Indeks Anti Korupsi Perusahaan Alutsista
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional
Indonesia
|
KOMPAS, 24 Juni 2015
Setelah pesawat tempur F-16 "Fighting
Falcon" terbakar jelang lepas landas, beberapa waktu lalu, Presiden Joko
Widodo memerintahkan Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk memperbaiki
kebijakan dan proses pengadaan alat
utama sistem persenjataan. Kira-kira ke mana arah perbaikannya?
Pertama, ke masa lalu, perlu dilakukan investigasi
menyeluruh untuk melihat
kemungkinan adanya kecurangan dalam
kebijakan dan proses pengadaan F-16. Menilai kebijakan masa lalu masih dirasa
perlu karena publik masih bertanya-tanya
mengapa memutuskan membeli
(hibah) 24 pesawat tempur uzur (bekas) dari perusahaan
Amerika untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara kita?
Pada 2012, anggaran
untuk menerima hibah itu sekitar 430 juta dolar AS. Apakah kebijakan itu opsi
terbaik saat itu ? Sebelum meminjamkan oditur militer terbaiknya ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), mau dan
mampukah TNI melakukan investigasi ke
dalam? Di masa lalu terbukti peradilan militer mampu menyelesaikan kasus
korupsi yang melibatkan Jenderal Djaja Suparman dengan baik.
Kedua, ke masa
depan, TNI harus memasok alat utama sistem persenjataan (alutsista)
dari perusahaan alutsista yang anti
korupsi. Mencari dan bermitra dengan
perusahaan alutsista anti korupsi
menjadi keniscayaan.
Perusahaan anti korupsi
Tak mungkin TNI
bebas dari korupsi kalau perusahaan penyuplai alutsista-nya
tidak anti korupsi. Korupsi itu hasil interaksi antara sisi permintaan dan
penawaran. Upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan dari kedua sisi. Lamban pupusnya korupsi dalam kehidupan masyarakat barangkali disebabkan kesalahan kita juga yang selama ini terlalu menitikberatkan pencegahan dan
pemberantasan korupsi pada sisi permintaan. Sisi penawaran, dunia bisnis,
kurang mendapat perhatian.
KPK dan penegak hukum
lain ke depan perlu memberikan perhatian lebih pada upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi di sektor bisnis.
Persoalannya bagi TNI sekarang,
adakah perusahaan alutsista yang
berbisnis dengan semangat dan komitmen
anti korupsi?
Transparansi
Internasional cabang Inggris (TI-UK)
sudah lama mengembangkan indeks anti korupsi perusahaan alutsista.
Indeks ini mengukur intensi dan komitmen perusahaan dalam memerangi
korupsi dalam bisnis alutsista. Mengukur komitmen itu dilakukan dengan cara
memeriksa apakah perusahaan tersebut
menganut nilai (etika) dan program anti korupsi. Etika dan program anti korupsi perusahaan tersebut
harus terbuka dan bisa diakses publik.
Ada lima aspek
informasi perusahaan yang digali untuk membangun indeks ini, yaitu: (1)
kepemimpinan, tata kelola, dan organisasi; (2) manajemen risiko; (3) kode
etik dan kebijakan; (4) pelatihan; serta ( 5) personalia dan saluran
pengaduan. Kelima aspek itu dipecah ke dalam 41 pertanyaan. Berdasarkan
kriteria itu perusahaan alutsista dikategorikan dalam enam kategori (band),
yaitu A (buktinya melimpah), B (buktinya banyak), C (buktinya cukup), D
(buktinya terbatas), E (buktinya sangat terbatas), dan F (hampir tak ada
bukti).
Akhir April 2015,
TI-UK meliris hasil survei terkini indeks anti korupsi perusahaan
alutsista. Ada 163 perusahaan
alutsista yang disurvei dari 47 negara.
Temuan utamanya paling menarik
adalah semakin banyak perusahaan alutsista yang serius mengelola risiko
korupsi berbisnis di sektor ini. Indikasinya jelas, selama kurun 2012-2015, jumlah dan
persentase perusahaan alutsista yang
masuk kategori A dan B bertambah
dari 10 (8 persen) menjadi 26 (17 persen). Lebih detail, jumlah
perusahaan masuk kategori A bertambah dari 1 menjadi 4, sementara kategori B
bertambah dari 9 menjadi 22. Jumlah perusahaan yang masuk kategori paling
bawah, F, berkurang dari 46 menjadi 35. Dari 85 perusahaan alutsista yang
masuk kategori D sampai F pada 2012,
29 perusahaan sudah meningkatkan disklosur etika dan program anti
korupsinya kepada publik.
Beberapa
perusahaan alutsista bahkan
memperbaiki risiko korupsinya secara tajam: 3 perusahaan naik 3 peringkat, 9 perusahaan naik 2
peringkat, dan 30 perusahaan naik 1 peringkat. Padahal, kriteria yang dipakai
untuk survei tahun ini 7 persen lebih ketat ketimbang survei tahun 2012.
Pertanyaannya lebih rigid dan pemberian skornya lebih variatif. Misalnya,
pada survei terbaru sudah mulai ditanyakan tentang ada tidaknya offset contract, agenda untuk meninjau
ulang program anti korupsi, donasi perusahaan untuk kegiatan amal, dan whistleblowing system.
Empat perusahaan yang
masuk kategori A adalah Bechtel, Lockheed Martin, Fluor Corporation, dan
Raytheon. Semua berbasis di Amerika Utara. Lockheed Martin adalah
metamorfosis dari General Dynamics yang dulu memproduksi F-16. Prototipe F-16 dikembangkan pada 1970-an
dan diproduksi secara industrial pada
1980-an. Pada zaman itu F-16 termasuk pesawat tempur paling canggih. Meskipun
pesawat bekas itu melalui proses daur
ulang dan refurbikasi, risiko tak laiknya tetap lebih tinggi daripada pesawat
baru.
Pada 1993, General Dynamic
menjual sahamnya ke Lockheed Corporation. Kemudian pada 1995 Lockheed Corporation jadi Lockheed
Martin setelah melalui penggabungan antara Lockheed dengan Martin-Marietta.
Martin- Marietta dulunya juga hasil penggabungan antara Glenn L Martin Company dengan
American-Marrietta Corporation.
Dari sisi pemasok terlihat juga relevansinya
menginvestigasi kebijakan dan proses pengadaan F-16: apakah Lockheed Martin
sudah konsisten dan ajek menerapkan etika dan program anti korupsinya? Tersedianya informasi tentang peringkat
perusahaan alutsista anti korupsi ini memungkinkan kita melakukan pilih
kelir, acak corak: mau dengan siapa kita berbisnis alutsista tanpa korupsi.
PT Dirgantara
Indonesia, satu-satunya perusahaan dari Indonesia yang disurvei, masuk kategori F . Sukhoi, yang memasok
pesawat tempur Sukhoi Su-35, juga
masuk kategori F. Apakah kita akan
meninjau ulang kerja sama bisnis militer dengan Sukhoi karena mereka masuk
kategori F? Mungkin tidak karena
semangat dan komitmen anti korupsi perusahaan bukan satu satunya variabel
dalam menentukan dengan siapa kita mau berbisnis alusista. Sukhoi dan Rusia
tidak mengaitkan bisnis alutsista dengan isu demokrasi atau pelanggaran
HAM. Amerika, sebaliknya, kerap mengaitkan
bisnis alutsista dengan isu demokrasi dan HAM.
Mungkin lebih baik
Sukhoi kita jadikan peluang dan ladang advokasi supaya mereka meningkatkan
dan menerapkan komitmen anti korupsi juga. Demikian juga kelihatannya tak
terhindarkan, ke depan, PT DI dan PT Pindad juga harus mengembangkan dan menerapkan etika dan program anti
korupsi dalam bisnisnya, mendisklor etik dan program anti korupsinya di situs
webnya dan vokal menyuarakan anti
korupsi, baik di lingkungan perusahaan maupun ke publik.
Menaikkan peringkat
Dua langkah tersebut
tampaknya sejalan dengan intensi dan
komitmen Moeldoko mewujudkan
TNI bebas dari korupsi, seperti yang dicanangkan Agustus tahun lalu di
Cilangkap. Pilihan menjadi militer bebas korupsi itu memang harus diambil
karena korupsi di tubuh militer membahayakan
kedaulatan bangsa dan negara, mengancam keamanan dan keselamatan warga, plus
membahayakan keamanan dan keselamatan tentara.
Selain itu, semangat
anti korupsi dalam tubuh dan industri militer
sekarang ini juga sudah mulai
menjadi arus pemikiran utama di
mana-mana. Tampaknya adopsi dan penerapan etika dan program anti korupsi
sudah menjadi standar perilaku baru
bagi perusahaan dalam mengembangkan industri dan bisnis
alutsista.
Besar kemungkinan langkah ini bisa meningkatkan peringkat
kategori risiko korupsi militer kita
dari E (sangat tinggi) saat ini,
taruhlah menjadi C (moderat) dalam
beberapa tahun ke depan. Dalam jangka lebih panjang nanti militer kita
bisa sejajar dengan Australia dan
Jerman yang risiko korupsi militernya sangat rendah (A). Atau dengan
Austria, Norwegia, Korea
Selatan, Swedia, Taiwan, Inggris, dan
Amerika Serikat yang risiko
korupsinya rendah (B).
Untuk melaksanakan
tugas berat dan suci itu, tampaknya Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan
memperpanjang masa kerja dan jabatan Jenderal Moeldoko yang akan pensiun pada
Agustus tahun ini. Opsi lain, Presiden mengangkat panglima baru yang potensial komit dan mampu melaksanakan misi
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar