Sabtu, 27 Juni 2015

Mengaspirasikan Dana Rakyat

Mengaspirasikan Dana Rakyat

  Alek Karci Kurniawan  ;   Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)--FH Unand; Analis Hukum dan Kebijakan UKM Pengenalan Hukum dan Politik
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DARI studi referensi denotatif, rumitlah saya hendak mencerna istilahnya. Saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, `aspirasi' berarti harapan, tujuan, keinginan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang. Adapun `dana', sebagaimana kita juga sama-sama tahu, adalah biaya atau uang untuk suatu keperluan.Kalau begitu, `dana aspirasi' diinterpretasikan secara gramatikal dapat berarti `biaya harapan'. Ya, sepertinya saat ini `biaya harapan' adalah konsep yang diharapkan menjadi kenyataan oleh sejumlah wakil rakyat kita di Senayan.

Sidang Paripurna DPR, Selasa, 23 Juni 2015, telah menyetujui usulan dana aspirasi masuk ke Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Sejumlah fraksi di DPR tampaknya tidak begitu hirau dengan protes dari publik dan penolakan dari beberapa fraksi terkait dengan Usul Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang acap kali disebut dana aspirasi tersebut. Di tengah sidang, tiga fraksi (NasDem, PDI Perjuangan, Hanura) verboden dengan mosi ini.

UP2DP digagas sebesar Rp 20 miliar per anggota. Konsepnya merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pemerataan pembangunan. Akan tetapi, usulan anggaran Rp11,2 triliun untuk sejumlah 560 anggota DPR per tahun itu jus tru mengundang pandangan negatif publik.

Perlahan tapi pasti, tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja DPR yang seyogianya menjadi ujung tombak pelaksana aspirasi rakyat berangsur menurun. Salah satu yang menjadi penyebab ialah menumpuknya kekecewaan publik terhadap elite politik yang dinilai semakin berjarak dengan rakyat.

Litbang Kompas dalam suatu jajak pendapat yang dilakukan pada 17-19 Juni 2015 merilis, tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR dalam kisaran 85,6% per Juni 2015. Dari 639 responden yang dihubungi (berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin, dan Denpasar), 76,7% tampak tidak yakin dana aspirasi yang diusulkan DPR bisa meningkatkan pemerataan pembangunan.

Paradoks

Anggota dewan seharusnya menjadi representasi rakyat, tetapi dalam sepak terjangnya justru mempertontonkan kepentingan diri sendiri. Seyogianya apa yang dihasilkan dan dilakukan para wakil rakyat adalah cerminan dari kehendak rakyat.

Dikemas sebagai bagian dari fungsi DPR di bidang anggaran dan implementasi dari UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dari situ `biaya harapan' hendak dijelmakan. Dengan asumsi, Pasal 80 huruf (j) UU MD3 yang menyebutkan bahwa salah satu hak anggota DPR ialah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya. Alasan disodorkannya `biaya harapan' ini ialah untuk menjaga prinsip keadilan dan pemerataan di setiap daerah pemihan, yang rencananya terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.

Namun, apakah benar bakal demikian. Atau, `biaya harapan' hanyalah upaya sebagian anggota dewan untuk mengembalikan dana kampanye saat pemilihan legislatif tahun lalu. Dengan tendensi penambahan fungsi DPR sebagai pengelola anggaran negara, secara hukum, usul dana aspirasi berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal itu bisa menimbulkan overlapping peran antara pemerintah dan DPR.

Secara konstitusional, DPR hanya berwenang mengusulkan anggaran kepada pemerintah. Sejumlah perundangundangan yang akan overlapping itu, antara lain, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004.

Secara konseptual, dana aspirasi pun memiliki tendensi overlapping dengan dana desa.UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengonsepkan pula pelaksanakan pembangunan secara nyata. Dalam artian yang secara teknis menyerahkan pelaksanaan aturan pemerintahan di ting kat desa dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembangunan.

Malcolm J Moseley dalam Rural Development : Principles and Practice (2003) berpandangan bahwa pembangunan perdesaan layak ditandai dengan penekanan pada strategi pemberdayaan atau pembangunan ekonomi yang diproduksi secara lokal. Pembangunan pemberdayaan inilah yang dalam UU Desa dimainkan dengan pemberian wewenang, pendelegasian wewenang, atau pemberian otonomi ke jajaran bawah.

Akal-akalan dana aspirasi mempunyai pemaknaan yang biner. Bisa jadi, sejumlah anggota dewan kita bukan hendak mengaspirasikan dana dengan UP2DP atau dana aspirasi, malahan hendak mengaspirasikan dana atau mengharapkan dana rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar