Perpustakaan Piringan Hitam
Kelik M Nugroho ; Kolektor Piringan Hitam
|
KORAN TEMPO, 26 Juni 2015
Lagu itu dimulai
dengan suara lengkingan biola yang mengalunkan melodi irama Mediteranian.
Suara gitar bas pun mengalunkan beat irama padang pasir. Lalu terdengar lirik: "Dalam cerita
lama tersebut kisah, Abunawas jenaka menghadap raja. Hilang pasti nyawanya
karena bersalah, tapi aneh akhirnya mendapat harta...."
Lagu piringan hitam
tahun 1960-an dari kelompok penyanyi Yanti Bersaudara asal Bandung itu-yang
diputar dengan peranti turntable dan tata suara elektronik canggih-terdengar
dari lantai dua sebuah gedung di asrama Sekolah Insan Cendekia Madani,
Serpong, Tangerang Selatan, suatu hari di bulan Juni 2015. Ini sekolah dengan
konsep asrama yang dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan modern-ruang
kelas ber-AC, aneka laboratorium, perpustakaan hebat, gedung-gedung
berarsitektur dengan konsep tropis, dan perangkat multimedia yang canggih.
Sekolah swasta ini memang sedang merintis pembuatan perpustakaan piringan
hitam musik Indonesia.
Kalau Anda mencari
perpustakaan piringan hitam di Indonesia di mesin pencari Google, yang akan
muncul adalah perpustakaan milik politikus Fadli Zon dan Helmy Faishal Zaini,
yang menyediakan juga koleksi piringan hitam. Atau Galeri Malang Bernyanyi,
yang akan membangun Museum Musik Indonesia, dan situs iramanusantara.org yang
dikelola oleh pengamat musik David Tarigan. Bagaimana dengan perpustakaan
sekolah? Tampaknya baru Sekolah Insan Cendekia Madani di Serpong inilah yang
berinisiatif.
Perpustakaan piringan
hitam musik Indonesia di sekolah niscaya penting untuk banyak hal. Pertama,
untuk kepentingan literasi budaya. Sudah saatnya siswa diperkenalkan pada
warisan musik Indonesia, sebagai pintu masuk untuk mengapresiasi warisan
budaya Indonesia. Kedua, untuk kepentingan literasi teknologi musik. Agar
generasi muda bisa menghargai karya musik, mereka mesti diperkenalkan
perkembangan teknologi musik dari waktu ke waktu. Melek sejarah teknologi
musik ini penting untuk mengembalikan kecintaan mereka pada karya musik,
sebagai imbas tergerusnya kecintaan pada fisik musik akibat menjamurnya
teknologi digital.
Ketiga, untuk
kepentingan perawatan dan pelestarian piringan hitam musik Indonesia. Ketika
perhatian pemerintah terhadap piringan hitam sebagai warisan budaya masih
defisit, upaya-upaya pihak-pihak swasta untuk mengoleksi, merawat, dan
melestarikan piringan hitam musik Indonesia patut diapresiasi. Kita mesti
khawatir bahwa suatu saat bangsa kita akan kesulitan memiliki semua arsip
musik Indonesia, khususnya yang terekam di atas piringan hitam. Ini mengingat
tak semua album piringan hitam dicetak dalam jumlah banyak, sementara
penjualan piringan hitam musik Indonesia sudah memasuki era pasar lintas
negara. Orang bisa membeli piringan hitam melalui toko dan lapak daring.
Juga karena kini sudah
mulai banyak turis asing berburu piringan hitam musik Indonesia di kios-kios
barang antik, seperti di Jalan Surabaya, pasar Taman Puring, dan pusat
penjualan baru di Blok M Square-semua di Jakarta. Sedangkan penjual piringan
hitam kita tak mengenal nasionalisme musik Indonesia. "Maaf Pak, piringan-piringan
ini sudah dipesan oleh orang Jepang," kata seorang penjual vinyl di Blok
M Square. Dia menjual satu set piringan hitam album Chrisye seharga Rp 6
juta. Nah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar