Masjidpreneurship
Yuswohady ; Managing Partner Inventure
|
KORAN SINDO, 28 Juni 2015
Ide
”masjidpreneurship” muncul dari percakapan saya dengan Mas Yuli Pujihardi,
Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa, suatu sore saat kami ngobrol di sebuah mal
di bilangan Pejaten, Jakarta.
Awalnya ngobrol
ngalor-ngidul, tapi nggak tahu kenapa, ujung-ujungnya kami sampai pada
ngomongin seru mengenai potensi masjid sebagai hub untuk pengembangan ekonomi umat. Saya surprise luar biasa karena apa yang saya pikirkan selama ini
mengenai peran strategis masjid ini rupanya nyambung dengan apa yang
dipikirkan Mas Yuli. Seperti diketahui, seiring dengan munculnya kelas
menengah muslim yang begitu pesat di Indonesia, kini kehidupan masjid kian
modern, terbuka, dan inklusif.
Seperti saya tulis
dalam buku Marketing to the Middle
Class Muslim, masjid kini tak lagi sekadar menjadi tempat untuk
menjalankan kegiatan ibadah mahdhah,
tapi juga untuk menjalankan berbagai kegiatan positif yang membawa
kemanfaatan universal kepada masyarakat luas. Di samping untuk ibadah dan
dakwah, kini masjid juga digunakan untuk mengkaji ilmu, berkesenian,
menjalankan kegiatan sosial, gaya hidup muslim modern, juga pusat kegiatan
ekonomi umat.
Agen Kemakmuran
Pertanyaannya, kok
bisa masjid menjadi hub untuk pemberdayaan ekonomi umat? By nature masjid di desa-desa, di kampong-kampung, di
kompleks-kompleks, di kampus-kampus, bahkan masjid-masjid mentereng di
kawasan elite Ibu Kota sesungguhnya adalah sebuah komunitas. Kenapa? Ya,
karena masjid memiliki jamaah yang berkumpul secara reguler dan mereka
memiliki satu kepentingan yang sama (common
interest) untuk beribadah dan mencari kebaikan di jalan Allah.
Sebagai sebuah
komunitas produktif, seharusnya masjid, takmir, dan jamaahnya bisa menjadi driver bagi pemberdayaan ekonomi di
tingkat grass root. Masjid bisa
menjadi agen kemakmuran. Masjid bisa menjadi hub untuk menjalankan beragam
aktivitas ekonomi (valuecreating
activities) yang memberikan kemanfaatan umat, termasuk di dalamnya
aktivitas bisnis dan perdagangan.
Dengan menjadi unit
ekonomi yang mandiri, komunitas masjid akan memiliki segudang kegiatan
bermanfaat mulai dari kegiatan keagamaan, pendidikan, seni-budaya, sosial,
atau bisnis yang bermanfaat bagi umat. Dan alangkah indahnya jika seluruh
kegiatan itu dibiayai secara mandiri karena adanya pengelolaan bisnis dan
keuangan yang profesional.
Harus diingat, dana
zakat, infak, sedekah, wakaf (ziswaf)
dari jamaah merupakan sumber pendanaan mandiri bagi masjid yang potensinya
luar biasa. Kalau sumber dana ini bisa digalang dan dikelola secara
profesional, fungsi masjid sebagai agen kemakmuran bukanlah sekadar mimpi di
siang bolong.
Format organisasinya
tentu saja bukan murni business
enterprise yang melulu mencari laba (profit-making),
tapi social enterprise di mana
setiap keuntungan yang diperoleh harus sebesar-besarnya dikontribusi untuk kemanfaatan
umat (social welfare). Format
social enterprise ini menurut saya sudah dijalankan secara baik sekali oleh
LAZ (lembaga amil zakat) modern seperti Dompet Dhuafa atau Rumah Zakat.
Lembaga-lembaga ini
dengan sangat baik melakukan penghimpunan dana (fund raising) dan kemudian menggunakannya untuk berbagai
aktivitas yang bermanfaat bagi umat. Menariknya, keseluruhan aktivitas
tersebut dilakukan dengan sangat profesional layaknya business enterprise
dengan manajemen yang tertata rapi. Nah, mestinya masjid-masjid di seluruh
pelosok Tanah Air, besar maupun kecil, juga bisa mengambil model pengelolaan
seperti halnya yang dijalankan LAZ modern tersebut.
Entrepreneurial
Lalu apa syaratnya
agar semua skenario di atas bisa terwujud? Salah satu faktor kuncinya menurut
saya adalah bahwa pengurus (takmir) masjid harus memiliki jiwa kewirausahaan
yang mumpuni. Mereka harus bisa menggalang potensi dana ziswaf dari jamaah,
mengelolanya secara profesional, dan kemudian menggunakannya untuk membesut
beragam program kegiatan untuk memecahkan persoalan riil yang dihadapi jamaah
dan masyarakat luas di sekitar masjid.
Dengan begitu masjid
bukannya tercerabut dari persoalan aktual masyarakat sekitarnya, tapi menjadi
solusi manjur bagi mereka. Saya optimistis dengan konsep masjidpreneurship
karena role model-nya sudah ada. Beberapa masjid hebat (nggak mesti besar)
dikelola dengan jiwa kewirausahaan yang luar biasa oleh takmirnya. Contohnya
adalah masjid Jogokariyan di Yogyakarta.
Masjid ini dikelola
dengan sangat profesional, terutama dalam pengelolaan bisnis dan keuangan.
Menariknya, uang yang dihasilkan oleh sedekah Jumat tiap minggunya tak hanya
disalurkan untuk pembangunan dan perawatan masjid, melainkan juga dikelola
untuk berbisnis. Bisnis itulah yang kemudian terus memberikan penghasilan
bagi kemakmuran masjid, bahkan untuk masyarakat sekitar masjid.
Melalui bisnis
tersebut, disusunlah program-program sosial-kemasyarakatan bagi masyarakat
sekitar Jogokariyan. Pesantren dan Masjid Daarut Tauhid (DT) di Geger Kalong
Bandung adalah contoh lain komunitas masjid dengan spirit kewirausahaan yang
luar biasa. Sejak dirintis oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di tahun
1990, kompleks masjid DT menjadi sebuah kampung wirausaha muslim yang tumbuh
pesat.
Komunitas masjid ini
mengembangkan unit-unit usaha seperti koperasi, jasa travel umrah,
makanan/minuman, bahkan media, untuk menangkap pasar para jamaah dan santri
yang sangat lukratif. Walaupun DT tidak seramai dulu, geliat kewirausahaan
dan aktivitas ekonominya masih tetap terasa dan menjadi role model
kewirausahaan masjid yang solid.
Ketua Umum Dewan
Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla pernah mengungkapkan bahwa jumlah masjid
dan musala di Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 1 juta. Saya
membayangkan, apabila 1 juta masjid tersebut, baik besar-kecil, di kota-desa,
dari Sabang sampai Merauke, bisa dikelola dengan spirit dan kemampuan
kewirausahaan ampuh seperti halnya di Masjid Jogokariyan atau Daarut Tauhid,
dampaknya bagi perekonomian kita akan luar biasa. Masjid bisa menjadi agen
kemakmuran yang pengaruhnya demikian masif bagi bangsa ini. Pertanyaannya:
kapan kita akan mewujudkannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar