Puasa dan Belajar dari Kenangan Masa Kecil
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2015
TIDAK dapat diragukan, di antara beragam jenis
ritual dan ibadah dalam Islam, puasa menempati relung ingatan masa kecil yang
selalu bisa diulang terus-menerus. Setiap orang, muslim tentu saja, ketika
berjumpa dengan bulan suci Ramadan, selalu saja ada waktu sesaat untuk
berhenti dan mengingat apa saja yang pernah dilakukan ketika berpuasa di masa
kecil. Pada masa itu, hampir dipastikan setiap anak mulai mengidentifi kasi
makna dosa, kesalahan, pahala, dan sebagainya dalam tingkatan yang masih
sederhana sambil mengolok-olok teman mereka.
Misalnya, meskipun berpuasa, kegiatan bermain
tak pernah berhenti. Main galasin dan petak umpat selalu menjadi favorit.
Ketika ada anak yang terjatuh dan mengeluarkan sedikit darah, teman-temannya
akan bilang puasanya batal. Akhirnya, terjadilah perdebatan versi anak-anak
dengan alasan yang terkadang lucu dan dibuat-buat. Belum lagi ketika pergi ke
sungai dan berenang bersama, setiap anak saling menuding dan curiga sambil
bercanda bahwa teman-teman yang menyelam pasti telinga dan hidung mereka
telah kemasukan air. Akhirnya, mereka berteriak lagi untuk saling menuding
bahwa puasa mereka telah batal.
Norma-norma berpuasa ketika kecil selalu
memiliki ikatan normatif yang kuat ketika dewasa karena kenangan itu bukan
hanya membekas dari proses bermain sambil belajar, melainkan juga dari
kebersamaan ketika berbuka bersama di langgar atau musala, mengaji bersama
sesudah tarawih, dan sahur bersama. Yang juga paling favorit ialah kegiatan
setelah subuh, yaitu bermain di alun-alun sambil memamerkan sarung dan peci
sebagai penanda bahwa kami berpuasa. Akan tetapi, pertanyaannya ialah nilai-nilai
apa yang masih bisa tersisa dari praktik berpuasa ketika kecil tersebut?
Ada banyak kenangan, tetapi silaturahim selalu
menjadi kata kunci yang paling istimewa dari nilai-nilai berpuasa. Berpuasa
bukan hanya perilaku ritual secara individual, melainkan juga perilaku untuk
terus menjalin tali silaturahim dengan seluruh teman dan keluarga. Dari
penuturan dan cerita sederhana tadi, tidak salah bahwa kaum muslim Indonesia
mempunyai kesan yang amat khas tentang Ramadan dan agaknya lebih khas juga
daripada kaum muslim di negara lain.
Ramadan merupakan bulan keagamaan dengan
intensitas ibadah yang tinggi dan akan meninggalkan kesan mendalam bagi
mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadan pada bangsa kita juga tecermin
dalam suasana Lebaran atau Idul Fitri. Karena itu, akan sangat baik jika kita
memahami pelbagai hikmah ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
Know-do-be
Ibadah puasa sangat khas karena menuntut
setiap orang untuk bertanggung jawab secara penuh sebagai seorang manusia.
Puasa bukan hanya sebagai sebuah praktik ibadah yang harus diketahui
(knowing), melainkan juga sebagai ibadah yang menuntut seseorang untuk secara
konsisten melakukan hal-hal yang baik (doing) agar benarbenar menjadi (being)
orang yang baik atau bertakwa.Tujuan pendidikan, baik di keluarga, sekolah,
maupun di masyarakat seyogianya bisa diambil dari praktik berpuasa yang
sedang dilakukan pada Ramadan ini.
Selain itu, penting bagi kita untuk mengetahui
sebuah hadis yang menuturkan adanya firman Tuhan (hadis qudsi), “Semua amal
seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya, kecuali puasa, sebab puasa
itu adalah untukKu, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala.” Itu artinya
puasa merupakan ibadah yang sangat personal karena merupakan rahasia antara
seorang manusia dan Tuhannya. Kerahasiaan itulah inti dan letak perbedaan
seorang manusia dengan Tuhannya. Pasalnya, di dalam ibadah puasa, terdapat
banyak hikmah dan pelajaran yang sangat mendalam. Karena itu, kerahasiaan
ibadah puasa sangat berkaitan erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan
karena antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh,
misalnya, seteguk air yang diminum seseorang ketika ia berada sendirian.
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian
kesadaran tentang adanya Tuhan yang Mahahadir (omnipresent) yang tidak pernah lengah sedikit pun dalam mengawasi
segala tingkah laku hambahamba-Nya. Karena itu, ketika kesadaran kita
berlangsung secara penuh di bawah kendali Yang Mahakuasa, akal pikiran dan
hati kita akan memiliki kemampuan untuk bukan hanya sekedar bisa memahami
arti puasa (knowing), melainkan juga bisa melakukannya (doing) dengan benar
dan menjadikan kita (being) sebagai pribadi yang bertakwa.
Jika kenangan masa kecil hanya sebatas pada
pemahaman yang terbatas karena pengetahuan tentang puasa yang kurang, tidak
demikian ketika kita telah menjadi dewasa.
Itulah yang membedakan perilaku puasa ketika kita kecil dan dewasa.
Pasalnya, ketika dewasa, kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk
menjadikan puasa sebagai sarana membentuk karakter yang kuat.
Pemahaman
tentang siklus puasa sebagai proses belajar dari mengetahui, melakukan, dan
menjadi itulah yang perlu dipahami setiap guru dan kepala sekolah.
Kesadaran untuk menjadikan puasa sebagai
momentum pembentukan karakter anak harus dipahami secara benar agar
nilai-nilai ibadah puasa dapat terus hidup, bahkan ketika Ramadan berakhir.
Sebagai sebuah proses belajar, nilai-nilai puasa harus tetap hidup di dalam
sanubari setiap manusia muslim yang meyakini bahwa hidup pasti berujung pada
pertanggungjawaban setiap perilaku yang kita kerjakan selama hidup. Alasannya
sangat sederhana, inti pendidikan Ilahi melalui ibadah puasa ialah penanaman
dan pengukuhan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan kemahahadiran (omnipresence) Tuhan. Kesadaran itulah
yang melandasi ketakwaan atau merupakan hakikat ketakwaan tersebut. Itu pula
yang membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan
begitu, dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang yang berbudi pekerti
luhur, ber-akhlakul karimah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar