Kamis, 25 Juni 2015

Puasa dan Belajar dari Kenangan Masa Kecil

Puasa dan Belajar dari Kenangan Masa Kecil

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TIDAK dapat diragukan, di antara beragam jenis ritual dan ibadah dalam Islam, puasa menempati relung ingatan masa kecil yang selalu bisa diulang terus-menerus. Setiap orang, muslim tentu saja, ketika berjumpa dengan bulan suci Ramadan, selalu saja ada waktu sesaat untuk berhenti dan mengingat apa saja yang pernah dilakukan ketika berpuasa di masa kecil. Pada masa itu, hampir dipastikan setiap anak mulai mengidentifi kasi makna dosa, kesalahan, pahala, dan sebagainya dalam tingkatan yang masih sederhana sambil mengolok-olok teman mereka.

Misalnya, meskipun berpuasa, kegiatan bermain tak pernah berhenti. Main galasin dan petak umpat selalu menjadi favorit. Ketika ada anak yang terjatuh dan mengeluarkan sedikit darah, teman-temannya akan bilang puasanya batal. Akhirnya, terjadilah perdebatan versi anak-anak dengan alasan yang terkadang lucu dan dibuat-buat. Belum lagi ketika pergi ke sungai dan berenang bersama, setiap anak saling menuding dan curiga sambil bercanda bahwa teman-teman yang menyelam pasti telinga dan hidung mereka telah kemasukan air. Akhirnya, mereka berteriak lagi untuk saling menuding bahwa puasa mereka telah batal.

Norma-norma berpuasa ketika kecil selalu memiliki ikatan normatif yang kuat ketika dewasa karena kenangan itu bukan hanya membekas dari proses bermain sambil belajar, melainkan juga dari kebersamaan ketika berbuka bersama di langgar atau musala, mengaji bersama sesudah tarawih, dan sahur bersama. Yang juga paling favorit ialah kegiatan setelah subuh, yaitu bermain di alun-alun sambil memamerkan sarung dan peci sebagai penanda bahwa kami berpuasa. Akan tetapi, pertanyaannya ialah nilai-nilai apa yang masih bisa tersisa dari praktik berpuasa ketika kecil tersebut?

Ada banyak kenangan, tetapi silaturahim selalu menjadi kata kunci yang paling istimewa dari nilai-nilai berpuasa. Berpuasa bukan hanya perilaku ritual secara individual, melainkan juga perilaku untuk terus menjalin tali silaturahim dengan seluruh teman dan keluarga. Dari penuturan dan cerita sederhana tadi, tidak salah bahwa kaum muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khas tentang Ramadan dan agaknya lebih khas juga daripada kaum muslim di negara lain. 

Ramadan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas ibadah yang tinggi dan akan meninggalkan kesan mendalam bagi mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadan pada bangsa kita juga tecermin dalam suasana Lebaran atau Idul Fitri. Karena itu, akan sangat baik jika kita memahami pelbagai hikmah ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu.

Know-do-be

Ibadah puasa sangat khas karena menuntut setiap orang untuk bertanggung jawab secara penuh sebagai seorang manusia. Puasa bukan hanya sebagai sebuah praktik ibadah yang harus diketahui (knowing), melainkan juga sebagai ibadah yang menuntut seseorang untuk secara konsisten melakukan hal-hal yang baik (doing) agar benarbenar menjadi (being) orang yang baik atau bertakwa.Tujuan pendidikan, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat seyogianya bisa diambil dari praktik berpuasa yang sedang dilakukan pada Ramadan ini.

Selain itu, penting bagi kita untuk mengetahui sebuah hadis yang menuturkan adanya firman Tuhan (hadis qudsi), “Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya, kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untukKu, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala.” Itu artinya puasa merupakan ibadah yang sangat personal karena merupakan rahasia antara seorang manusia dan Tuhannya. Kerahasiaan itulah inti dan letak perbedaan seorang manusia dengan Tuhannya. Pasalnya, di dalam ibadah puasa, terdapat banyak hikmah dan pelajaran yang sangat mendalam. Karena itu, kerahasiaan ibadah puasa sangat berkaitan erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan karena antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalah dibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang diminum seseorang ketika ia berada sendirian.

Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran tentang adanya Tuhan yang Mahahadir (omnipresent) yang tidak pernah lengah sedikit pun dalam mengawasi segala tingkah laku hambahamba-Nya. Karena itu, ketika kesadaran kita berlangsung secara penuh di bawah kendali Yang Mahakuasa, akal pikiran dan hati kita akan memiliki kemampuan untuk bukan hanya sekedar bisa memahami arti puasa (knowing), melainkan juga bisa melakukannya (doing) dengan benar dan menjadikan kita (being) sebagai pribadi yang bertakwa.

Jika kenangan masa kecil hanya sebatas pada pemahaman yang terbatas karena pengetahuan tentang puasa yang kurang, tidak demikian ketika kita telah menjadi dewasa.  Itulah yang membedakan perilaku puasa ketika kita kecil dan dewasa. Pasalnya, ketika dewasa, kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjadikan puasa sebagai sarana membentuk karakter yang kuat. 
Pemahaman tentang siklus puasa sebagai proses belajar dari mengetahui, melakukan, dan menjadi itulah yang perlu dipahami setiap guru dan kepala sekolah.

Kesadaran untuk menjadikan puasa sebagai momentum pembentukan karakter anak harus dipahami secara benar agar nilai-nilai ibadah puasa dapat terus hidup, bahkan ketika Ramadan berakhir. Sebagai sebuah proses belajar, nilai-nilai puasa harus tetap hidup di dalam sanubari setiap manusia muslim yang meyakini bahwa hidup pasti berujung pada pertanggungjawaban setiap perilaku yang kita kerjakan selama hidup. Alasannya sangat sederhana, inti pendidikan Ilahi melalui ibadah puasa ialah penanaman dan pengukuhan kesadaran yang sedalam-dalamnya akan kemahahadiran (omnipresence) Tuhan. Kesadaran itulah yang melandasi ketakwaan atau merupakan hakikat ketakwaan tersebut. Itu pula yang membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan begitu, dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang yang berbudi pekerti luhur, ber-akhlakul karimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar