Mengupayakan Sumber Pangan Alternatif
Karyudi Sutajah Putra ; Pegiat Media, Tinggal di Jakarta
|
SUARA MERDEKA, 14 Juni 2015
MENJELANG Ramadan,
harga bahan-bahan kebutuhan pokok, termasuk beras, naik. Selain karena
inflasi, juga terkait hukum supply and demand. Apalagi pada bulan Ramadan,
ketika konsumsi masyarakat justru meningkat. Meski stok beras diklaim cukup
aman, pemerintah harap-harap cemas antara melakukan impor atau tidak.
Sejatinya, Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah mengupayakan sumber pangan
alternatif selain beras, termasuk sorgum. Namun apa hendak dikata, kebanyakan
rakyat Indonesia lebih memilih beras, dan merasa belum makan bila belum
menyantap nasi. Sebuah data menyebut, konsumsi nasi orang Indonesia mencapai
130 kilogram per tahun per kapita atau 900 gram per orang per hari. Angka ini
dua kali lipat dari konsumsi nasi dunia yang hanya 60 kg per tahun per
kapita. Konsumsi nasi di Indonesia tertinggi di Asia. Jepang menghabiskan
nasi 30 kg, Korea 40 kg, Thailand 70 kg, Brunei Darussalam 80 kg, Malaysia
dan Tiongkok 90 kg per tahun per kapita. Di pihak lain, Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat, angka produksi padi 2014 hanya 69,87 juta ton gabah kering
giling (GKG). Jumlah ini menyusut 1,41 juta ton atau 1,98% dibanding 2013
sebesar 71,28 juta ton GKG. Hingga akhir tahun ini pemerintah menargetkan
produksi GKG sebanyak 73,5 juta ton, sedangkan realisasi produksi GKG
Januari- April 2015 sebesar 31.503.139 ton atau 42,86% dari target. Namun
dari jumlah GKG sebanyak 73,5 juta ton itu, hanya 60% yang bisa dijadikan
beras atau sekitar 44 juta ton.
Hal ini disebabkan
inefisiensi struktur produksi beras yang menyebabkan penyusutan hingga 40%.
Tahan Kekeringan Inspirasi datang dari Pondok Pesantren At-Thoriq di Desa
Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, saat
mengikuti pameran pangan di Jakarta, Sabtu (6/6/15). Ponpes ini memilih
meninggalkan beras dan beralih ke sorgum (Sorghum bicolor L, atau Japonicum)
sebagai makanan pokok sehari-hari. Mereka mengganti menu makan nasi 30
santrinya dengan panganan berbahan dasar sorgum. Ponpes ini pun menanami
lahannya seluas 7.500 meter persegi dengan biji sorgum yang diperoleh dari
Flores, NTT. Alangkah baiknya bila semua ponpes di Indonesia mengikuti jejak
At-Thoriq. Literatur menyebut sorgum adalah keluarga rumput-rumputan, sejenis
jagung. Meski ada banyak jenis sorgum, hanya satu spesies yang ditanam untuk
dikonsumsi manusia, yakni Sorghum bicolor L (Japonicum), sementara yang
lainnya biasa digunakan sebagai pakan ternak. Sorgum adalah tanaman asli
Afrika, namun sekarang bisa ditemukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Di AS, penanaman
sorgum sudah dilakukan sejak 1874. Orang Jawa menyebut sorgum dengan nama
cantel, sedangkan orang Flores menyebutnya watar. Sebagai bahan pangan,
sorgum berada di urutan kelima setelah gandum, padi, jagung, dan jelai. Di
Indonesia, sorgum sudah dibudidayakan terutama di Pulau Jawa, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT. Namun produsen sorgum dunia
didominasi AS, India, Nigeria, Tiongkok, Meksiko, Sudan dan Argentina. Salah
satu sifat khas sorgum adalah daya tahannya terhadap kekeringan dan toleran
terhadap genangan air sehingga sangat cocok ditanam di Indonesia yang
memiliki dua musim: kemarau dan hujan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur, sudah menguji coba untuk
membandingkan sorgum dengan tebu. Sorgum dapat dipanen dua kali per tahun
dengan produksi hingga 5 ton bulir per panen, setara 2,5 ton tepung dengan
biaya produksi sekitar Rp10 juta ton per hektare. Beberapa penelitian
menyebutkan kandungan protein pada biji sorgum sangat tinggi. Dibanding
sumber pangan lain seperti beras, singkong dan jagung, sorgum memiliki kadar
protein tertinggi. Sorgum memiliki keunggulan mineral seperti Ca, Fe, P dan
kandungan vitamin B1 dibanding beras. Nilai gizi sorgum jauh lebih unggul
daripada beras. Kandungan protein 1 gram sorgum ternyata 1,6 kali lipat
beras, zat besi 5,5 kali lipat, fosfor 2,05 kali lipat, 3,1 kali lipat
vitamin B1, 4,7 kali lipat lemak dan 4,6 kali lipat kalsium. Sorgum juga bisa
mencegah penyakit seperti kanker dan diabetes. Bila sudah tahu keunggulan
sorgum, masih tetap bertahankah kita dengan beras dan belum merasa makan bila
belum menyantap nasi? Sudah saatnya kita beralih ke sorgum sebagai makanan
alternatif, dan untuk itu diperlukan political
will pemerintah untuk memandu masyarakat. Ini sejalan dengan tekad
Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan kedaulatan pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar