
Tentu, bayangan publik
masih menyimpan memori yang hangat menjelang akhir 1997, krisis ekonomi dan
moneter hampir serentak melanda negara-negara Asia di antaranya Indonesia,
Korea Selatan, dan Thailand. Saat itu nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika anjlok sampai Rp15.000 hanya dalam rentang waktu kurang dari setengah
tahun.
Lalu, apakah benar
saat ini sedang mengalami dan atau menghadapi krisis? Tentu jika dibandingkan
memori 1998, krisis kali ini bisa jadi tidak berbeda meski dengan derajat
yang tidak sama.
Namun, psikologi
publik tidak akan berbohong. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok,
terutama menjelang bulan puasa dan Lebaran, adalah rentetan gejolak ekonomi
yang cenderung melemah dalam enam bulan sejak pemerintahan baru di bawah
kendali Joko Widodo- Jusuf Kalla dilantik.
Ancaman PHK
Salah satu hal yang
cukup mengkhawatirkan adalah munculnya sejumlah kasus pemutusan hubungan
kerja (PHK). Lihat saja apa yang terjadi pada sejumlah pekerja PT Holcim
Indonesia yang menolak PHK yang dilakukan perusahaan itu. Awal Mei lalu
ratusan pekerja perusahaan tersebut tidak bisa beraktivitas seperti biasa
karena terkena dampak perampingan perusahaan. Serikat Pekerja Holcim
Indonesia menyatakan ada 350 pekerja yang terkena dampak perampingan
perusahaan yang tersebar di sejumlah kantor cabang di Jakarta, Bogor, dan
Cilacap.
Hal yang sama juga
terjadi pada puluhan ribu karyawan industri sepatu dan alas kaki serta
industri tekstil yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan. Hal
ini menyusul penurunan produksi sebagai imbas pelemahan daya beli yang terasa
sejak awal 2015. Angka PHK selama 2015 tercatat sekitar 40.000 orang.
Data sementara yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik yang diolah Pusat Data dan Informasi
Kementerian Perindustrian mencatat industri tekstil dan pakaian jadi pada
triwulan I-2015 mengalami pertumbuhan minus 1%. Pertumbuhan ini lebih rendah
dibanding periode sama pada 2014 yakni 3%. Pertumbuhan industri kulit, barang
dari kulit, dan alas kaki triwulan I tahun ini 3,4%, melambat dibanding
periode sama 2014 sebesar 6,4%.
Hal yang sama juga
terjadi pada industri di Tangerang. Melemahnya nilai tukar rupiah di kisaran
Rp13.200 per dolar Amerika cukup memengaruhi kegiatan produksi industri di
Kota Tangerang, Banten. Penggunaan bahan baku impor yang tidak sebanding
dengan harga jual produk di tingkat lokal berdampak pada membengkaknya biaya
produksi. Jika nilai rupiah masih tertekan hingga tiga bulan ke depan, bukan
tidak mungkin pengusaha akan mulai melakukan efisiensi tenaga kerja yakni
pengurangan karyawan. Patut kita waspadai pasca-Lebaran bakal terjadi PHK
yang cukup besar.
Rindu Hero
Tentu publik memiliki
harapan besar pada perubahan ekonomi yang lebih baik. Momentum bulan puasa
dan Lebaran adalah saat yang paling tepat untuk meningkatkan gerak ekonomi
masyarakat. Namun, tentu itu semua kembali pada kemampuan daya beli publik.
Respons pasar selama ini cenderung melemah, padahal di awal pemerintahan
Jokowi-JK dilantik, respons pasar begitu kuat dengan menguatnya nilai tukar
rupiah dan kenaikan indeks harga saham gabungan di pertengahan Oktober 2014.
Namun, pemerintah
gagal merawat modal sosial berupa kepercayaan pasar tersebut. Boleh jadi ini
sekadar problem komunikasi semata. Upaya pemerintah mendongkrak sektor
infrastruktur, terutama yang mendukung gerak ekonomi, tentu hal itu menjadi
sinyal positif ke depan. Namun, pemerintah semestinya juga menyiapkan
skenario jangka pendek dan menengah untuk segera memberi resep yang mujarab
guna menangani dampak psikologi publik yang cenderung terganggu akibat
kenaikan beban ekonomi di satu sisi dan penurunan daya beli di sisi yang
lain.
Jika pemerintah tidak
segera melakukan gebrakan dan langkah yang konkret, terutama jelang bulan
puasa dan Lebaran ini, tentu masyarakat akan berpaling mendambakan sosok
pahlawan atau hero yang benar-benar bisa menjamin perbaikan ekonomi. Tentu,
sosok hero itu semestinya diperankan oleh pemerintah sebagai tanggung
jawabnya dalam melindungi segenap anak bangsa dan menciptakan kesejahteraan
sosial. Publik tentu berharap hero itu bukan jalan pintas seperti yang
terjadi di akhir 1997 yang melahirkan gejolak politik untuk mendegradasi
rezim akibat masyarakat marah dan lapar yang tak kunjung dijawab oleh
pemerintah. Masyarakat kita hari ini rindu kehadiran hero yang solutif. Wallahu alam bishawwab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar