Mengaspirasikan Dana Rakyat
Alek Karci Kurniawan ; Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO)--FH Unand; Analis Hukum dan Kebijakan UKM Pengenalan Hukum dan
Politik
|
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2015
DARI studi referensi denotatif, rumitlah saya
hendak mencerna istilahnya. Saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia,
`aspirasi' berarti harapan, tujuan, keinginan untuk keberhasilan pada masa
yang akan datang. Adapun `dana', sebagaimana kita juga sama-sama tahu, adalah
biaya atau uang untuk suatu keperluan.Kalau begitu, `dana aspirasi'
diinterpretasikan secara gramatikal dapat berarti `biaya harapan'. Ya,
sepertinya saat ini `biaya harapan' adalah konsep yang diharapkan menjadi
kenyataan oleh sejumlah wakil rakyat kita di Senayan.
Sidang Paripurna DPR, Selasa, 23 Juni 2015,
telah menyetujui usulan dana aspirasi masuk ke Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Sejumlah fraksi di DPR tampaknya tidak
begitu hirau dengan protes dari publik dan penolakan dari beberapa fraksi
terkait dengan Usul Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang
acap kali disebut dana aspirasi tersebut. Di tengah sidang, tiga fraksi
(NasDem, PDI Perjuangan, Hanura) verboden
dengan mosi ini.
UP2DP digagas sebesar Rp 20 miliar per
anggota. Konsepnya merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pemerataan
pembangunan. Akan tetapi, usulan anggaran Rp11,2 triliun untuk sejumlah 560
anggota DPR per tahun itu jus tru mengundang pandangan negatif publik.
Perlahan tapi pasti, tingkat kepercayaan publik
terhadap kinerja DPR yang seyogianya menjadi ujung tombak pelaksana aspirasi
rakyat berangsur menurun. Salah satu yang menjadi penyebab ialah menumpuknya
kekecewaan publik terhadap elite politik yang dinilai semakin berjarak dengan
rakyat.
Litbang Kompas dalam suatu jajak pendapat yang
dilakukan pada 17-19 Juni 2015 merilis, tingkat ketidakpuasan masyarakat
terhadap kinerja DPR dalam kisaran 85,6% per Juni 2015. Dari 639 responden
yang dihubungi (berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya,
Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin, dan Denpasar),
76,7% tampak tidak yakin dana aspirasi yang diusulkan DPR bisa meningkatkan
pemerataan pembangunan.
Paradoks
Anggota dewan seharusnya menjadi representasi
rakyat, tetapi dalam sepak terjangnya justru mempertontonkan kepentingan diri
sendiri. Seyogianya apa yang dihasilkan dan dilakukan para wakil rakyat
adalah cerminan dari kehendak rakyat.
Dikemas sebagai bagian dari fungsi DPR di
bidang anggaran dan implementasi dari UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3), dari situ `biaya harapan' hendak dijelmakan. Dengan
asumsi, Pasal 80 huruf (j) UU MD3 yang menyebutkan bahwa salah satu hak
anggota DPR ialah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah
pemilihannya. Alasan disodorkannya `biaya harapan' ini ialah untuk menjaga
prinsip keadilan dan pemerataan di setiap daerah pemihan, yang rencananya
terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.
Namun, apakah benar bakal demikian. Atau,
`biaya harapan' hanyalah upaya sebagian anggota dewan untuk mengembalikan
dana kampanye saat pemilihan legislatif tahun lalu. Dengan tendensi
penambahan fungsi DPR sebagai pengelola anggaran negara, secara hukum, usul
dana aspirasi berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal
itu bisa menimbulkan overlapping
peran antara pemerintah dan DPR.
Secara konstitusional, DPR hanya berwenang
mengusulkan anggaran kepada pemerintah. Sejumlah perundangundangan yang akan
overlapping itu, antara lain, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU
No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 33 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004.
Secara konseptual, dana aspirasi pun memiliki
tendensi overlapping dengan dana
desa.UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengonsepkan pula pelaksanakan
pembangunan secara nyata. Dalam artian yang secara teknis menyerahkan
pelaksanaan aturan pemerintahan di ting kat desa dengan melibatkan masyarakat
secara langsung dalam pembangunan.
Malcolm J Moseley dalam Rural Development : Principles and Practice (2003) berpandangan
bahwa pembangunan perdesaan layak ditandai dengan penekanan pada strategi
pemberdayaan atau pembangunan ekonomi yang diproduksi secara lokal.
Pembangunan pemberdayaan inilah yang dalam UU Desa dimainkan dengan pemberian
wewenang, pendelegasian wewenang, atau pemberian otonomi ke jajaran bawah.
Akal-akalan dana aspirasi mempunyai pemaknaan
yang biner. Bisa jadi, sejumlah anggota dewan kita bukan hendak
mengaspirasikan dana dengan UP2DP atau dana aspirasi, malahan hendak
mengaspirasikan dana atau mengharapkan dana rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar