Dongeng dari Negeri Tembakau
Mohamad Sobary, ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 26 Juni 2015
Syahdan, kata
orang-orang tua, ada kisah turun-temurun yang sampai di telinga kita. Pada
zaman dahulu ada seorang kakek yang mendaki Gunung Sumbing di Temanggung,
Jawa Tengah. Dalam pendakiannya itu, di suatu tempat, yang sudah dekat dengan
puncak gunung tersebut, sang kakek berteriak dengan perasaan terkejut
bercampur rasa kagum: ”iki tambaku”, inilah obatku.
Apa yang disebut obat
itu? Sang kakek membungkuk dan mencabut sejenis tetumbuhan liar di hutan,
yang belum dibudidayakan petani. Menurut dongeng yang kini menggelantung di
dahan-dahan, di ranting, maupun di pohon-pohon dan di batu-batu, kata
”tambaku” itu berubah bunyi menjadi ”tembako”, kemudian menjadi ”mbako”.
Orang Jawa, sejak dulu hingga kini, menyebutnya ”mbako”. Kita tahu artinya
tembakau yang kita kenal sekarang.
Sejak dulu, ketika
jenis tetumbuhan itu masih liar, hingga sekarang, sesudah dibudidayakan
petani menjadi tanaman yang terpelihara dengan baik, tetumbuhan itu tidak
berubah. Batang dan daun-daunnya masih seperti yang dulu. Batang maupun
daun-daunnya mengandung sejenis ”bulu-bulu” lembut. Bila kita menyentuhnya
dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan yang sedikit ditekan, keluarlah
sejenis cairan yang sedikit berlendir. Jika cairan itu dijilat, rasanya
pahit. Inilah pahit tembakau, yang kita kenal sampai sekarang.
Rasa pahit itu
merupakan sejenis racun yang bisa digunakan sebagai obat. Tidak ada catatan
yang ditinggalkan pada kita, penyakit apa yang bisa diobati dengan tanaman
tersebut. Para leluhur tidak memiliki tradisi mencatat apa yang mereka
kerjakan. Obat dan sistem pengobatan berkembang secara terbatas dan hanya
dikenang berdasarkan ingatan yang juga terbatas.
Begitu suatu generasi
berlalu, sebagian cara pengobatan dan jenis-jenis penyakit yang diobatinya
ikut hilang tertiup badai perubahan. Modernisasi, kemajuan, dan perkembangan
zaman, menelan apa saja yang tak sejalan dengan semangat zaman itu. Tradisi
dan segenap tata cara yang dimuliakan masa lalu juga ikut lenyap. Sistem
pengobatan modern yang lebih maju, lebih efisien, dan mungkin kelihatan lebih
bergengsi mendesak jauh sistem pengobatan nenek moyang kita.
Apa yang modern
bertahan. Yang tua-tua perlahan-lahan lenyap tanpa sisa.
Meskipun begitu, ada
yang tetap tinggal, tak pernah tergusur, dan tetap jaya: tembakau tetap
tembakau. Sistem budi daya tanaman tembakau bukan semakin surut, melainkan
semakin maju. Si kakek yang disebut sebagai penemu bibit tembakau tadi di
dalam dongeng disebut sebagai pemelihara tanaman tembakau. Kakek itu bukan
orang biasa. Orang-orang tua menyebutnya Ki Ageng Makukuhan. Karena beliau
hidup di daerah Kedu, beliau pun bergelar Ki Ageng Kedu.
Beliau juga dikenal
sebagai Prabu Makukuhan, Sunan Makukuhan, Wali Agung Makukuhan. Pada masa
hidupnya, sang wali pernah berguru pada Sunan Kudus. Di dalam dongeng
tersebut, ada tiga serangkai yang bekerja sama dan saling menolong. Sunan
Makukuhan mengurus sistem budi daya tembakau. Sunan Kudus disebut pengolah
produk tembakau. Di zaman itu ada pedagang terkemuka yang menangani penjualan
produk olahan tembakau dari Sunan Kudus. Pedagang itu bernama Dampo Awang,
yang juga dikenal dengan sebutan Panglima Ceng Ho.
Kita tidak tahu
bagaimana tata kelola perdagangan tembakau pada zaman itu. Tapi, kita tahu,
Ceng Ho memiliki kapal besar dan beliau berlayar ke tempat-tempat yang jauh
dari negeri kita. Kecuali dijual di negerinya, China, dapat diduga bahwa
panglima itu juga menjualnya di negeri-negeri lain yang berada dalam jalur
pelayarannya.
Sunan Makukuhan, Sunan
Kudus, dan Dampo Awang bekerja sama dengan baik. Tiap pihak menghormati pihak
lain. Mereka saling membutuhkan. Masing-masing saling melengkapi.
Dongeng dari negeri
tembakau memberitahukan kepada kita bahwa sejak dulu tembakau sudah merupakan
produksi pertanian yang diperdagangkan lintas negara, lintas benua, dan
lintas bangsa. Kita tahu bahwa kelangsungan hidup tanaman tembakau terjaga
dengan baik. Masa hidupnya yang melintasi abad-abad yang begitu panjang.
Konsumen dan produsen bekerja sama, saling membantu, dan saling menolong.
Konsumen bergantung pada produsen, dan sebaliknya, produsen tak bisa
berproduksi tanpa konsumen.
Kisah-kisah masa lalu,
dongeng dari negeri tembakau, tetap hidup pada hari ini. Tembakau, produk
dunia pertanian itu, kaya dengan dongeng dan kisah-kisah yang melibatkan para
tokoh besar yang bukan orang setempat.
Dongeng dari negeri
tembakau menggambarkan jalinan kehidupan yang terjaga secara harmonis. Kita
menikmati kisah kehidupan yang rukun dan damai.
Dongeng dari negeri
tembakau mungkin gambaran sebuah surga kecil di bumi. Ini surga yang
diciptakan dan dipelihara manusia. Di dalamnya alam dan manusia hidup
berdampingan. Manusia menjaga alam. Tapi, manusia juga menikmati keagungan
alam itu bagi keselarasan hidupnya.
Dongeng dari negeri
tembakau itu kisah masa lalu, milik masa lalu, yang kini menjadi milik kita.
Tapi, sekarang muncul dongeng baru: dongeng asing yang menakutkan. Siang
maupun malam para petani di negeri tembakau merasa terancam. Siang maupun
malam hidup mereka tidak tenteram.
Syahdan, di dalam
mimpimimpi mereka terbayang raksasa bule sebesar gunung yang siap mencaplok
seluruh ladang pertanian tembakau yang mereka miliki.
Kalau tanaman
tembakau, satu-satunya sumber kehidupan ekonomi dicaplok habis tanpa sisa,
nasib hari depan para petani pun berada dalam bahaya. Membunuh petani yang
tak punya hari depan sama mudahnya dengan memijit buah tomat. Para petani
akan mati dengan sendirinya.
Raksasa bule sebesar
gunung itu pandai dan kaya raya. Menghadapi politisi, mereka berbicara
politik dengan canggih. Di depan para birokrat, mereka berbicara mengenai
tata kelola pemerintahan yang adil dan demokratis. Di depan orang-orang
kesehatan, mereka berbicara mengenai cara menjaga kesehatan masyarakat. Tapi,
bukan hanya itu. Mereka juga membawa uang yang tak terbatas jumlahnya.
Politisi, para
birokrat, dan orang-orang kesehatan takjub melihat kehebatannya. Mereka pun
terpesona pada kemurahan hatinya. Uang dalam jumlah tak terbatas tadi dibagi-bagi
begitu saja. Tujuannya hanya satu: mereka diminta membantu raksasa bule tadi
menghancurkan kehidupan di negeri tembakau.
Para birokrat,
politisi, dan orang-orang kesehatan diberi tahu bahwa tembakau berbahaya
sehingga harus dihancurkan.
Para birokrat,
politisi, dan orang-orang kesehatan, bekerja dengan sikap dan penuh
pengabdian pada si raksasa bule. Para prajurit masing-masing yang taat dan
patuh sesudah melihat bahwa di balik perintah atasan mereka ada pula uang
yang besar jumlahnya. Para petani tembakau risau. Tapi, kemudian mereka
melawan dengan gigih. Mereka mempertahankan hak hidup yang terancam.
Dongeng dari negeri
tembakau pun kemudian bertambah satu babak baru: babak perlawanan terhadap
ancaman raksasa bule sebesar gunung yang dibantu para birokrat, politisi, dan
orang-orang kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar